61. PEMBUKTIAN
AKU BERTERIMA KASIH ATAS ANTUSIASME KALIAN SEMUA YANG AMAT MENANTIKAN BAB 61 INI. 🥺❤️
Kalian yang memberikan vote, komen, serta semangat untuk aku. Makanya meski belum genap 200 vote, aku kasih aja double update ini hitung-hitung tanda trims karena dikasih tembus 200 komentar sebagai gantinya.
Pokoknya, semua terbaik. (≧▽≦) Sayang para pembaca SBKB banyak-banyak. Muach, muach. Wkwkwkw ( ꈍᴗꈍ)
Aku berharap, bab berjudul PEMBUKTIAN ini nggak akan mengecewakan kalian aja, sih. Dan kalo pun iya nantinya mengecewakan, aku minta maaf sebab malah nggak mampu memenuhi ekspektasi kalian.
Dan yang jelas, aku jamin bab ini nggak bakal diisi adegan buruk seperti cara kalian mencurigai diriku. ( ・ั﹏・ั)
Tolong, ya. Mentang-mentang aku kerjaannya bikin konflik melulu, kalian sampe banyak yang mikir aneh-aneh mengenai apa yang akan terjadi di dalam bab ini. Aku ngakak aja bacanya. 🤣🤣🤣
Tetap, semoga kalian suka dan aku berdoa semoga feel-nya nggak buyar saat kalian mulai membacanya.
Karena jujur aja, aku ngetik bab ini sempet dibikin nangis sendiri di bagian akhir-akhir, sih. Jadi semisal ada yang punya jiwa cengeng kayak aku, dianjurkan mempersiapkan diri aja untuk meresapi bab berisi total 3600 kata ini. 🥰🌈🌈
__
___
____
"MAAF, MAS! HELM-NYA!"
Gue urung berlari menuju gerbang kediaman si Bangsat mendengar seruan dari Abang Driver Ojol. Spontan berbalik seraya melepaskan helm dari kepala.
Helm segera gue serahkan kembali. "Ini, Pak. Makasih. Nanti tipnya nyusul, ya!" ujar gue yang nggak lupa menambahkan, "Tolong doain pacar saya ada di rumah ini dan mau maafin saya. Dah, Pak!" pamit gue yang lalu lanjut berlari mendekati gerbang rumah si Bangsat lagi.
Menyapa Pak Rahmat selaku satpam kepercayaan keluarga Fransiskus yang udah sangat hapal dengan kemunculan gue dan langsung membukakan gerbang.
"Saga ada di dalam 'kan, Pak?" Gue melepas masker dan bertanya dulu sebelum mulai berjalan menuju ke halaman rumah super megah ini.
Pak Rahmat mengangguk. "Ada, Mas. Silakan masuk aja."
"Yes!" sorak gue senang. "Oke, Pak. Saya masuk dulu! Makasih!" ujar gue penuh semangat, setelah itu lanjut berlari lagi.
Asik! Kebetulan banget si Bangsat ada di rumah. Berarti rencana gue untuk mengajak dia baikan nggak bakal ada kendala dong, ya. Cihuuy!
BRUGH!
"Anjing!" maki gue sembari menahan sakit lantaran tubuh gue sekonyong-konyong terjatuh seolah baru aja disenggol oleh tornado yang nggak kasatmata. "ARRRGHHH! Capek deh gue! Kenapa badan gue lembek amat, sih!" keluh gue sambil berusaha bangkit lagi dari posisi tengkurap di tengah jalanan ini. "Dikit-dikit jatoh! Dikit-dikit pingsan! Dikit-dikit sakit! Dasar lemah! Payah! OMAE WA YOWAI!" teriak gue memprotes kekurangan diri sendiri penuh rasa frustrasi.
"What the fuck, Ryan! Stop screaming like an idiot!"
Bentakan itu membuat gue mengalihkan pandangan ke depan. Mendelik nggak percaya melihat sosok Saga yang udah aja berdiri di hadapan gue sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Elo sejak kapan ada di situ?" tanya gue meragukan daya penglihatan sendiri.
Takutnya ini cuma efek halusinasi dikarenakan gue yang sedang terlalu kangen, 'kan.
