66. PENANDAAN
Hayoo, kira-kira kemunculan Adam di sini niatnya kepengin ngapain? 😗
Silakan kalian baca bab ini dan lalu simpulkan sendiri aja. WKWKWK
__
___
____
"Hah? Adik?"
Gue dan Affandi memekik heboh saking sama-sama kaget atas informasi yang diberitahukan Kak Jimmy mengenai Adam. Bahwa Adam sebenernya adalah adik dia. Tapi ... hah? Sejak kapan? Gimana bisa? Kok gue baru tau?
(YA, EMANGNYA GUE SIAPA SAMPE HARUS BANGET TAU JUGA, 'KAN!)
"Sssttt! Kalian nggak perlu bereaksi berlebihan begitu!" hardik Kak Jimmy yang langsung bikin gue dan Affandi bertatapan nggak enak.
"T-tapi serius? Pak Adam ini adiknya Pak Jimmy? Adik kandung?" tanya gue lagi, memastikan.
"Iya, benar, Feryan," jawab Kakak sepupu si Bangsat ini dan mengangguk. "Yah, meski kami berdua emang nggak mirip."
Nah! Itu dia alasan yang bikin gue susah percaya. Soalnya mereka berdua nggak ada mirip-miripnya, woi--kecuali hidung yang sama-sama mancung. Kak Jimmy masih keliatan ada keturunan Chinanya, beda sama Adam yang lebih murni mirip bule.
"Emangnya Pak Jimmy ini berapa bersaudara?" Affandi ikut-ikutan mengintrogasi.
"Lima. Dan Adam adalah adik kedua saya."
BUSEET! Gue yang anak semata wayang ini mana bisa paham bentuk dan rangkaian rumah pohon keluarga Kak Jimmy, deh. Pasti bakal panjang banget andai digambarkan sampe tiga atau empat keturunan.
"Bener-bener keluarga besar."
Komentar Affandi bikin Kak Jimmy ketawa. "Memang."
"Kalian selisih berapa usia, Pak?" tanya gue lagi, masih kepo.
"Saya dan Adam? Empat tahun."
"Berarti umur Adam 23, dong. Hmmm." Gue menggumam. "Tapi kok Adam keliatan lebih tua dibanding Pak Jimmy, ya?" celetuk gue yang tiba-tiba disahuti suara seseorang dari balik punggung.
"Hey! Gue denger, ya. Sembarangan aja kalian ngomongin gue dari belakang."
Waduh! Orang yang dimaksud pake nongol segala. Muncul bersama Saga yang sekadar melipat kedua tangan di depan dada. Ditebak dari ekspresinya, gue yakin dia habis ngomelin Adam habis-habisan.
Padahal yang lebih tua siapa, eh yang kena omel siapa juga. Emang dasar. Sikap gak bisa ditentukan dari usia.
"Tapi muka elo emang keliatan lebih tua dibanding Kak Jimmy, kok." Si Bangsat turut menimpali, membenarkan pandangan gue soal Adam yang jadi makin terlihat nggak terima.
"Secara nggak langsung kalian lagi menghina wajah ibu kami!" desis Adam sok galak yang males gue pedulikan.
"Sudah. Hentikan percakapan nggak penting ini. Lebih baik kalian lanjut bekerja!" titah itu langsung dipatuhi oleh Affandi yang spontan berbalik menghadap kompornya lagi. "Dan Adam, berhenti mengganggu para pelanggan serta pegawai. Kalau kamu nggak punya kegiatan yang berguna untuk dilakukan, lebih baik kamu pulang."
Dinasehati begitu oleh sang Kakak, si Adam cuma mengangguk-angguk nurut sembari berbalik menuju keluar lagi. "Alright, alright! Kalo gitu gue izin tidur aja di kantor." Dia lalu melirik gue. "Dan Ryan, tolong nanti bawain gue cheesecake sama milkshake strawberry, ya. Gue tunggu di kantor."
Hadeeeuh. Nambah-nambahin kerjaan aja itu orang. Mana panggilan dia buat gue masih belum diganti.
"Baik, Pak." Akan tetapi, mau nggak mau gue harus tetap melayani. Karena dia terhitung tamu juga di kafe ini.
Sedangkan Saga tampak mendelik kesal mendapati titah yang Adam berikan untuk gue. "Biar gue aja yang--"
"Nggak usah!" cegah gue ketika melihat dia yang berniat mengambilkan pesanan Adam. "Biar gue aja. Di mana harga diri elo sebagai owner kalo sampe harus ngebawain Adam makanan ke kantor lo sendiri?" desis gue ke arahnya dibarengi senyum simpul.
