Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

67. PENAMBATAN

Guys, minta tolong kasih vote dan komen sebanyak-banyaknya untuk BAB ini, ya. Karena aku ngetik BAB ini sambil berjuang melawan ngantuk, pusing, sedih sampe stres.
Untuk itu, aku mengharapkan sekali apresiasi serta dukungan dari kalian hitung-hitung sebagai hiburan. 🥺

Perlu kalian tau, menulis kemudian bisa kenal para pembaca yang begitu menyukai karyaku bahkan gak bosan-bosan mengomentarinya merupakan salah satu suntikan semangat yang aku butuhkan setiap hari. Karena sejujurnya, sepanjang bulan Juli ini kondisiku lagi nggak begitu baik-baik aja. 💔
Makanya, aku sangat-sangat berterima kasih kepada kalian semua yang selalu menyempatkan diri memberikan semangat serta isi komentar yang menghibur aku. ❤️

Sekali lagi, terima kasih banyak. Karena tanpa kalian sadari, sebetulnya kalian memiliki peran cukup besar dalam kehidupanku, loh. Dan aku sungguh sangat bersyukur untuk itu. 🥰

Semoga kalian menyukai BAB 67 dengan total 4000 kata ini, ya. 🌈
Sayang banget kalian banyak-banyak.
( ꈍᴗꈍ)

__
___
____

"Ngapain Adam ikut ke sini?"

Pertanyaan itu langsung melunturkan senyuman ceria Adam yang tengah bersikap sok akrab juga pada Mamah. Sekilas, gue lihat dia dan Saga saling pandang. Kemudian mengerling ke Mamah yang serta-merta menegur gue.

"Fery! Nggak boleh begitu sama tamu."

Teguran itu gue abaikan untuk lantas berkacak pinggang pada si Bangsat, menatapnya kesal. "Elo ngeselin, ya. Ngapain segala ngajak orang lain ke sini, sih?"

"Fery!" hardik Mamah dengan suara tertahan dan sorot mata malu. Setelahnya menghadap Adam. "Aduh, maaf ya, Mas Adam. Padahal Fery nggak biasanya galak begini ke orang baru."

GUE JADI BEGINI JUGA BUKAN TANPA ALASAN, KALI! Tck, bodo amatlah.

Akhirnya gue mendengkus dan berbalik pergi. "Fery mau masuk ke kamar aja, Mah. Males kalo mesti duduk sama dia."

"Fery!" Mamah berdiri, yakin berniat menyusul. Tetapi nggak gue hiraukan dan lebih memilih berjalan terus sampai ke kamar.

"Biar Saga aja yang ngomong sama dia, Tante. Permisi!"

Mendengar ucapan si Bangsat menjadikan langkah gue kian cepat. Sayangnya, belum sempat gue membuka pintu kamar, dia justru keduluan mencegah gue masuk.

"Hey, Babe. Jangan ngambek, dong."

"Bodo! Gue nggak mau ngomong sama lo!" Badannya gue dorong yang sialnya nggak berpengaruh sama sekali.

Susah mah badan kerempeng gue ngelawan tubuhnya yang lebih gede.

"Hey, hey, hey!" Pinggang gue dipeluk dan dipegangi dari belakang yang kontan bikin gue nggak berkutik. "Listen. I'm sorry, okay? Adam bilang dia penasaran kepengin tau rumah lo di mana begitu tau Kak Jimmy juga pernah diajak kemari."

Mendengar penjelasannya sama sekali nggak membuat perasaan gue lebih baik, dong. Yang ada kekesalan gue tambah menjadi-jadi aja.

"Ya, tapi nggak harus sekarang juga, 'kan?" Pelukannya gue lerai paksa, lalu gue menghadapnya untuk memberikan sorot kecewa. "Gue tadi siang jelas bilang bahwa gue kangen dan mau BERDUAAN sama lo, Bangsat! Asli, ya. Mood gue hari ini kayaknya sengaja banget kalian bikin ancur lebur," keluh gue diakhiri dengkusan sengit, kemudian mendesah pasrah. "Udahlah. Sana, elo ngobrol aja sama Mamah! Gue mending tiduran di kamar."