Dia menunjukkan senyuman. "Baru aja. Pak Rahmat ngasih tau gue tentang kedatangan elo ke sini. Soalnya gue kebetulan udah lama nunggu elo buat datang."
Penjelasannya bikin perasaan gue membuncah seketika. "Apakah elo kangen juga sama gue?" tanya gue lagi, yang untungnya mendapatkan anggukkan.
"Of course I miss you so much, Stupid!" Kedua tangan si Bangsat lalu direntangkan lebar-lebar. "Come here."
Gue nyengir, kemudian berlari untuk menubruk tubuh tingginya. Berpelukan erat. Membaui aroma tubuhnya dalam-dalam berujung mengembuskan napas lega. Haaah. Akhirnya gue bisa ngerasain kehangatan dia lagi.
"Gue juga kangen banget sama lo, Bangsat."
"Sorry, because I must've give you a hard time for this past few days."
"Artinya apaan? Pikiran gue lagi runyam sampe susah nerjemahin maksud dari ucapan lo."
Tawa kecilnya terdengar. "Lupain aja. Elo paham bagian sorry-nya aja cukup, kok."
Gue lantas mendongakkan kepala untuk menatapnya. "Gue juga minta maaf karena udah bikin elo kesel, kecewa, marah. Semuanya!" ungkap gue bersungguh-sungguh sembari memegangi kedua tangan dia.
"I know." Sebelah tangan Saga dilepaskan dari pegangan gue dan memberikan usapan ke muka. "Ayo, kita ke dalam dulu. Elo butuh istirahat!" ajaknya sambil menggandeng tangan gue.
"Kaki gue sakit, nih!" Keluhan gue menjeda langkah dia yang udah bersiap jalan duluan. "Gendong gue, kek!"
Dia mendecak, sesudah itu agak membungkuk untuk meminjamkan punggung lebarnya pada gue. "Geez, fine. Ayo, naik sini."
"Asik!" sorak gue kegirangan yang lekas naik ke balik punggungnya yang gagah.
Melihat reaksi heboh gue, Saga kontan mengerling heran. "Elo nggak habis kesurupan makhluk mistis di suatu tempat, 'kan? Kenapa tiba-tiba tambah manja begini."
Pegangan gue di depan lehernya kian mengerat. "Nggaklah. Gue emang beneran lagi kangen ke elo, kok. Kangen elo manjain, terutama."
"Tumben."
Lalu gue berbisik, "Bahkan beberapa hari kemarin gue coli saking kangennya ke elo."
"Seriously?"
"Yes!"
"Elo lagi ngegodain gue, ya?" Dia bertanya pada gue dengan seringai penuh arti.
Gue nyengir usil, kemudian secara sengaja menggesek-gesekkan kaki gue ke sisi selangkangannya. "Menurut lo gimana, Sayang?"
Spontan aja dia menggeram seraya mempercepat langkah. "God damn, Ryan! Tunggu aja sampe kita sampe ke kamar, ya."
Gue tertawa senang saking nggak sabar. "Hahaha! Kecepatan penuh!" seru gue nggak kalah bersemangat dengan terus memeluk erat tubuh si Bangsat dari belakang.
.
Saga membanting pintu hingga menutup selagi gue dan dia saling mengulum bibir seraya kami meloloskan pakaian dari tubuh masing-masing. Lidahnya gue lumat, meraba perutnya yang kencang, naik sampai tangan gue jatuh ke dadanya yang refleks gue belai. Sementara dia pun melakukan hal serupa, ditambah memainkan puting dada gue setelahnya.
"Saga ... haaah." Gue mengecup leher Saga pun menjilatnya, membawa tangan kanan gue ke bawah untuk mengusap ereksi di balik celananya. "Gue mau ini. Masukin cepetan."
Dia meringis. "But I need to prepare you first, Baby," katanya yang lantas meremas daging bokong gue.
Gue menggelengkan kepala kemudian mengajaknya bertindihan ke kasur. "Nggak usah juga nggak apa-apa, kok. Setiap malam saat gue mau tidur, gue toh selalu mainin lubang bool sendiri selama seminggu belakangan ini. Tadi pagi juga."
Sebelah alis lebat si Bangsat naik. "Saking apanya, tuh?"