Akhirnya, si Bangsat menghela napas pasrah. "Oke. Tapi janji, elo harus hati-hati sama dia."
Bisikannya gue tanggapi angukkan paham. "Gue tau, kok. Tenang aja."
Bahkan sebelum diperingati, kewaspadaan gue terhadap Adam udah diterapkan sejak awal mula kami berinteraksi pagi tadi. Jaga diri dan hati itu harus, ya. Belajar dari pengalaman. Sebab menghadapi orang nyebelin kayak si Adam ini butuh kepekaan dan kesabaran yang berkali lipat banyaknya.
.
Lebih dulu gue menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu ruangan pribadi Saga. "Permisi, Pak Adam." Lantas membukanya perlahan sembari membawa nampan berisi dua potongan cheesecake serta segelas milkshake strawberry. "Ini cheesecake dan milkshake strawberry yang Anda pesan."
Adam sontak bangun dari posisi berbaringnya di sofa mendapati kedatangan gue. "Taruh aja di meja."
Sesuai titahnya, gue menaruh cheesecake dan milkshake ke meja di hadapannya. Setelah selesai, gue lekas berpamitan. "Silakan dinikmati, Pak. Saya permisi dulu."
"Eits, tunggu dulu!" sahut Adam yang membuat gue batal beranjak. "Daripada elo pergi ke luar, mendingan elo temenin gue di sini aja. Kita makan cheesecake bareng."
Gue memberinya senyum terpaksa. "Tidak, terima kasih. Pekerjaan saya masih banyak."
"Hoo. Iya juga. Selesai elo kerja aja kalo gitu. Nanti elo temenin gue jalan. Gimana?"
"Saya tidak tertarik."
"Ayolah, Rya--"
"Dan tolong berhenti memanggil saya dengan sebutan itu. Saya benar-benar tidak suka!" tandas gue menyela yang malah memunculkan seringai puas di wajah bule yang bersikap sok akrab banget ini.
"Justru karena elo nggak suka. Gue bakal terus-terusan manggil elo Ryan sampe elo akan menyukainya."
Gue menahan diri mati-matian dari ingin memukulnya menggunakan nampan di tangan. Kemudian sekali lagi pamit, "Saya permisi."
"Eits, tunggu. Gue belum selesai bicara sama lo, Ryan!"
Lagi-lagi gue gagal pergi. Grrrr!
"Anda butuh apa lagi?" tanya gue dengan emosi yang udah di ujung ubun-ubun.
"Tolong, pijitin badan gue," pinta Adam seraya menepuk-nepuk pundaknya sendiri, memperlihatkan bagian punggungnya yang dibaluti kemeja ketat pada gue yang kontan aja memandang jengah. "Pegel banget ini badan gara-gara seharian kemarin naik pesawat terus kena mogok di jalan."
Sumpah, ya. Ini bule semprul punya pikiran nggak, sih? Baru sekarang gue ngalamin disuruh ngasih pijitan saat jelas-jelas gue adalah pegawai di bidang kebersihan.
"Maaf, Pak Adam. Sepertinya Anda salah paham. Karena saya di sini bekerja sebagai petugas kebersihan, bukan sebagai tukang pijat," terang gue mengingatkan daya pikirnya yang siapa tau sedang terganggu.
"Iya, iya. Gue tau. Tapi gue lagi butuh tukang pijat, bukan tukang bersih-bersih. Jadi, tolonglah," balas Adam nggak mengindahkan ucapan gue sama sekali. "Nanti gue kasih elo bayaran, kok. Santai aja."
Udah nggak ada gunanya lagi meladeni dia. Mending gue pergi ajalah.
"Sekali lagi, maaf. Karena saya hanya menerima bayaran untuk pekerjaan utama saya di kafe ini. Tidak untuk pekerjaan atau tugas lain. Saya mohon, tolong jangan ganggu saya lagi. Permisi!" pamit gue yang kali ini nggak mempedulikan panggilan dan seruannya.
"Ryan! Hey! Elo mau ke mana? Hey!"
BODO AMAT! ANGGAP AJA GUE TULI, WOI! Seenaknya aja nyuruh-nyuruh gue macam babu pribadi. Dasar bule berkepribadian nyebelin.