"Come on, Ryan!" Lagi-lagi Saga berhasil mencegah gue masuk. Jemari tangan gue pun digenggamnya lembut dan diusap-usap. "Jangan begini. Gue juga beneran kangen sama lo, oke? Adam nanti pasti pulang, kok. Dia ikut ke sini dan janji nggak akan lama," sambungnya memberitahu.

"Berarti elo nggak bakalan lama juga main ke sininya?" tanya gue yang malah jadi merasa sedih.

Ssbelah alis lebatnya terangkat dibarengi senyuman. "Siapa bilang? Gue berencana mau nginap, kok."

Gue menatapnya ragu. "Jangan bohong lo! Terus nanti Adam pulangnya gimana?"

"Tinggal gue pesenin ojol aja. Beres."

Solusi yang udah disediakannya membuat gue tersenyum tertahan. "Beneran?"

"Iya, Bego Sayang!" jawab Saga yakin sambil melancarkan cubitan ke hidung gue. "Dan gue juga udah bawain sesuatu yang gue yakin akan elo suka. Ayo, kita ke depan." Tangan gue digandengnya menuju kembali ke ruang tengah.

"Emangnya elo bawa apaan?"

Pertanyaan gue terjawab begitu si Bangsat yang dibantu oleh Mamah membukakan wadah martabak pandan satu lagi yang ternyata berisi rasa pisang susu keju. Rasa favorit gue.

"Padahal gue nggak minta," komentar gue sebelum mulai mengambil sepotong martabak beraroma manis dan wangi pisang ini.

Cowok gue nyengir seraya mengambil satu lagi plastik di ujung meja. "Tapi gue tau elo suka. Makanya gue beliin. Dan ini, jus alpukat. Maaf karena udah nggak terlalu dingin," ungkapnya kepalang perhatian yang nggak lupa menancapkan sedotan ke jus alpukat sekalian. "Nih."

Jus alpukat darinya gue terima dengan perasaan berbunga-bunga. "Makasih banyak, Saga."

MAKIN BUCIN GUE, WOI! UDAH NGGAK TERTOLONG LAGI SIKAP SUPER PENGERTIAN DIA INI! ARRRGHHH! GAK PAHAM LAGI GUE! CINTA MATI POKOKNYA!

"Ya ampun. Nak Saga ini selalu aja. Sangat pengertian ke Fery. Meuni gemes liatnya."

Tuh, 'kan. Bahkan Mamah gue aja mengakui.

"Kasian Tante. Cuma jadi obat nyamuk di tengah kebucinan mereka."

Celetukan Adam memudarkan senyuman gue. Masih sambil melahap martabak, gue mendelik sengit ke arahnya yang tengah menyedot jus tai dengan santai.

Anggap aja jus tai. Soalnya warna kuning, sih. Huh!

"Nggak apa-apa atuh, Mas Adam. Toh mereka anak sendiri, bukan orang lain. Dan bucinnya masih wajar juga. Makanya tante maklum," respons Mamah santai dan lanjut memakan martabak ketan yang udah habis tiga potong.

Kampretnya, si Adam malah bicara lagi, "Tante beneran nggak keberatan sama hubungan mereka? Meski anak tante satu-satunya pacaran sama sesama cowok?"

Kunyahan gue terhenti seketika untuk lagi-lagi mendelik ke arah si bule gak berotak dan minus akhlak ini, memberinya jurus tatapan mengutuk dalam diam. Dih! Tujuan dia nanya-nanya hal kayak gitu ke Mamah supaya apa, sih? Heran gue.