"Saking sangenya, lah!" sembur gue berterus terang. "Elo pikir kenapa lagi?"
Dia terkekeh sambil merapikan rambut depan gue. "Gue seneng dengernya. Karena selama beberapa hari ini gue juga coli melulu. Sambil nontonin video telanjang lo sewaktu ngocok," ungkapnya yang setelah itu mulai melancarkan serangan lidah ke puting dada gue.
"Ah, Saga! Di situ, enak!" desah gue menikmati hisapan dan gigitan nakalnya di sana, selagi jari tangannya memainkan puting dada gue di sisi satunya.
Kampret! Baru diginiin aja rasa-rasanya gue udah kepengin muncrat.
"Hey, Ryan?" Saga berbisik dan menggigit daun telinga gue.
"Hmmm?"
"Let's do a six-nine!"
.
Posisi enam-sembilan apalah ini selalu aja kurang menguntungkan bagi gue. Kenapa disebut kurang menguntungkan? Sebab gue yang menungging di atas Saga jadi nggak leluasa mampu memuaskan dirinya. Baru aja berniat menghisap Minions, tau-tau sekujur badan gue dibikin tersentak disebabkan jilatan yang dilancarkan Saga di belakang sana.
"Bangsatthh ... akh!" Dan cuma bisa menaik-turunkan tangan mengocok batang kemaluan besar di depan gue ini.
"Come on, Ryan. Jangan diam aja."
Tepat sesudah keluhan itu dikatakan, lidahnya lanjut menjilat lagi dengan sangat liar. "Gue mana bis--akh ... kalo elo ngejilatin gue kayak gitu terus," balas gue yang justru jadi semakin ingin membenamkan pantat gue di wajahnya.
"Come on!" seru si Bangsat yang sekonyong-konyong melancarkan pukulan ke daging bokong gue.
PLAK!
ANJING! Main tabok aja. Dia pikir kulit bool gue ini gendang apa.
"Jangan maunya keenakan sendiri, Sayang," katanya lagi yang akhirnya membuat gue membawa Minions ke dalam mulut. Melakukan hisapan disertai jilatan sedalam yang mampu gue masukkan. "Yes! Begitu, dong!"
Namun nggak lama, gue kembali meloloskan kontol cowok keturunan Cina-Inggris ini dari kungkungan mulut.
Selepas itu memanggilnya, "Saga!" Gue menahan desahan tatkala dua jemari Saga turut bantu melonggarkan jalur anal gue.
"Hmmm? Kenapa?"
Gue menoleh padanya. "Udah cukup. Gue kepengin elo cepet-cepet masuk."
Senyum nakal di bibirnya tersungging gitu aja. "Ya udah. Coba elo masukin sendiri kalo gitu!" ujarnya setuju yang sontak bikin gue membetulkan posisi.
Menindih perutnya selagi menggosok-gosok kontol kami bersamaan ke atas dan bawah terus-menerus. "Kondomnya?"
"Nggak usah juga nggak apa-apa. Nih, pelumasnya." Cairan pelicin miliknya dilemparkan ke gue. "Gue juga udah nggak tahan mau masuk," godanya disertai gigitan bibir yang super genit yang semata-mata menjadikan wajah gue merona.
PUNYA COWOK MESUM YANG SANGAT SEKSI BENER-BENER UJIAN BAGI JIWA SANGEAN GUE.
Pelumas bening yang terasa dingin ini gue oleskan secara merata ke batang Minions yang tegak berdiri. Sesudah itu, gue menaruh balik wadahnya. Berlanjut mulai menaikkan posisi pinggang, menyamakan titik temu antara Minions serta lubang pantat gue yang terasa makin gatal. Nggak sabar ingin ditusuk oleh Minions yang besar.
"Pelan-pelan aja," bisik si Bangsat sembari mengusap-usap Banana gue ketika kepala kontolnya mulai menyenggol lubang depan.
Gue meringis. "Gak usah elo pegang-pegang dulu si Banana. Nanti gue tau-tau muncrat aja."
"It's okay. Elo bebas muncrat kapan aja." Dan kocokannya pada si Banana malah semakin dipercepat.
Gue mendesah tertahan. Merasakan ngilu, perih bercampur penuh luar biasa yang bersumber dari lubang bawah sana. Dari hasil memasukkan setengah bagian Minions ke liang anal.
