Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62. PERSANGKAAN

Kepalaku sakit, guys. Gara-gara kebanyakan nangis selama ngetik BAB 62 ini. (。ノω\。)

Ngetik sendiri, baper sendiri, jadinya berkali-kali aku mesti berhenti nulis dulu karena harus menenangkan diri. WKWKWKWK.
Emang dasar cengeng. (╥﹏╥)

Tapinya nggak tau sama kalian, ya. Apakah bakal punya reaksi yang sama macam aku atau nggak.
Untuk itu, silakan dibaca aja. Dan harap sediakan tisu buat berjaga-jaga. ( ꈍᴗꈍ)/~

KOMEN SAMA VOTE JANGAN LUPA LOH, YA! AWAS AJA! <( ̄︶ ̄)>

__
___
____

Kedua mata gue masih memelototi Mamah saking nggak percaya atas apa yang barusan disampaikannya. Mengenai Mamah yang mengaku udah mengetahui hubungan gue dan si Bangsat sejak setahun lalu.

Nggak, nggak, nggak! Gue yakin si Mamah pasti cuma mengada-ngada. Mustahil hubungan kami berdua udah diketahuinya selama itu, 'kan? Gimana caranya? Kok bisa? Apakah emang interaksi kami semencurigakan itu ataukah ... seseorang di luar sana--yang udah tau lebih dulu--ada yang membocorkannya pada Mamah?

Mamah tiba-tiba menyemburkan tawa tertahan. "Adedeuh! Ngeliat ekspresi kalian berdua meuni lucu!" celetuknya dan lanjut cekikikan.

LAH?

"Fery sama Saga pasti ngiranya mamah bakal kaget, ya? Begitu tau soal kalian yang pacaran. Eh, ternyata malahan kalian yang dibikin kaget sama omongan mamah barusan. Meuni gemes!" sambungnya diakhiri tepukan ke masing-masing lengan gue dan si Bangsat yang jadi kompak saling pandang.

Berbagi tatapan heran, terkejut bercampur ... entahlah, gak keruan pokoknya. Udah mana mata kami sama-sama basah dan merah. Jelek!

Saga yang lebih dulu buka suara, "Wait a minute. I mean--maksud Saga, Tante udah tau?" tanyanya jelas kebingungan.

"Iya, atuh!" jawab Mamah cempreng, terlihat bangga. "Malah aneh kalo sampe tante belum tau sama sekali. Kalian berdua teh selama ini hubungannya sebagai teman beneran nggak ada ... kumaha, nya? Nggak wajar aja pokoknya!" lanjutnya menjabarkan yang semata-mata membuat gue nggak tahan untuk menyimpan kekepoan.

"G-gimana Mamah bisa tau?"

"Hayooo. Fery mau tau aja atau mau tau banget?"

Gue memandang Mamah malas mendapati respons kampret itu. YA ELAH, SI MAMAH! Segala ngebales pake cara iseng gue pula. Bikin gregetan aja!

"Mamah!"

Bentakan kesal gue bikin Mamah terkikik puas. "Jas kiding atuh!"

Mana fals banget lagi cara ngomong just kidding-nya. Dasar mamah gue!

Mamah menghela napas panjang, setelah itu mengeluarkan kalung cincin dari balik baju gue. "Ini." Dan menunjuk cincin serupa yang terpasang di jari manis tangan kiri si Bangsat. "Sama ini." Tersenyum, lalu berkata, "Mamah langsung tau kalian ada apa-apa gara-gara cincin kalian yang samaan."

Sontak aja gue dan si Bangsat dibuat agak tertegun mendengarnya.

Seriusan? Tapi seingat gue Mamah baru pernah membahas soal cincin kami yang samaan ini ketika gue dirawat di rumah sakit, deh.

Jadi gue menanyakan lagi, "Kapan pertama kali Mamah tau?"

"Di hari Nak Saga dan Pak Julius datang main ke rumah. Lebaran tahun lalu."