"Tante waktu itu udah mikirinnya sampe berbulan-bulan, sih. Dari mulai ngarep mereka putus aja, terus juga berharap Nak Saga ketemu orang lain di luar negeri saat tahun kemarin berangkat untuk ngurus kuliahnya. Tapi mungkin namanya jodoh, ya. Ujung-ujungnya tetep baikan dan ketemu lagi. Mereka saling ngebutuhin. Nggak bisa kalo nggak saling mikirin satu sama lain. Makanya habis itu, tante mah ngebiarin aja. Yang penting mereka bahagia."

MANA SI MAMAH MAU-MAU AJA NGELADENIN. Dengan penuturan yang panjang lebar pula. Padahal nggak bakal ada gunanya dikasih tau ke sosok cowok nggak punya pikiran macam si Adam.

"Nggak takut dosa, Tan? Kalian punya Tuhan, 'kan?"

NAH, 'KAN, APA GUE BILANG! Makin diladeni, tambah makin menjadi sifat kurang dihajarnya. Andai nggak sayang, kepengin aja gue jejelin semua martabak jatah gue ke mulut busuknya. Najis banget.

"ADAM! You better know your limit!" tegur Saga dengan nada dingin disertai sorot kesal.

Lalu gue pun ikut menanggapi, "Gue lebih tau sebanyak apa dosa dan kekurangan gue dibanding Mamah. Jadi, biar segala dosa itu gue yang tanggung sendiri. Kalo pun iya Mamah harus ikut campur, jelas-jelas itu bukan urusan elo, 'kan?" tukas gue sinis pada Adam yang cuma manggut-manggut seakan nggak peduli.

BULE MINTA DIKENTUTIN!

"Udah atuh! Mendingan cepet dihabisin martabaknya sebelum dingin," ucap Mamah mengingatkan yang jelas aja gue turuti.

Karena memakan martabak ini jauh lebih bermanfaat ketimbang harus meladeni bacotan nggak bermutu seorang Adan.

"Mending elo buruan nyuruh dia pulang sebelum mood kita semua dibikin rusak sama dia," saran berupa sindiran gue sampaikan pada si Bangsat yang untungnya mengangguk setuju.

"Oke. Gue bakal pesenin dia ojol sekarang."

"Kok pesen ojol?" protes Adam. "Mendingan gue pulang pake mobil elo."

"Terus, besok gue ke kafe mau naik apa?"

"Ya, elo boncengan sama Ryan, lah!"

RYAN, RYAN, BACOT ANJING! Gak suka banget nama itu disebutin dari mulut bule terkutuk ini!

"Emangnya elo udah hapal jalan menuju rumah gue?"

"Ya, belum, sih. Bisa pake Google Maps, 'kan?"

Gue dengar si Bangsat menghela napas panjang sebelum bertanya lirih, "Naik ojol atau elo pulang jalan kaki?"

Tawa tertahan gue dan Mamah spontan menyembur atas pilihan yang Saga tawarkan kepada sang sepupu yang sontak menunjukkan ekspresi masam.

"Jadi elo lebih milih pacar elo dibanding gue? Kakak sepupu elo sendiri?" rajuk Adam nggak terima.

Saga menaikkan bahu nggak acuh. "Jangankan sama pacar, Dam. Elo minta gue milih elo atau kucing gue pun, udah pasti gue akan lebih milih kucing gue. So, good bye," ungkapnya terlalu jujur disusul melambai-lambaikan tangan lantas diikuti oleh lambaian tangan gue.

Alhasil, si Adam hanya mampu pasrah. Dan hati gue, lebih dari puas menertawakan nasibnya.

Hahaha! Mampus dia!

.

"Dadah, Adam. Kapan-kapan gak usah ke sini lagi, ya!" seru gue begitu melihat Adam berjalan keluar diantar oleh Saga karena ojek yang dipesankan telah datang.

"Fery! Gak boleh galak-galak gitu sama tamu!" Gak bosan-bosan Mamah mengingatkan.

Gue membalasnya dengan dengkusan. "Tapi dianya ngeselin, Mah."