"Haaah. S-Saga! Sakit, anjrit!" umpat gue dengan kedua kaki yang gemetaran tanpa mampu ditahan.
"Relax." Puting mungil gue diusap-usapnya. "Here, biar gue bikin elo agak enakan."
Gue mendongak, membiasakan diri lebih dulu atas keberadaan Minions di dalam lubang gue. Sambil menikmati sentuhan dari jemari Saga di puting dada.
"Haaa ... Elo coba gerak."
"Nggak apa-apa?" tanyanya memastikan kesiapan gue.
"Iyaaah." Gue mengangguk. Membiarkan Saga menggerakkan pinggulnya naik turun. Mengeluar-masukkan batang kelelakiannya dari bawah, menarik-dorong kontolnya berulang-ulang dengan tempo seirama ke dalam lubang gue.
"Oh, yeah. I like this ... feels," erang Saga dibarengi desahan.
Membuat gue serta-merta tersentak mendapati sengatan nikmat dari tersodoknya titik prostat. "Akkh! Haaah! Saga! Di situ!"
"Damn, Ryan!" Dia membangunkan badannya yang semula berbaring untuk mengajak mulut gue bercumbu. "I miss this view so much," bisiknya yang lalu menjilati leher dan dada gue, masih dengan terus menggoyangkan pinggulnya.
Yang semata-mata membuat gue kian menggila di dalam dekapan penuh gairahnya. "Mmmh! Saga ... enak!"
"I know. It feels good for me too!" ungkapnya yang kemudian menambah kecepatan sodokan.
"Akh, haah! Sagaah! Gila! Gue bisa mati!" jerit gue menikmati. Memeluk punggungnya erat-erat dengan desahan yang seolah nggak bisa berhenti.
"Haah, Ryan! I love you so much. I love your body. I love your moan. Everything!"
Hunjaman demi hunjaman kuat yang dilakukan Saga dibarengi sentuhannya ke berbagai titik sensitif di tubuh gue nggak ayal membikin gue semakin kewalahan.
"Akh! Saga ... gue ... HA!"
"A-AAAH!" Si Bangsat menarik keluar Minions dari lubang pantat gue untuk lekas dikocoknya bersama Banana.
Gue menancapkan kuku-kuku gue di kulit punggung Saga yang mulus, sementara dia membungkam mulut gue dengan ciuman ketika kami berdua kompak mencapai puncak ejakulasi. Mengotori perut kami berdua serta tangan. Diakhiri tawa renyah di sela-sela embus napas panjang yang nggak beraturan.
Bibir Saga gue kecup mesra sambil gue melirik ke bawah. "Sekali lagi?" Pada Minions yang gue lihat udah setengah ngaceng.
"Dengan senang hati, Sayang." Lantas gue kembali diajaknya saling bercumbu.
Bertindihan. Menungging. Bergerak naik turun demi memuaskan hasrat masing-masing. Seenggaknya, sampai kami udah nggak sanggup lagi untuk lanjut menerima dan menusuk satu sama lain.
Meski di sini, yang dapat jatah ditusuk cuma gue seorang, sih. Hehehe.
.
Setelah puas melakukan seks di atas ranjang yang bikin tubuh kami dilanda lemas-lemas serta pegal nggak kepalang, gue dan Saga setuju untuk langsung membersihkan diri.
Tadi sebelum masuk kemari, gue minta maaf dulu ke Yellow karena nggak bisa nemenin dia main. Karena kedatangan gue kemari adalah untuk menjemput cowok gue, bukan untuk mengajaknya main atau jalan-jalan. Jadinya si Yellow terpaksa dimasukkan kembali ke kandang rumahnya setelah mengeong-ngeong minta makan.
Sekarang gue dan si Bangsat tengah berendam di dalam bathtub berisi air hangat. Gue duduk bersandar di depan dadanya yang berada tepat di belakang gue. Memainkan sabun cair untuk diusapkan ke tubuh secara bergiliran. Membaui aroma segar yang kontan bikin gue merasakan ketenangan yang merilekskan badan.
"Habis ini elo ikut gue ke rumah, ya."
"Mau apa, hmm?"
"Ya, buat gue kenalin ke Mamah, lah. Sebagai pacar."