Kali ini jawaban Mamah mengejutkan gue dan si Bangsat sampe terkesiap bersamaan.

"K-kok ... hah?" Gue mengangakan mulut saking makin merasa nggak percaya.

Bentar, bentar, bentar! Woi! Itu maksudnya, si Mamah langsung tau begitu Saga sama Om Julius datang ke sini tuh gimana ceritanya?

Seolah mampu membaca keingin-tahuan bercampur kelinglungan gue yang semakin menjadi-jadi, Mamah langsung aja menuturkan, "Mamah sebetulnya udah curiga sejak awal, Fery. Sejak ... mamah tau bahwa kamu dikasih iPad oleh Pak Julius, dikasih hadiah uang di hari ulang tahun kamu oleh beliau juga. Ditambah kamu teh dikasih HP baru juga oleh Nak Saga 'kan--yang awalnya, mamah pikir itu uang celengan kamu sendiri. Tapi ternyata uang celengan kamu dibeliin jam tangan untuk kado ulang tahun Nak Saga. Dengan Nak Saga yang balik ngasih kamu kado ultah. Cincin itu." Telunjuknya mengarah pada cincin milik gue, akan tetapi fokus gue justru berpikir mengenai hal lain.

Sebab nggak seharusnya Mamah mengetahui seluruh informasi itu karena gue juga belum pernah memberitahunya.

"Mamah tau dari mana soal itu semua?" Gue terpaksa menyela demi menanyakan penjelasan.

Namun, si Mamah lebih memilih meneruskan ceritanya. "Tau nggak, mamah mikir apa sewaktu ngeliat cincin kalung yang Fery pake? Mamah seneng karena berpikir Fery teh udah punya pacar. Tapi begitu Nenek bilang bahwa itu cincin pemberian Saga, jelas aja mamah bingung atuh. Masa iya ada cowok ngasih hadiah kayak gitu ke sesama temen cowoknya? Tapi mamah tetap coba berpikir positip. Menduga Saga beliin itu iseng-iseng aja karena bingung mau ngasih apa 'kan. Mungkin sengaja Fery dibeliin itu karena harganya sama mahalnya kayak jam tangan yang Nak Saga terima, gitu 'kan.

"Tapi pemikiran positip mamah teh langsung berubah gitu aja. Saat Nak Saga sama Pak Julius datang ke rumah kita. Melihat cincin yang sama persis seperti di kalung Fery terpasang di jari manis kiri Nak Saga juga. Mamah kayak yang, 'Eh, eh, eh. Maksud na kumaha ieu? Apa-apaan?!' Dan semakin curiga lagi menyadari perhatian Pak Julius ke Fery. Betapa Pak Julius tuh sangat menerima kami sebagai keluarga Fery meski baru kali pertama berjumpa. Sambil mengingat ulang semua cerita yang selama ini Nenek beritahu saat mamah masih tinggal di Bandung.

"Katanya, Nak Saga bawain kue ulang tahun untuk Fery. Waktu Fery masuk rumah sakit, Saga juga yang bayarin semua biaya perawatan. Fery sama Nenek yang sering dikasih oleh-oleh dan makanan. Semua hal-hal baru yang Fery dan Nenek alami setelah mengenal Saga. Termasuk tante juga, Nak Saga. Yang salut karena ada teman Fery yang bersedia menempuh perjalanan jauh naik motor ke Bandung cuma demi nemenin anak tante mudik. Membela Fery dari amukan tante. Terus nggak lupa pake segala ngelus-ngelus kepala Fery sebelum pamitan pulang. Aduh!" Mamah terlihat gemas sendiri. "Setelah menyadari semua itu teh mamah jadinya mikir, 'Asli ada yang nggak beres ini mah. Kudu kumaha atuh? Masa iya anak saya pacaran sama sesama cowok? Sama anaknya artis? Ah, tapi masa kitu?' "

Ragu-ragu, gue menimpali, "Mamah ... awalnya kaget, ya?" Memintai sudut pandang Mamah sebenarnya mengenai hubungan yang gue dan Saga miliki.