Lagian bisa-bisanya Mamah masih aja ngebaikin si Adam setelah tadi itu bule membahas perihal dosa kami. Padahal jelas-jelas itu urusan yang gak pantas dia campuri! Cih.

"Adam orangnya emang agak usil. Tapi dia nggak seburuk keliatannya, kok," timpal si Bangsat yang udah aja kembali kemari.

"Ngapain elo ngebelain dia segala?" bentak gue nggak suka, lalu mengambil satu lagi potongan martabak dengan penuh nafsu. "Kalian nggak tau aja tadi siang si Adam bilang apaan ke Fery!" ungkap gue yang lanjut makan lagi.

"Emangnya dia bilang apa?" tanya Mamah, tampak penasaran.

Lebih dulu gue menarik napas sebelum membeberkan, "Masa katanya, Fery keliatan nggak bahagia dan tertekan jadi pacar Saga. Karena menurut dia, Saga orangnya terlalu serius dan cuek. Bacot banget pokoknya."

"Wajar dia mikir begitu. Toh dia baru ngeliat kita satu hari barengan," sanggah si Bangsat santai.

"Ya, iya! Tapi tetep aja gue kesel sama tipe orang yang suka semena-mena menilai keadaan orang lain. Ngira gue nggak bahagia sama elo. Bacot dia tuh yang bikin gue nggak bahagia!" gerutu gue melanjutkan. "Padahal udah jelas-jelas tau gue pacaran sama elo pun, dia secara kurang ajar ngaku pengin ngajak gue PDKT. Asli, ya. Sepupu elo yang satu itu agak miring isi otaknya."

"Ya ampun. Serius itu teh?" desis Mamah bertanya, terdengar nggak percaya atas penuturan gue barusan.

"Seriuslah, Mah! Makanya Fery bete banget sewaktu ngeliat dia datang ke sini. Mana masih bisa cengengesan kayak yang gak punya dosa!" sungut gue yang kemudian menyesap jus alpukat sampai tinggal setengah gelas. "Bisa-bisanya gitu ada orang yang jelas tau tentang kita yang punya pacar, tapi dengan tanpa beban bilang soal mau PDKT-an. Huh, hah! Mau banget rasanya ... nyekek!" ujar gue gregetan, menahan diri dari ingin meremukkan gelas berisi jus alpukat di tangan karena membayangkan ada sosok si Adam di dalamnya.

Kepala Mamah menggeleng masygul. "Sama kayak si Dewi waktu itu, ya. Udah dibilang Nak Saga punya pacar. Sampe mamah bela-belain ngarang bilang udah tunangan juga. Tapi masih aja kekeuh mau deketin."

"Iya tuh, Mah. Ngeselin emang. Mungkin Dewi sama Adam jodoh. Soalnya watak mereka sama," kata gue penuh emosi. Lantas menatap si Bangsat yang dengan tenang menyimak obrolan kami tanpa bereaksi apa pun. "Elo juga kenapa diam aja, sih? Tumben!"

Mendapati protes gue, si Bangsat mengernyit. "Maunya elo, gue gimana?"

"Ya, biasanya elo 'kan cemburu, Bangsat!"

Kalimat gue malah bikin dia nyengir. "Gue yakin niat Adam cuma iseng doang. Mendingan nggak usah terlalu elo pikirin, deh."

Respons dia semakin membuat gue terheran-heran. Apa si Bangsat terlalu lelah sampe dia bahkan nggak punya tenaga untuk sekadar memperlihatkan kecemburuan? Atau jangan-jangan dia udah nggak peduli lagi ke gue?

YA, KALI! MUSTAHIL BANGET, 'KAN!