Setibanya di luar kantor, gue spontan aja mengeluarkan sumpah serapah sebanyak-banyaknya teruntuk Adam yang gue katai dari balik pintu.
"Dasar bule setan! Rese! Taik kucing! Virus rabies! Anjing bulukan! Siluman kadal!"
"Are you okay?"
KUTU TERBANG!
Suara si Bangsat yang bertanya bikin gue refleks berbalik untuk menghadap dia yang ternyata sedang berdiri nggak jauh dari sini. Nggak keliatan saking emosinya gue.
"Eh? Oh. Gu--saya baik-baik saja, Tuan," respons gue sambil melangkah menghampiri dia, memberi cengiran.
Cowok gue ini turut tersenyum, lalu mengusap-usap pipi gue lembut selagi berkata, "I know what you're doing and what will you do if something happens to you, so for now, I'll let you. But just tell me if you need anything. Okay?"
Kepala gue mengangguk tanda paham atas pesan darinya. "Okay!"
"Good. Sana, balik kerja."
"Siap, Tuan!"
.
Namun selama seorang Adam masih berada di lingkungan kafe, maka selama itu juga gue masih belum bisa menghirup napas kebebasan sebab kelakuan ngejengkelinnya terus aja diperlihatkan.
Termasuk ketika tiba jam makan siang.
"Ryan! Di sini! Duduk bareng gue!" Adam yang duduk di ujung samping kanan mengangkat tangan, melambai-lambai pada gue yang lebih memilih menghampiri posisi Mbak Tiara di sisi ujung satunya.
"Tolong geser dikit dong, Mbak. Maaf, ya," pinta gue yang untungnya nggak keberatan Mbak Tiara turuti.
Menyusul kedatangan Saga serta Kak Jimmy yang membawa dua nampan besar berisi total delapan piring porsi makanan untuk masing-masing dari kami.
"Menu makan siang kita hari ini adalah chicken katsu dan capcay. Silakan dinikmati. Semoga kalian suka, ya!" ujar Saga seraya meletakkan piring berisi nasi dengan lauk chicken katsu dan capcay berkuah amat kental di depan kami.
Ugh, ngiler. Salah satu menu favorit gue, nih.
"Terima kasih, Tuan!" seru gue dan para pegawai lain kompak, kemudian buru-buru melahapnya tanpa lupa berdoa dengan cara kami masing-masing.
"Nggak ada menu yang lain? Kalo makanan kayak begini sih, setiap hari juga gue makan."
Celetukan sialan Adam terang aja membikin gerakan makan kami terjeda. Gue dan Mbak Tiara mendelik pada si bule kampret, sangat merasa terganggu atas ucapannya yang nggak sopan.
Terpaksa, gue buka suara, "Jika Anda tidak mau, tidak ada yang memaksa Anda untuk memakannya, Pak. Dan tolong, hargai jerih payah para koki kami," tegur gue yang sesudah itu melanjutkan makan siang. Nggak peduli walaupun dia adik dari salah satu pengurus kafe ini.
Toh, di sini siapa pun bebas menyuarakan keluhan selama beralasan dan tetap sopan.
"Gue makan dessert-nya aja, deh," kata Adam yang sekadar gue tanggapi putaran bola mata.
MAU ELO MAKAN PIRINGNYA AJA JUGA SILAKAN! NGGAK BAKAL ADA YANG NGELARANG, KOK! Batin gue mendumel.
Gara-gara kehadiran si Adam pula, gue sama Saga jadi nggak bisa menghabiskan waktu berdua di kantor kayak biasanya. Beda banget si bule kampret itu sama kakaknya, Kak Jimmy. Padahal Kak Jimmy selalu memahami posisi kami. Memberi pengertian serta privasi dengan dia yang mengalah mengobrol bersama yang lain selagi gue dan Saga izin mojok berduaan. Tapi Adam ini ... nggak tau lagilah gue.
"Elo mau langsung pulang?" tanya si Bangsat selagi memperhatikan gue yang sedang berganti pakaian.
Kepala gue anggukkan. "Iya. Males gue lama-lama di sini karena masih ada si Adam. Sepupu elo itu ngeselin."
"Sorry." Dia berjalan mendekat untuk bantu merapikan rambut gue yang berantakan sesudah memakai kaus. "Gue nggak nyangka dia akan berulah kayak gitu sepanjang hari ini. Wajar kalo elo ngerasa kesel, kok."
"Ya, emang!" sahut gue diakhiri dengkusan.