Mamah mengangguk pelan sambil agak menerawang. "Nya jelas kaget atuh. Da kumaha, sih. Punya anak satu-satunya yang selama ini jauh, sekalinya tinggal serumah malah ternyata punya pacar lalaki. Apalagi setelah mamah ngintip isi HP-nya Fery--"

"Mamah ngapain?" tukas gue cepat menyadari ada bagian nggak beres yang tadi Mamah sebutkan.

"Ngintip isi HP Fery." Mamah mengulang dengan nada enteng seakan apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang wajar.

Seketika gue tercengang. "Hah? Gimana ... bentar! Jadi mamah dulu minta hotspot pas megang-megang HP Fery tuh cuma alesan aja karena mau ngintipin isi HP Fery?"

Dugaan gue disambut anggukkan nggak berdosa Mamah. "Ya iya, atuh! Aslinya mah kuota sama sinyal mamah masih ada."

Sontak aja gue menggeram. "Mamah! Seharusnya Mamah gak boleh gitu, dong. Itu tuh ... melanggar privasi!" protes gue saking panik membayangkan apa aja yang udah Mamah lihat dari isi di HP gue.

"Privasi apanya, sih? Kan mamah cuma iseng baca-baca chat Fery sama Nak Saga doang. Itu juga nggak banyak," ucap Mamah yang bikin gue merasa sedikit lega. "Oh. Sama ngintip galeri HP Fery dikit."

"YA ALLAH, MAMAH!" seru gue sampe rasanya udah nggak berani menunjukkan muka di depannya lagi.

HANCUR BERANTAKAN UDAH! SEGALA AIB! OBROLAN KOTOR GUE DAN SI BANGSAT! NGGAK ADA LAGI RAHASIA GUE YANG AMAN DARI MAMAH! ARRRRGHH!

Kampretnya, si Mamah malahan tertawa santai. "Gak usah malu-malu begitu. Mamah juga 'kan pernah pacaran!" celetuknya yang makin membuat gue malu bukan kepalang.

"Mamah! Udah, deh!" sungut gue yang hanya bisa menyandarkan badan ke sudut ujung sofa. Berharap mampu mengubur diri sendiri.

"Ih, lihat, deh! Anak mamah sok malu-malu!"

MANA TAMBAH DILEDEKIN LAGI! Nggak ada harga dirinya banget gue di depan Mamah.

"Apakah Tante ... marah?" Gantian, Saga yang kini bicara pada Mamah. "Pada awalnya, begitu tau Saga dan Ryan menjalin hubungan yang ... seperti ini," tanyanya yang bikin gue mengintip obrolan mereka dari balik jemari tangan yang menutupi muka.

Mamah gue lihat tersenyum kecut sebelum lanjut menjelaskan, "Ibu mana yang nggak merasa khawatir dan syok ketika tau anak semata wayangnya justru penyuka sesama jenis, Nak Saga? Jelas atuh, tante sempet marah. Meski nggak bisa disebut marah juga. Lebih ke ... kesel mungkin, ya?"

Sedikit, ada perasaan nyelekit yang menyusup ke sudut hati gue mendengar apa yang baru aja Mamah utarakan.

"Tante berpikir, ini salah tante. Karena kurang ngasih Fery perhatian dan kasih sayang sampe akhirnya anak ini terjerumus pergaulan yang salah. Mungkin ini karma untuk tante yang sejak dulu bersikap buruk ke anak. Jadinya begitu dikasih anak yang begini pun tante nggak bisa berbuat apa-apa."

"Mah..." Gue menegakkan badan lagi. Meraih tangan Mamah seusai menangkap perkataannya yang seolah menyalahkan diri sendiri.

Mamah membalas pegangan gue disertai senyuman yang berubah bungah. "Tapi, seseorang bantu menenangkan mamah, kok."