Tangannya bergerak untuk memeluk perut gue dari bawah. "So, elo datang ke sini karena kepengin ngajak gue ketemu Tante? Untuk dikenalin sebagai pacar?"
Hadeeuh! Pura-pura nggak ngerti persoalannya ini cowok mesum.
"Iyalah, Saga! Soalnya gue nggak mau didiemin sama elo lebih lama lagi."
"Oke, oke." Pipi gue diciumnya disertai kekehan. "Kebetulan, gue juga kepengin cepet-cepet ngenalin pacar gue ke mamah lo."
Mendengar ucapan si Bangsat, gue pun menolehkan kepala padanya. Untuk lalu mengajaknya berciuman lagi sampe kami bertukar tawa.
"Kita udah kebanyakan ciuman sampe bibir gue rasanya kebas, Ryan."
Gue nyengir. "Sama!" Bibir tipisnya lantas gue sentuh. "Tapi gue kangen cipokan sama lo. Mau gimana lagi?"
Dia tersenyum dan balas menyentuh mulut gue yang gue yakin udah sangat membengkak akibat terlalu lama disedot olehnya selagi kami cipokan. "Gue seneng setiap ngeliat elo mulai agresif begini. Kayaknya ngediemin elo selama hampir seminggu ada bagusnya juga."
"Jangan berani-berani elo lakuin lagi, ya!" omel gue bersungguh-sungguh dibarengi dengkusan. "Gue kesiksa, tauk!"
"Terutama lubang pantat elo ini, 'kan?"
Badan gue terlonjak begitu aja lantaran jarinya menyusup mendadak ke dalam lubang pantat gue. "Saga! Udah, deh. Nanti gue sange lagi. Pantat sama kaki gue udah lemes, nih."
Protes gue bikin dia mencium pipi gue lagi, kiri kanan kali ini. "Gemes banget gue sama lo."
Gue tersengih. "Dasar bucin!"
"Ngaca, Sayang."
"Huuu!" Gue sekadar menjulurkan lidah yang malah dilumat oleh mulut nakal dia. "Heh, dasar anjing lo!"
Dia ketawa. "Anjing ini butuh camilan."
"Maksud lo, mulut gue elo samain kayak makanan anjing?"
"Nggak, sih. Kan elo anjingnya."
Muka gantengnya refleks gue tampar. "Setan!"
.
Turun dari lantai kedua rumah si Bangsat ternyata cukup menambah rasa lelah. Seperti selalu. Pantat masih nyeri. Kaki lemes. Nyeri di sekujur badan juga. Efek samping seks emang di luar dugaan. Walau enak emang.
"Elo mau makan dulu atau kepengin langsung balik lagi ke rumah?" tanya Saga seraya merangkul gue, pun turut mengimbangi langkah gue yang pelan dan tertatih.
"Gue mau makan dulu. Gue kangen masakan elo."
"Gue udah masak, sih. Tapi cuma cumi udang campur sayur sama bakwan kentang. Elo mau?"
"Apa pun selama itu masakan elo gue makan. Kecuali--"
"Salad, yes. Gue tau!" tukasnya masih aja ingat.
Gue cengengesan. Sesudah itu meringis agak nyeri sambil memegangi perut. "Tapi perut gue mules, nih."
Wajahnya sok pura-pura kaget. "Jangan-jangan anak kita udah mau lahir."
Celetukannya bikin gue mendengkus jengah, lalu membalas, "Terus nanti anak elo bakal dinamain Tai Satu, Tai Dua sampe Tai Encer. Gitu, ya?"
Wajah si Bangsat langsung tampak jijik. "Ewww, that's disgusting."
"Elo yang mulai!" Bahunya gue senggol.
"Daripada dinamain Tai, lebih bagus kalo kita namain Unko."
Tawa gue meledak gitu aja mendengar usulannya. "HAHAHA! KAMPRET! Gue jadi keinget episode Gintama di mana semua tokohnya berubah jadi tai. Hiii."
Mengingatnya selalu menimbulkan reaksi geli-geli, tapi lucu. Salah satu episode anime paling gokil yang pernah gue tonton.