Seragam kerja gue taruh ke keranjang baju kotor. Lanjut mengambil celana kerja, sepatu yang udah gue taruh ke plastik, hingga semua barang pribadi yang lalu dimasukkan ke dalam tas. Begitu selesai, gue juga memakai jaket, disusul meraih helm di atas lemari untuk dibawa. Berbalik menghadap Saga kemudian, melihatnya yang masih menemani gue di sini. Selalu begini.
Gue nyengir ke sosok pacar gue ini, lalu merapatkan kedua badan kami. Soalnya gue beneran pengin ngabisin waktu lebih lama sama dia.
Jadi, gue meminta, "Sepulang dari kerjaan nanti, elo usahain mampir ke rumah, ya. Gue ... kangen," ungkap gue berterus terang. "Bosen gue kebagian mojok di kantor terus."
Suara ketawa si Bangsat justru terdengar menanggapi ungkapan gue barusan. "Gemesnya!" badan gue dipeluk erat-erat oleh kedua tangannya. "Ada yang kangen ke gue, nih."
"Heh, gue serius!" sembur gue dan melayangkan pukulan ke pantatnya.
"Gue tau, kok," balasnya berbisik dan balik memukul pantat gue. Berkali-kali yang kemudian berubah menjadi remasan.
Bahkan jemarinya yang panjang dengan sengaja digesek-gesekkan ke garis tengah celana, pada bagian luar belahan pantat gue yang serta-merta membuat gue mendesah tanpa suara. Nggak tahan lagi, akhirnya gue mendongak. Menarik tengkuk Saga ke bawah untuk mengajaknya bercumbu.
Helm gue jatuhkan dan ganti berpegangan pada leher dan lengan Saga selagi kedua bibir kami berpagutan. Tangan gue bergerak meraba bagian belakang lehernya pelan, dengan si Bangsat yang lalu membopong badan gue. Menggendong dari depan untuk lalu menyandarkan punggung gue ke dinding tanpa melepaskan ciuman kami sama sekali.
Aroma napas ini. Hangat lidah serta belaiannya yang bikin nagih. Duh, bahaya! Harus buru-buru diudahin sebelum kami nggak bisa berhenti.
"Haah, Saga!" desah gue sembari menarik-narik ujung rambutnya ketika dia beralih mengecupi leher. "Mending kita udahan sebelum Minions elo mulai maksa buat nerabas masuk," desis gue terpaksa membubarkan keintiman kami lantaran menyadari ereksi Minions yang berkali-kali ditabrakkan di bawah sana.
Mendengarnya, si Bangsat tertawa tertahan. "Iya, gue setuju." Bibir gue diberi kecupan sekali lagi. "Sisanya biar kita lanjutin di rumah elo aja," cetusnya seraya menurunkan badan gue secara hati-hati.
"Beneran, ya? Nggak bakal gak jadi lagi gara-gara si Adam, 'kan?"
"Beneran, Sayang!" jawab Saga yakin sambil memberi gue cubitan ke pipi.
Gue mendengkus. "Awas aja kalo elo bohong," gerutu gue, sesudah itu mengambil helm yang terbuang. "Bakal gue getok kepala lo pake helm ini."
Dia nyengir. "Mendingan elo getok gue pake ciuman. Berkali-kali juga boleh, kok."
Mulai noraknya!
"Udahlah. Males gue, ah! Dah!" pamit gue dan bersiap keluar.
"Dadah! Hati-hati di jalan, ya."
Namun, melihat si Bangsat yang sekadar dadah-dadah aja tanpa beranjak dari sini, alhasil bikin gue urung membuka pintu untuk bertanya.
"Elo nggak keluar?"
Mata sipitnya melirik ke bawah. "Dengan kondisi kontol yang masih begini?"
Mata gue jadi menyipit demi memperhatikan cetakan keras Minions yang masih nampak. "Oh, iya. Ya udah. Tapi awas, jangan elo keluarin dulu muatannya. Mending disimpen buat nanti malem aja," goda gue yang sukses membikin Saga menggigit bibir.
"Gue gempur habis nanti malam baru tau rasa lo, ya."
Wow. Ancamannya sungguh menggairahkan sekali. Nggak sabar gue jadinya.
Jadi gue semakin gencar menggodanya. "Coba aja kalo bisa! Hahaha!"