"Udah, udah. Mending kita lanjut makan aja. Daripada ngebahas Nak Adam terus! Orangnya juga 'kan udah pulang," ujar Mamah sambil mengaduk-aduk es buah di mangkuk yang sejak tadi dinikmatinya seorang diri. "Nih, Fery. Melon." Sesendok es berisi melon Mamah suapi untuk gue. "Nak Saga mau juga? Nih. Suka buah naga, 'kan?" Lanjut menyuapi juga cowok gue yang menerima dengan senyum senang.

"Makasih, Tante," ucap Saga nggak pernah ketinggalan setiap kali dia diberi perhatian kecil oleh mamah keduanya ini.

"Tapi udah nggak terlalu dingin, Mah. Esnya," komentar gue yang lalu berinisiatif menyendok sendiri melon dari dalam mangkuk.

"Iya, ya. Bentar atuh, mamah ambil es batu dulu."

Begitu Mamah beranjak, gue sekalian meminta, "Nitip gelas sama sendok, Mah!"

"Iya, Fery!"

Sosok di samping gue mendadak mengerling gue cukup tajam. "Apa susahnya elo ambil sendiri, sih?"

"Mager guenya," kata gue yang lanjut menyuapi dia buah naga lagi.

"Udah, jangan. Itu es buah punya mamah lo," tegurnya yang lekas menaruh sendok di tangan gue ke mangkuk. "Mending elo habisin aja martabak elo, tuh."

Gue tersenyum kecut. "Tapi gue udah kenyang karena tadi baru selesai makan. Elo udah makan, belum?"

Kepalanya mengangguk. "Udah sama Kak Jimmy dan Adam di rumah."

Seketika gue menggeram. "Nggak usah elo sebutin nama dia lagi, deh. Bikin mood gue nggak enak doang yang ada."

Keluhan gue bikin dia tersenyum kecil. "Oke, oke. Sorry."

Setengah jam kemudian, jus yang kami minum habis. Es buah Mamah habis. Dua wadah martabak pun cuma tersisa beberapa potong aja. Bikin kami bertiga bersandar ke ujung sofa dengan perut yang sama-sama terasa penuh. Walau si Bangsat makan martabaknya nggak seberapa, sih.

"Alhamdulillah kenyang!" sorak Mamah girang yang kemudian segera berdiri untuk membereskan meja. "Mamah beresin dulu, ya."

"Biar Saga ban--"

"Gak usah. Nggak apa-apa! Nak Saga duduk aja sama Fery, ya," desis Mamah yang hanya mampu dituruti oleh Saga secara pasrah.

Seperti selalu aja gimana.

Gue bersendawa saking kekenyangan, setelah itu menyingkap piyama yang dikenakan demi memamerkan perut gue yang tampak membuncit karena kebanyakan makan.

"Aduh, rasa-rasanya perut gue mau meledak."

Tangan si Bangsat secara iseng mengusap-usapnya. "Perut lo jadi kayak yang lagi hamil muda."

"Gue gendutan, ya?" tanya gue bersungguh-sungguh.

"Dikit," jawabnya dibarengi anggukkan. "Meski gue liat-liat pipi lo kayaknya emang tambah berisi. Makin enak buat dicubit," imbuhnya seraya melancarkan cubitan kencang ke pipi kiri gue dan sontak bikin gue mengaduh.

"Aw, aw! Anjrit! Sakit, goblok!" maki gue sesudah menepis tangannya.

"Hush, Fery! Gak boleh ngomong kasar sama pacar sendiri," cecar Mamah sambil melotot. "Harusnya Fery bilang sayang atuh!"

"Mamah!" bentak gue jengah lantaran malah diledek olehnya.

Saga ketawa karena mendapat pembelaan dari Mamah. Lalu secara usil mencolek-colek pipi gue. "Dengerin tuh, Yang."

"Elonya juga!" Tangan Saga sigap gue pegangi dan coba gue gigit, tapi dia dengan gesit menghindar masih sambil ketawa-ketawa.

"Ya udah, kalo gitu mamah masuk duluan ke kamar, ya. Kalian jangan tidur malem-malem!" pesan Mamah ketika melihat waktu di jam dinding.