Seseorang?

"Fery pasti masih ingat, 'kan? Di hari Fery pamit mau nginep ke rumah Nak Saga sebelum kita semua dinyatakan positif corona?"

Tanya Mamah itu gue tanggapi angukkan.

"Waktu itu, mamah ... bicara sama nenek kamu."

DEG!

Satu detakan kencang yang mengejutkan sekujur badan terasa di pusat dada gue. Serta-merta menimbulkan sesak, kalut, hingga ... pilu yang nggak terarah.

Genggaman Mamah semakin mengerat memegangi tangan gue yang udah aja gemetaran. "Mamah dan Nenek membahas tentang kalian berdua. Gimana mamah ngerasa ... hubungan kalian ini nggak bisa dibiarkan. Mamah ungkapin semuanya ke nenek kamu. Soal kenggak-wajaran Nak Saga yang perhatiannya berlebihan ke Fery. Nyebut soal cincin juga. HP, uang, semuanya." Mamah menarik napas panjang. "Tapi, nenek kamu mah cuma diem aja. Terlalu kalem menanggapi permasalahan ini."

Kedua mata gue tahu-tahu udah terasa panas hanya dari mendengarkan potongan cerita itu.

"Malahan nenek kamu teh bilang, 'Harusnya kamu bersyukur atuh, Neng. Karena anak kamu ada yang sayang.' "

Diri gue merasa tertohok.

"Tapi 'kan sayangnya Nak Saga ke Fery teh nggak wajar atuh, ya. Jadi mamah protes. Bilanglah kalo sayang yang Saga tunjukan ke Fery tuh ... nggak normal. Nggak bisa dibiarkan. Cuma, Nenek kemudian ngomong, 'Ya udah, nggak apa-apa. Mau normal ataupun nggak, sing penting anak kamu bahagia. Cucu mamah bahagia. Apalagi sejak Fery kenal Nak Saga, mamah jadi makin sering ngeliat Fery senyum dan ketawa. Berkat Nak Saga, cucu mamah jadi tambah ceria. Biarin aja. Namanya juga anak muda, ya. Kita sebagai orang tua gak perlu ikut campur. Kasian sama Fery juga. Masa iya, kamu tega ngehancurin kebahagiaan yang baru didapat oleh anak kamu satu-satunya, Desy? Mamah mah nggak bisa. Karena melihat Fery bahagia, mamah sebagai neneknya juga seneng dibuatnya.' "

"Jadi, maksud Mamah ... Nenek udah tau?" Air mata gue nggak lagi terbendung sesudah mengetahui semua hal yang Mamah tuturkan.

Mamah mengangguk nanar. "Iya. Karena segala perhatian yang Saga kasih ke Fery, ngingetin Nenek ke almarhum Kakek, katanya," ungkapnya dengan suara yang mulai parau.

Sementara gue terisak-isak dalam rangkulan yang sigap Saga berikan. Merasakan pegangannya yang agak gemetar pada pundak gue, pun helaan napasnya yang terasa berat di balik punggung gue.

"Maaf, karena mamah baru bisa ceritain ini semua, ya," ujar Mamah seraya menyeka sudut matanya yang basah. "Dulu juga, Nenek pernah bilang; kalo aja bisa, Nenek mau banget ngomong ke Nak Saga. Tentang betapa Nenek amat mensyukuri segala apa yang udah Nak Saga berikan. Kepada kami semua, terutama Fery. Sayangnya ... Nenek belum sempat menyampaikan hal itu karena keburu pergi jauh. Untuk itu di sini, biar tante yang mewakili Nenek, ya."

Mamah tahu-tahu menarik tangan kanan Saga untuk diletakkan ke atas punggung tangannya yang masih menggenggam tangan gue. Menumpuknya menjadi satu.