"Itu episode yang beneran seru, tapi juga menjijikkan, sih. Ada tai di mana-mana. Dari tai yang pake kacamata sampe tai yang bawa payung."
"Tai gue nanti bakal bertabur emas."
"Enough, Ryan. Gue udah nggak sanggup ngetawain obrolan dengan topik tai ini!" ujarnya masih sambil tertawa.
Gue mendelik padanya. "Ayo, ketawa aja terus. Ketawa sampe elo cipirit di celana!" desak gue sembari mendorong-dorong badannya.
Sesampainya di meja makan, si Bangsat langsung aja mengambilkan gue sepiring nasi dengan porsi yang menggunung. Disusul meletakkan mangkuk berisi masakan udang cuminya.
"Nih. Silakan dimakan. Tai cumi udang spesial campur sayur."
Gue urung menyendok menu buatannya mengetahui nama yang tadi disebutkan. "Masih aja ngebahas tai! Setan lo!" umpat gue yang cuma dia respons dengan tawa renyah selagi berbalik lagi ke dapur.
"Nih, bakwan kentangnya." Bakwan kentang di piring disuguhkan ke depan gue dan segera gue comot.
"Ijo-ijonya ini apa? Seledri atau daun bawang?"
"Daun bawang."
Gue melahapnya disusul menyuap nasi. "Enak. Meski nggak seenak bakwan biasa."
"Paling enak tetep bakwan jagung."
"Itu menurut elo!" Sesudah itu, gue menyodorkan sesendok nasi bercampur lauk untuknya. "Nih, elo juga makan."
"Nggak usah. Gue baru selesai makan begitu elo datang tadi, kok."
Oh, ya udah. Berarti ini emang jatah untuk gue habisin. Horeee.
"Cuminya enak. Gue suka."
Saga tersenyum mendengar komentar gue, kemudian mengusap tepian bibir gue yang pasti blepotan. "Makan yang banyak supaya elo nggak mendadak lemes saat kita mulai ngomong sama mamah lo nanti."
"Iya, iya. Tanpa elo suruh pun, kapan emangnya makan gue sedikit."
Dia mencubit pipi gue gemas. "That's what I like about you."
Gue sekadar tersenyum sok manis menanggapinya. Karena sisi inilah yang juga gue sukai dari diri seorang Juanda Andromano Saga.
.
Mobil Saga berhenti melaju tepat di tepi jalan dekat rumah gue. Menciptakan perasaan gugup bercampur kalut yang serta-merta merundung gue yang hanya mampu menggigit bibir. Nggak bisa langsung keluar dari dalam mobil ini.
Sekalipun Saga udah bantu melepaskan sabuk pengaman. "Ryan, are you okay?"
Kepala gue mengangguk dua kali menjawab tanyanya.
"Are you ready?"
Kali ini kepala gue menggeleng pelan. "Bentar. Gue berdoa dulu!" ucap gue yang lantas menyatukan kedua telapak tangan secara bersisian. "Elo juga mendingan berdoa. Ngucap syahadat kek sekalian."
Dia memutar bola mata menanggapi ajakan sesat gue. "Elo berdoa soal apa?"
"Doa supaya Mamah ngasih restu ke hubungan kita."
Bibirnya tersenyum, kemudian tangan gue digenggam lembut olehnya. "Gue berdoa kayak gitu hampir setiap Minggu sejak mamah lo mulai stay di sini," ungkapnya nggak disangka-sangka, lalu mulai membuka pintu mobil. "Ayo, kita keluar."
Gue diam sebab masih merasa gelisah.
Si Bangsat yang seolah-olah mampu mendeteksi kepanikan gue memberikan kecupan singkat ke pelipis yang semata-mata membuat gue lebih tenang. "I'm here, okay? Don't be afraid."
Akhirnya gue menarik napas dalam-dalam. Mengangguk padanya, sesudah itu turut keluar dari mobil.
Selama melangkah menuju ke rumah, gue sama sekali nggak mampu melepaskan bagian belakang hoodie merah yang dikenakan Saga untuk dipegangi. Merapalkan bermacam-macam doa, harapan serta segala permohonan. Bahwa gue ingin pengakuan kami diterima. Semoga setelah tau kebenarannya, Mamah nggak bakal menentang apalagi meminta gue dan Saga agar berpisah.