Setelah itu gue pergi. Meninggalkan si Bangsat yang gue yakini lagi senyam-senyum juga di dalam sana. Ugh, bahagia banget gue. Mana rasa ciuman yang tadi masih kebayang-bayang. Makin nggak sabar gue jadinya. Kepengin waktu malam cepet datang biar kami bisa bertempur di atas ranjang secepatnya. Kalo pun gak bisa tempur, minimal kami saling ngocok dan jilat-jilatanlah.
Sialnya, bayangan mengasikkan gue seketika pupus dikarenakan sosok Adam yang lagi-lagi muncul di dekat gue. Kali ini, duduk dengan santai di atas jok motor gue yang masih terparkir rapi.
Oke. Tarik napas banyak-banyak dulu hitung-hitung ngumpulin kesabaran demi mencegah gue menumbuk muka ngeselinnya pake helm di tangan.
Gue berdeham keras. Sengaja supaya Adam yang sedang sibuk berkaca melalui spion motor gue menghentikan kegiatan nggak jelasnya.
"Elo ngapain di situ? Turun! Gue mau pulang."
Nggak perlu ada panggilan sopan yang harus dilontarkan mengingat jam kerja gue telah usai.
Dia malah nyengir dan sekadar menggeser posisi duduknya lebih ke belakang. "Sengaja nungguin elo. Mau nebeng."
"Jok motor gue sempit."
"Masih bisa muat, kok."
"Ini motor pribadi. Jadi, gue nggak akan mengizinkan orang asing ikut naik."
"Kalo gitu, ayo saling mengenal lebih dekat supaya elo nggak--"
"Nggak butuh."
"Uang bensinnya bakal gue ganti, kok."
"Uang bensin masih bisa gue bayar sendiri, tuh."
"Gue yang nyetirin."
"Nggak mau! Gue cuma maunya elo minggir cepetan."
Adam terlihat putus asa karena gue nggak kunjung memenuhi keinginannya. "Ayolah, Ryan! Gue lagi berusaha melakukan PDKT ke elo, nih."
BACOT AMAT PDKT! Gue tendang dia pake tendangan setara kekuatan Luffy bisa mental kali sampe ke Zimbabwe.
"Siapa yang peduli? Siapa yang nyuruh?" respons gue sinis sambil mulai mengenakan helm. "Lagian elonya aneh. Ngajak PDKT kok sama orang yang jelas-jelas udah punya pacar."
Dasar gila. Batin gue menyambungkan.
Dia menunjukkan ekspresi masam menangkap reaksi gue. "Yah, karena elo keliatan nggak bahagia pacaran sama Saga."
"Hah?"
DIA BILANG APA BARUSAN?
Adam menghela napas dengan lagak lesu. "Saga itu orangnya cuek. Dan kadang terlalu serius juga. Iya, 'kan? Jadi gue pikir, elo pasti agak tertekan punya pacar kayak dia. Mana dia tega ngejadiin elo pegawai pribadinya. Kalo gue sih nggak bakal setega itu ke pacar sendiri."
Seluruh penuturan yang tadi Adam sampaikan benar-benar membuat gue tercengang. Sampe gue tanpa sadar menyemburkan tawa tertahan saking kegelian.
TOLONGLAH, SIAPA PUN! Benerin isi otak ini bule yang asli nggak bisa gue tebak jalan pikirannya. Haduuuh, capek deh gue.
"Mohon maaf, Pak Adam. Dari mana semua penilaian ngawur Anda berasal?" tanya gue di sela-sela tawa yang seolah kepengin banget menyembur keluar. Mending ditutup aja pake masker, ah. "Apakah dari masa setengah hari Anda yang memperhatikan saya dan Saga di tempat kerja ini? Iya? Wow. Luar biasa! Karena dapat saya simpulkan, sudut pandang Anda betul-betul dangkal dan sangat konyol," balas gue dibarengi sindiran.
Dan melihat reaksi gue, gantian si Adam yang sekarang dibuat tercengang. Orang sok tau kayak dia emang bagusnya dikasih pelajaran.
"Minggir cepetan! Gue mau pulang."
Mendengar bentakan gue, Adam pun kembali tersadar. "Gue beneran mau ikut, Ryan."
INI BULE BENER-BENER MENGUJI KESABARAN GUE BANGET, ANJIR!
"Heh, Adam!" bentak gue sekali lagi lantas memperingatkan, "Gue kalo udah kehilangan kesabaran bisa nyeremin, loh. Tolong banget pengertiannya. Plis, biarin gue pulang sekarang. Sebelum gue ngelakuin hal yang mungkin nggak bakal elo sukai. Contohnya, ngejedotin kepala gue yang make helm ini ke kepala besar lo yang otaknya super kecil itu. Oke? Sampe sini paham, belum?"