"Kami sungguh sangat berterima kasih kepada Nak Saga. Terima kasih, karena Saga udah begitu tulus menyayangi dan mencintai cucu nenek sekaligus putra tante satu-satunya, Feryan. Terus jaga dia baik-baik ya, Nak Saga. Bahagia selalu pokoknya. Restu dari kami menyertai kalian berdua."

Lalu tangisan Saga pecah seketika. Kepalanya dijatuhkan ke ceruk leher gue, dengan tubuh berguncangan lantaran pasti dilanda kesedihan mendalam, nggak bedanya seperti gue dan Mamah. Menumpahkan air mata bersama-sama. Saling menguatkan, berpegangan, selagi berbagi duka berupa kerinduan.

Kepada Nenek gue tercinta. Sosok yang nggak gue sangka ... selama ini ternyata telah mengetahui hubungan yang terjalin antara gue dan Saga. Tanpa menyadari sedikit pun dukungan yang dicurahkan oleh Nenek secara diam-diam kepada kami berdua hingga akhir hayatnya.

Nek ...
Fery cuma mau bilang, terima kasih banyak-banyak untuk Nenek.
Di dunia ini, Nenek memang orang nomor satu yang selalu mendoakan yang terbaik untuk Fery.
Dan Fery sangat bersyukur sekaligus bangga karena mempunyai nenek yang begitu hebat dan luar biasa.
Tenang di sana ya, Nek.
Di sini, Fery janji akan menjalani kehidupan yang bahagia sesuai apa yang Nenek inginkan. Jadi Nenek nggak perlu khawatir lagi.
Fery sayang Nenek.

.

Si Bangsat muncul kembali dengan wajah basah dan sembab setelah mencuci muka ke kamar mandi. Mata sipitnya yang masih memerah memandang pada gue dan Mamah bergantian, kemudian bahunya lagi-lagi berguncang yang membuat gue refleks menariknya ke dalam pelukan.

"Udah napa!" bisik gue yang semula berniat menenangkan, tetapi jadi ikutan menangis lagi begitu menangkap suara isakannya. "Elo tuh kebiasaan. Kalo udah nangis pasti keterusan!" tegur gue sambil memukul punggungnya pelan.

Di samping kami, masing-masing tangan Mamah mengelus-elus pundak gue dan Saga secara bersamaan.

"Udah, atuh. Kalian jangan nangis lagi!" desis Mamah dibarengi embus napas berat. "Maaf, ya. Gara-gara mamah kalian berdua jadi sedih begini!" imbuhnya, terlihat sedih.

Gue baru berniat merespons Mamah ketika sensasi nyeri tiba-tiba menyerang kepala yang bikin badan gue terlonjak sebab sakit. Sontak gue meringis pelan yang serta-merta membuat si Bangsat menghentikan tangisnya.

"Ryan, are you okay?"

"Eh, Fery kenapa?" Mamah ikut bertanya dan sigap memegangi gue.

"Sakit kepala. Biasa," jawab gue lirih.

Mereka berdua lantas menuntun gue untuk duduk di sofa panjang.

"Sebentar, ya. Mamah ambil obat Fery dulu."

Mamah beranjak menuju ke kamar, sedangkan Saga duduk berjongkok di depan gue. Memperlihatkan wajah sembabnya yang spontan bikin gue menyemburkan tawa tertahan.

"Muka elo jelek banget, Bangsat! Cengeng lo!" ejek gue sambil mengusap-usap paras tampannya yang dipenuhi air mata.

Tangan gue dipegangi kemudian. "Nggak apa-apa. Jelek gini juga elo tetep bucin tuh ke gue," balasnya diakhiri kecupan ke punggung tangan.

"Ini, Fery. Obatnya." Mamah kembali datang dengan membawa plastik berisi obat-obatan gue serta dua botol minuman.

"Makasih, Tante." Plastik obat dan satu botol minuman si Bangsat ambil. Dengan telaten dia mengeluarkan tiga butir obat yang berbeda yang biasa gue minum. Disusul memberikannya pada gue yang lalu segera gue telan.