"Fery! Akhirnya balik!"
Detak jantung gue mencelos begitu aja menangkap suara Mamah yang menyambut kedatangan kami.
"Oh. Ada Nak Saga juga!" seru Mamah terdengar girang.
"Halo, Tante." Saga menyapa sambil nggak lupa mencium tangan Mamah.
Membuat senyuman Mamah semakin semringah. "Nak Saga ke mana aja baru keliatan main lagi? Tante kangen, loh." tanyanya yang kemudian mengerling gue yang diam menunduk, nggak berani berkata-kata. "Fery! Katanya mau bawa pacarnya ke rumah. Mana?" tuntut Mamah menagih lagi janji gue.
Aduh, gila! Gue bingung mesti jawab gimana, woi. Takut salah bicara yang hanya akan mengacaukan semua-muanya.
Untungnya, Saga dengan penuh pengertian menggantikan gue untuk merespons Mamah. "Iya, Tan. Saga sama Feryan kebetulan sama-sama mau ngenalin pacar kami ke Tante."
Mengetahui hal itu, Mamah kontan memekik kaget. "Eh, beneran? Nak Saga mau ngenalin pacarnya juga?" ujarnya bertanya dengan nada antusias. "Hayuk atuh, masuk. Duduk dulu, sini. Biar tante siap--"
"Gak usah, Mah. Mamah di sini aja!" Akhirnya gue bersuara. Mengangkat kepala, memandang Mamah yang mengernyit bingung, akan tetapi menurut juga.
"Ya udah, sini duduk."
Kami bertiga duduk bersebelahan. Gue dan Saga duduk di sofa berukuran sedang, sementara Mamah menempati sofa panjang. Terus memperhatikan kami dengan sorot mata yang memancarkan berbagai keingintahuan yang bagaikan senjata tajam teruntuk gue yang kian dibuat deg-degan.
"Mana atuh pacar kaliannya? Kenapa nggak dibawa?"
Gue spontan meneguk ludah ditodong pertanyaan yang amat menusuk itu. Nggak sanggup untuk sekadar bilang bahwa pacar gue udah ada bersama kami di sini.
"Emm, sebenarnya pacar Saga dan Feryan udah ada di sini, Tante." Si Bangsat dan mulut entengnya lagi-lagi mengambil jatah menjelaskan.
"Eh, di mana?" Mamah celingukan, tampak kebingungan sampe bangun sebentar untuk melongok keluar ruangan. "Kok tante nggak ngeliat? Mereka ngumpet, ya? Soalnya pemalu 'kan!" celetuknya menyimpulkan yang malah membikin gue merasakan sesak.
Menyadari betapa udah begitu banyak dusta yang kami sampaikan pada Mamah yang diterima dan dipercayai begitu mudah olehnya.
Ya Alla. Apa yang udah gue lakuin selama ini sebenarnya? Kenapa bisa gue setega ini membohongi Mamah tanpa memikirkan perasaannya?
"Tapi pertama-tama, Saga mau minta maaf dulu, Tan."
Kalimat yang dikatakan Saga selanjutnya membuat gue mendelik. Nggak siap mendengar terusannya.
"Minta maaf kenapa, Saga?" tanya Mamah, melirik pacar gue dengan heran.
Ketika Saga menjatuhkan tangannya ke atas punggung tangan gue. Menjadikan tubuh gue tersentak hebat. Detik itu pula gue tahu bahwa gue nggak punya pilihan selain bekerja sama.
Ini saatnya.
Si Bangsat gue dengar menarik napas terlebih dulu sebelum berkata, "Karena Saga ... udah lancang memacari anak tante satu-satunya di luar sepengetahuan Tante."
Mata gue sontak memejam kuat. Nggak sanggup untuk sekadar menyaksikan reaksi Mamah
"Maksudnya gimana? Nak Saga macarin anak siapa?"
"Mah?" Gue memanggil, masih dengan kedua mata yang nggak berani dibuka.
"Iya, Fery?"