Omelan gue menjadikan raut muka Adam berubah pucat karena gue emang nggak main-main sama ancaman tadi.
"Oke, silakan!" katanya pasrah.
"Nah, gitu, dong!" sahut gue yang akhirnya bisa menduduki jok kesayangan gue tanpa pengganggu.
"Heran gue bisa-bisanya elo punya sifat sejudes ini. Apa elo nggak takut bakal bikin Saga bosen dan ilfil?"
Lagi-lagi gue dibuat hampir ketawa dikarenakan ucapannya. "Adam oh Adam. Andai aja elo tau bahwa gue punya sifat judes begini ke orang lain adalah satu satu alasan kenapa sampe bisa bikin dia bucin."
"Hah?"
Gue nggak lagi mempedulikan reaksi Adam. Langsung aja tancap gas, membiarkan bule jangkung itu berdiri dengan masih memasang ekspresi bengong.
Biarin aja dia mikir keras. Hitung-hitung melatih daya kerja otaknya supaya jadi lebih terasah. Itu juga kalo bengong dia mampu menghasilkan keajaiban, sih. Siapa tau 'kan.
Lagian gue heran. Kok bisa ada laki-laki yang usianya lima tahun lebih tua dari gue, ditambah seorang sarjana, loh. Tetapi dia punya sifat yang sangat-sangat di luar dugaan. Padahal saat awal gue melihat interaksinya dengan Saga, gue pikir mereka punya hubungan yang akur dan tanpa masalah. Eh, nggak taunya dia malah seakan-akan punya niatan untuk merebut gue selaku pacar adik sepupunya. Huh, hah!
Emang bener, ya. Kita nggak boleh asal menilai pribadi seseorang hanya dari satu kali pandangan. Salah-salah yang ada diri kita yang jadi korban dan makan perasaan.
.
"Mah, Fery boleh nanya, nggak?"
"Iya, apa?"
"Menurut Mamah, apa Fery ini ... menarik?"
Pertanyaan yang gue utarakan membuat Mamah mengalihkan perhatiannya dari tayangan Rumpi di TV. "Menarik dalam hal apa?"
Ragu-ragu, gue menjelaskan, "Itu dia yang bikin Fery kepikiran, Mah. Emangnya, Fery ini menarik di bagian mananya, sih? Sampe bikin beberapa cowok suka banget ngegodain Fery."
Pemikiran itu mengganggu gue bukan tanpa alasan melainkan disebabkan oleh kelakuan si Adam yang terus-menerus menunjukkan sikap sok akrab terhadap gue. Sedangkan kami baru kenalan kemarin dan berinteraksi hari ini. Kalo dia kayak si Arbenjo mungkin gue bisa agak mengerti soalnya gue dan Benjo saling kenal sejak awal masa SMA. Jadi sewaktu Benjo mengaku bahwa dia suka dan tertarik ke gue, sedikit gue mampu percaya mengingat gimana usahanya juga demi menarik perhatian gue berkali-kali.
Masalahnya, si Adam inilah yang bener-bener bikin gue nggak paham sama setiap tindak-tanduknya. Semena-mena manggil gue Ryan. Ngaku mau ngajak PDKT. Ngambil kesimpulan asal atas hubungan yang gue dan adik sepupunya jalani. Udah gitu kayak sengaja banget berniat ngegangguin gue sepanjang hari. Atau cuma guenya aja yang kegeeran, ya?
"Adedeuh! Anak mamah laku, uy. Cieeee."
"Mamah, serius atuh!"
Yeee, si Mamah. Anaknya ini lagi minta dikasih pencerahan, dianya malah ngasih olok-olokan. Lagi pula nggak ada yang patut dibanggakan dari dianggap laku karena disukai oleh sesama cowok, kali. Gue disukai dan dibucinin oleh cowok gue sendiri aja udah cukup bikin bahagia. Nggak usah lagilah ditambah bertemu orang-orang nggak dikenal yang kehadirannya cuma membuat perasaan gue runyam--dalam artian kesal dan risih, bukannya merasa galau apalagi tertarik.
Dipikir mentang-mentang gue pacaran sama cowok, jadi setiap didekati oleh sesama cowok lain, maka hati dan perasaan gue serta-merta tergoda gitu? Dih, jangan harap. Saingan mereka berat soalnya.