"Siap, Tante!" sahut Saga patuh.

Begitu Mamah pergi dan nggak keliatan lagi dari pandangan kami, si Bangsat sekonyong-konyong menjatuhkan kepalanya ke atas paha gue dibarengi embus napas panjang.

"Aaaah. Akhirnya. Dari tadi gue kepengin banget tiduran."

Rambutnya gue usap-usap. "Kalo elo mulai ngantuk, mending kita juga masuk ke dalam."

Matanya memejam dengan nyaman. "Bentarlah, Sayang. Tunggu sampe mamah lo bener-bener tidur dulu." Ketika membuka matanya lagi, si Bangsat tersenyum untuk kemudian mengajak gue berciuman. Langsung aja memasukkan lidahnya ke dalam mulut gue yang spontan gue lumat cukup kencang. Kenyal dan hangat macam lagi ngunyah permen Yupi yang keras. "Mulut lo manis."

Komentarnya bikin gue ngakak. "Rasa alpukat campur pisang kejunya, Kakak."

"Hahaha!" Dia tertular tawa gue. Setelah itu mulai membuka kancing piyama bagian atas gue.

Pasti mau minta nenen, deh. Hadeeeuh.

Namun, gue kontan merintih sewaktu gigi si Bangsat turut melancarkan gigitan yang terang aja bikin puting gue kesakitan. "J-jangan elo gigit, Setan! Pentil gue perih!" keluh gue sembari mengelus-elus pentil sendiri.

Sebelah alisnya terangkat seolah nggak terima. "Siapa yang lebih sering ngegigitin pentil, hmm?" balasnya bertanya yang sekadar gue tanggapi dengan cengiran.

Saga lalu membangunkan badan. Duduk kembali ke posisi semula, yang sigap aja gue tunggangi. Duduk di pangkuan dia, mengajak kedua mulut kami berpagutan selagi lidah kami nggak tinggal diam. Saling menjilat dan berbagi saliva sampe air liur gue menetes jatuh.

"Elo udah bersih-bersih, 'kan?" Tangannya meremas-remas bokong gue dengan sepenuh tenaga.

"Udah, dong!" jawab gue seraya mengelap tepian bibir yang basah. Selepasnya menggesek-gesekkan tubuh gue di atas ereksi si Bangsat yang terasa mengeras total. "Punya lo udah keras banget."

Dia tersenyum, lantas balik memegangi ereksi gue. "Iya. Punya lo juga," bisiknya membalas kemudian mencumbu mulut gue lagi.

Kompak menggerakkan badan naik-turun, ke depan dan belakang, mempertemukan bagian kelelakian kami yang sama-sama menegang di balik kungkungan. Sampai akhirnya gue betul-betul udah nggak tahan.

Gue mau lebih. Saling gesek kayak gini nggak akan cukup bikin gue puas.

Jadi, gue meminta disertai desah tertahan, "Gue udah bener-bener sange banget, Saga. Kita masuk ke kamar sekarang aja."

"Let's go!" Serta-merta tubuh gue dibopongnya hingga kami berdua tiba di dalam kamar.

Saga mengunci pintu. Gue mengambil cairan pelicin, tisu basah, serta kondom. Disusul menyalakan kipas supaya nggak gerah. Setelahnya menanggalkan seluruh pakaian nggak ubahnya seperti si Bangsat yang udah bertelanjang bulat.

Tubuh gue langsung ditarik begitu sempak gue terlepas. "Malam ini elo nungging, ya. Gue kangen nyodok dari belakang," pintanya sembari menyerang pelipis gue dengan ciuman bertubi-tubi.

Sementara gue memainkan batang Minions yang super tegang seakan ingin cepat-cepat membobol lubang bool gue.

"Tapi jangan terlalu brutal. Takutnya nanti Mamah denger."