Tangan Saga yang berada di atas punggung tangan gue genggam erat selagi gue mulai mengungkapkan, "Fery juga mau minta maaf karena ... baru berani ngomong ke Mamah soal ini. Tentang pacar Fery. Tentang ... hubungan Fery dan ... Saga." Lalu perlahan-lahan, gue membuka mata. Memandangi wajah Mamah yang tampak memburam disebabkan air mata yang udah aja menggenang. "Mah, Fery minta maaf. Fery mohon, Mamah jangan benci ke Fery ataupun Saga setelah tau hal ini. Tapi Fery ... cinta sama Saga, Mah!"
Pengakuan gue terucap dengan suara yang amat parau dan dada yang penuh sesak saking ketakutan, pun gemetaran hampir di sekujur badan. Khawatir Mamah akan menentang habis-habisan. Nggak ingin apabila yang kami lakukan ini hanya akan menimbulkan kebencian.
"Fery selama ini sukanya ke cowok dan cowok itu adalah Saga. Kami ..." Gue terisak-isak pelan, kemudian diam sebab kerongkongan gue tiba-tiba aja bagai tercekik sampe nggak lagi mampu meneruskan pernyataan.
"Saga dan Feryan udah berpacaran hampir genap dua tahun, Tante." Si Bangsat menyambungkan dengan suara yang nggak kalah parau. "Maaf, karena meski udah selama itu, tapi Saga ... baru berani bilang sekarang!" ujarnya yang kian erat menggenggam tangan gue.
Saling menguatkan. Mengingatkan satu sama lain bahwa kami di sini nggak sendirian.
"Maafin Fery, Mah. Maaf karena Fery tumbuh jadi anak yang nggak normal!" lirih gue dengan tangisan yang bertambah kencang sambil sigap mengusap basah di wajah. "Tapi Fery ... nggak sanggup kalo nggak sama Saga. Soalnya Fery sayang banget ke dia, Mah. Jadi, Fery minta tolong ... supaya Mamah nggak benci ke kami. Apalagi sampe misahin kami berdua. Fery nggak mau!" tutur gue melanjutkan diakhiri helaan napas panjang.
Berusaha menenangkan perasaan. Membersihkan penglihatan gue, lalu agak sungkan menatap Mamah yang ternyata ikut-ikutan meneteskan air mata. Alhasil tangisan gue kembali pecah nggak terkendali.
"Mamah kenapa ikut nangis segala?" tanya gue sedih.
"Mamah cuma, ngerasa lega mendengar pengakuan dari kalian," ucap Mamah yang kemudian berdeham. "Jadi, selama ini Nak Saga dan Fery pacaran?"
Gue mengangguk sambil terus-menerus menyeka air mata. "Iya, Mah. Maaf, karena Fery baru berani ngomong hari ini."
"Saga juga, Tante."
"Ssst! Nggak apa-apa atuh!" Mamah tanpa gue duga memajukan badan untuk memberi kami pelukan. "Udah. Kalian jangan nangis lagi. Mamah jadi ikut sedih ngeliatnya," bisiknya sembari menepuk-nepuk masing-masing pundak kami. "Mamah berterima kasih karena Fery akhirnya berani jujur ke mamah. Nak Saga juga."
Mendengar perkataan Mamah yang terkesan santai, sontak aja gue bertanya heran, "Mamah nggak marah?"
Mamah malah tersenyum. "Nggak, dong! Emangnya harus marah kenapa?" baliknya bertanya sesudah itu menyatukan tangannya pada genggaman gue dan Saga yang bertautan. "Malahan, mamah bakalan marah kalo kalian nggak secepatnya ngaku ke Mamah mengenai hubungan kalian selama ini. Udah setahun sejak mamah mulai tau, tapi kalian baru ngakunya sekarang. Untung aja mamah orangnya penyabar."
Mendapati kalimat yang tadi Mamah utarakan, gue jelas aja sangat terkejut. Kaget nggak terkira sampe rasanya ... gue sulit mempercayai apa yang dikatakan olehnya.
HAH? BARUSAN MAMAH BILANG BAHWA MAMAH UDAH TAU HUBUNGAN KAMI SEJAK SETAHUN LALU? GIMANA ... KOK BISA?
Awas aja kalo ada yang udah selesai baca, tapinya nggak ninggalin komentar apa-apa. (╥﹏╥)
Bersiap-siap dibikin mewek (lagi) saat kalian mulai membaca bab berikutnya nanti, BTW!
WKWKWKWKWKWK
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com