"Ini juga, minuman untuk Nak Saga. Diminum dulu, ya." Botol satunya Mamah serahkan untuk cowok gue yang menerimanya dengan cengiran.

"Makasih, Tan."

Mamah mengembuskan napas lega memperhatikan kami berdua yang sama-sama baru selesai menenggak minuman. "Mendingan kalian berdua istirahat aja dulu di kamar. Nenangin badan sama pikiran."

Usulan yang si Mamah lontarkan jelas aja memunculkan suasana canggung di antara kami.

"Emm, Saga mendingan pulang dulu aja, Tan," ujar si Bangsat yang buru-buru Mamah cegah.

"Loh, jangan! Kenapa malah pulang?" sahut Mamah dengan senyum penuh pengertian. "Gak usah sungkan atuh. Sekarang 'kan kita sama-sama udah tau. Jadi harusnya Nak Saga nggak perlu malu-malu lagi. Mau ngapain aja sama Fery habis ini, tante mah sok-sok wae. Da anak tante teh bukan anak kecil lagi."

ANJIR! Gampang amat si Mamah ngomongnya. Nggak ada beban atau keberatan sama sekali, gitu? Heran gue!

Lalu Mamah meneruskan, "Apalagi tante juga kadang-kadang nguping kalian pas lagi pacaran di dalam kamar, 'kan. Ih, gemes pisan!"

"Nguping?" ulang gue dan Saga kompak yang seketika membikin Mamah tersentak.

"Eh?" Mamah menutup mulutnya sendiri dan menunjukkan raut muka gugup. "Oh, aduh! Mamah teh lupa belum setor uang arisan ke Bu Jamilah. Bentar, ya. Mamah mau ambil uang dulu ke kamar!" ucapnya yang sesudah itu melarikan diri dari hadapan kami berdua.

Gue dan Saga langsung aja saling berpandangan. Berbagi isi pikiran tanpa suara sampai tiba pada kesimpulan yang mengesalkan sekaligus memalukan atas pengakuan Mamah barusan. Sekonyong-konyong wajah gue dijalari sensasi panas tanpa dapat dikendalikan.

"MAMAH!"

Andai bukan mamah sendiri, udah bakal gue kutuk si Mamah jadi eeknya si Bambang, deh! Huh!

Namun jika dipikir-pikir sekarang, semua hal yang tadi Mamah sampaikan emang terkesan masuk akal.

Gimana Mamah selama ini memaklumi kesedihan gue setelah dulu ditinggal Saga pergi ke UK.

Mamah yang berusaha melindungi hubungan ini dari orang-orang yang berniat mengganggu salah satu dari kami, termasuk Dewi.

Segala pancingan dan topik mengenai pacar yang ditujukan sebagai dorongan agar gue segera mengaku.

Termasuk tindakan Mamah yang selalu membiarkan Saga menghabiskan waktu bersama gue.

Apakah ini artinya ... nggak ada lagi masalah yang perlu gue khawatirkan terkait hubungan kami?

Aku ucapkan terima kasih banyak-banyak kepada semua pembaca yang udah mengikuti kisah SagaRyan sampai pada bab ini. ❤️

Terima kasih juga kepada kalian yang kemarin memberikan vote serta komen-komen yang bikin aku bersemangat untuk menyelesaikan BAB ini. Pokoknya, kalian terbaik!

IYA, TENANG AJA! SBKB#2 BELUM BAKAL TAMAT, KOK!

Aku cuma mau izin untuk istirahat sebentar karena jempol tanganku beneran capek lantaran dipake ngetik puluhan ribu kata non-stop selama beberapa hari ini. 😅

Jaga kesehatan, ya.
Sampai ketemu lagi pada BAB 63 yang berjudul: PEKERJAAN

CIHUUYYY~
DADAH SEMUANYA. MUACH, MUACH!
WKWKWKWKWK ( ˘ ³˘)♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com