"Hmmm." Mamah menggumam panjang seakan mulai berpikir mengenai topik yang gue bicarakan. "Kalo ingat kata-kata Nak Saga, sih. Katanya Fery menarik karena Fery ini orangnya apa adanya, 'kan? Nggak dibuat-buat. Nggak suka bohong. Kalo lagi suka, ya bilang suka. Kalo sebel, ya diliatin. Pas marah, ya ditunjukin. Kalo ada apa-apa, pasti bakal bilang--meski kadang bandel dan diem aja. Pokoknya, gemesin kitulah!" tuturnya menerangkan yang sama sekali nggak memuaskan keingin-tahuan gue.
"Kok Mamah malah ngambil jawaban dari Saga?" protes gue diakhiri dengkusan. "Nggak kreatif itu namanya. Mamah nyontek!" imbuh gue yang semata-mata membuat Mamah gregetan.
"Ya iya, dong. Kan Saga pacar kamu. Jelas dia yang lebih paham sisi menariknya Fery di mana. Sebagai cowok yang memandang Fery dengan cara berbeda. Kalo nanyanya sama mamah mah, mana mamah tau atuh. Da mamah teh mamah kamu," jelas Mamah yang lalu menunjukkan senyuman geli.
Apa yang dikatakan Mamah ada benarnya juga, sih. Sudut pandang seorang pacar dan orang tua mau dibandingkan segimanapun jelas nggak bakalan sepadan.
"Dan Mamah setuju sama apa yang dibilang Saga?"
Kepala Mamah mengangguk cepat. "Semua pendapat Nak Saga soal Fery mamah setuju, sih. Soalnya Nak Saga udah bucin parah pisan 'kan ke kamu. Jadi mamah yakin penilaian dia nggak mungkin meleset!" pungkasnya tampak bersungguh-sungguh. "Da Fery juga kalo ditanyain soal pendapat Fery tentang Saga oleh Pak Julius, pasti ngasih jawaban yang bagus-bagusnya aja, 'kan? Sebagai pacar."
Eh, apa iya? Seingat gue dulu, saat awal ngebahas perihal itu sama Om Julius, gue memaparkan secara terang-terangan sifat anak beliau yang sangat kurang ajar dan menyebalkan, deh.
"Permisi, paket!"
Gue dan Mamah kompak melongok ke depan begitu mendengar seruan barusan. Kayaknya gue nggak ngerasa mesen paket, deh. Atau ini pesanan Mamah?
"Asik! Paket mamah datang!" sorak Mamah senang lantas berlari menuju ke depan.
Oh, bener. Ternyata Mamah yang memesan. Semenjak dapat uang dari menang arisan minggu lalu, Mamah nggak henti-hentinya memesan paket melalui online shop, dong. Bahkan gue dan Saga aja sampe dibeliin sepatu baru oleh Mamah yang sebetulnya nggak perlu-perlu banget. Kata Mamah sih, sesekali mau beliin kami barang couple. Soalnya lucu.
Ada-ada aja dasar.
"Mamah beli apaan lagi sih, Mah?" tanya gue ketika melihat Mamah membawa paket yang ukurannya nggak lebih besar dari telapak tangan sendiri.
Senyum semringahnya muncul selagi memberitahu, "Ini, loh. Mamah beli lipstik baru. Rekomendasi dari Bu Jamilah. Bentar, ah. Mau dicobain dulu!" Sekonyong-konyong Mamah melangkah cepat menuju ke kamar.
Meninggalkan gue yang hanya bisa geleng-geleng kepala, memaklumi tingkah lakunya. Biarlah. Selama itu bisa bikin Mamah senang 'kan.
Gue lalu berbaring ke sofa sembari memainkan HP. Belum mendapati notifikasi baru apa pun dari kontak serta grup yang ada di aplikasi chatting. Yang muncul adalah notifikasi Facebook, Instagram hingga YouTube yang semuanya langsung gue tutup. Untuk kemudian membuka satu per satu story WhatsApp yang ada di daftar kontak gue.
Zyas yang selfie memamerkan anting barunya. Setya yang sibuk dengan lingkungan kuliahnya. Nando yang mem-posting lirik lagu bernada rindu. Jofan dan Arima yang selfie berdua di kereta. Ajay yang katanya masih ngantuk. Sampai status Saga yang berisi foto-foto dari menu buatannya hari ini dan di-posting sejak pagi tadi.
Hadeeeuh, bikin ngiler. Mana mata gue mendadak berasa berat lagi.
Taruh ajalah HP-nya. Mendingan gue tidur siang dulu aja supaya isi di pikiran gue nggak runyam berkepanjangan sambil membayangkan lagi momen intim yang tadi gue dan si Bangsat lakukan di ruang ganti. Berakhir senyum-senyum sendiri, sampe perlahan kesadaran gue nggak tersisa lagi.
.
"Fery! Fery! Bangun atuh."
"Hmmm. Apa, Mah?" Gue masih enggan membuka mata saat menjawab gugahan dari Mamah.
Pipi gue ditepuk satu kali. "Udah sore, Fery. Bangun, ayo. Cepetan mandi terus sholat sana. Bentar lagi Maghrib, takut gak keburu."
Mendengar rentetan titah itu, mau nggak mau gue pun bangun dari posisi wenak di sofa ini. "Iya, Mah. Fery udah bangun, nih," ucap gue lesu sembari menggaruk-garuk leher. Gatel. Kayaknya emang butuh mandi.
"Sama itu. Tadi ada chat dari Nak Saga. Nanyain. Katanya, nanti malem kalo dia ke sini, mau dibawain apa."
Kedua mata gue sontak mendelik mengetahuinya. "Eh, beneran?" Gue segera mengambil HP.
"Iya. Tapi udah mamah bales chat-nya, kok. Jadi mending Fery cepetan mandi dulu aja, terus sholat."
Penuturan itu bikin gue urung memeriksa HP. Ya udah kalo gitu. Sebaiknya gue emang mandi dulu. Biar badan berasa seger lagi.
.
Saga Bangsat 😸:
Nanti malem elo sama Tante mau dibawain apa?
Siapa tau ada makanan yang elo pengenin.
Gue:
Ferynya lagi bobo siang, Saga.
Tuh. 😄
LALU DENGAN KURANG KERJAANNYA MAMAH SEGALA NGIRIMIN FOTO GUE YANG LAGI TIDUR SIANG. MANA JELEK BANGET LAGI MUKA GUENYA! ANJIR!
Saga Bangsat 😸:
😂😂😂
Kalo gitu Tante mau dibawain apa?
Gue:
Martabak bangka pandan ketan aja.
Sama es buah.
Saga Bangsat 😸:
Oke, Tante.
Gue:
👍
ARRRRGHHH! KACAU ASLI SI MAMAH!
Rasa-rasanya gue langsung kepengin ngebanting HP sesudah membaca rentetan chat antara Mamah dan si Bangsat ini. Mana Mamah cuma memesan rasa martabak kesukaannya sendiri. Seharusnya dia juga turut memesankan rasa pandan pisang keju favorit gue. Sama jus alpukatnya biar tambah mantul.
Sebelum orangnya datang, ayo buru-buru kita ganti pesanan. Tetapi, kasian juga ke si Mamah kalo sampe martabak pandan ketannya nggak jadi datang. Udah mana pasti antrean di tukang martabak tuh panjang. Yang ada waktu Saga bakal kebuang hanya demi menunggu martabak pesanan kami doang.
Ya udahlah. Biarin aja. Gue toh bisa beli dan pesan martabak rasa pisang keju kesukaan gue lain kali lagi. Apalagi bentar lagi gue gajian. Cihuy! Bisa makan-makan nanti kita. Pesen seblak sama bakso setan sampe kenyang.
Asalkan nggak bakal ketauan cowok gue nantinya. Semua aman. Ehehehe.
.
"Assalamu'alaikum!"
Gue yang tengah mencuci piring spontan tersenyum semringah menangkap salam yang diserukan oleh sosok cowok gue tercinta. Selalu suka setiap dia mengucapkan salam kayak gitu. Terkesan sopan dan alim banget. Jadi gemes kepengin ngajak dia jadi mualaf.
Becanda.
"Wa'alaikumsalam!" sahut Mamah membalas dan terlihat melangkah buru-buru ke depan. "Fery, Nak Saga datang, nih."
"Iya, Fery tau, Mah!" respons gue yang masih mengurusi cucian piring yang tinggal sedikit lagi.
Setelah selesai, lekas gue berjalan ke ruang tengah dengan nggak sabar. Tetapi, serta-merta perasaan senang gue buyar lantaran melihat ada sosok lain yang ternyata Saga turut ajak kemari.
"Ngapain Adam ikut ke sini?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com