Saga meringis. "Nggak akan. Tante pasti udah tidur pulas. Tenang aja." Daun telinga gue digigit sekilas olehnya sebelum berbisik, "Elo nggak lupa tadi siang gue bilang apa, 'kan? Bahwa gue akan ngegempur elo habis-habisan malam ini?" Senyum menggodanya dimunculkan bersamaan dengan jemari tangannya yang mulai menyusup masuk ke lubang bawah. "Gue serius. Makanya, elo harus siap-siap, Ryan."

.

Punya pacar bangsat yang tingkat nafsunya di atas rata-rata emang sungguh menggairahkan, tetapi sekaligus bikin kepayahan. Apalagi setiap kali gue kebagian jatah disodok dari belakang. Menungging, pasrah menerima hunjaman demi hunjaman bertenaga yang Saga berikan selagi mencoba mengimbangi gerakannya dengan turut menggoyangkan pantat gue maju mundur.

Sedangkan jemari si Bangsat mengusap-usap puting dada gue, dengan satu tangan lain yang sibuk mengocok-ngocok Banana dari bawah. Lidah dan bibirnya yang nggak henti menyalurkan kecupan serta jilatan. Berbagi desah kenikmatan bersamaan dengan bunyi pertemuan kulit kami yang memunculkan tepukan kencang.

"Engghh! Sa ... Ga--ah!" Gue memekik lantaran kontol gue udah aja muncrat.

"Oh, Ryan! You're amazing!" erang Saga lirih karena lubang pantat gue refleks melakukan jepitan dikarenakan ejakulasi tadi. "Ah, elo udah muncrat, ya. Feels good, huh?"

Gue mengangguk. "Yeah, feels good!" sahut gue sembari memegangi tangannya yang masih meremasi Banana. "Enak banget sampe rasanya gue bisa gila!"

"Oh Ryan, I love you! Ugh, Babe! I ... Errmmhh!"

Si Bangsat mengejang di belakang sana sambil mengeratkan pelukannya ke badan gue. Merasakan napas hangatnya yang berembus berat menerpa tengkuk gue dengan Minions yang gak henti berdenyut-denyut di dalam. Untuk lalu perlahan-lahan ditarik keluar.

Tubuh gue spontan berguling ke ranjang dengan napas ngos-ngosan seraya terus memperhatikan kontol si Bangsat yang kembali ke bentuk semula dan tengah dibersihkan menggunakan tisu basah.

Kontolnya lalu gue beri acungan jempol sekaligus pujian, "Sodokan elo emang gak pernah mengecewakan."

Mendengarnya, si Bangsat jadi ketawa. "Lubang pantat elo juga," balasnya yang sesudah itu duduk di samping gue.

Gantian mengelapi lubang pantat gue menggunakan tisu basah juga. Supaya nggak ada kuman-kuman serta bakteri jahat yang menyebar. Nggak ketinggalan selangkangan dan jejak sperma gue juga bantu dibersihkan olehnya.

"Nah, udah bersih!" sorak Saga yang telah mengumpulkan semua bekas jejak kemesuman kami yang segera dibuang ke tong sampah di sudut kamar.

Sehabis itu, dia mulai mengumpulkan lagi baju-baju kami. Terus mengeluarkan HP yang digunakan untuk memotret tubuh telanjang gue dengan senyuman nakal.

Spontan gue pun berpose. Memiringkan badan disertai cengiran di bibir sebab mati-matian menahan tawa saat melihat cara si Bangsat yang memfoto badan bugil gue dari berbagai sudut.

GAK ADA KERJAAN, ANJIR! Untung gue sayang.

"Nambah koleksi 'kan lo?"

"Tentunya!" Si Bangsat menjawab tanya gue, kemudian ikut duduk ke atas ranjang. "Sini, sekalian kita foto berdua."

"Skuy!"

Setiap diajak foto berdua, gue pasti bakal bersemangat banget sejak rasa kepercayadirian gue mulai meningkat. Menampilkan bermacam ekspresi dan gaya. Dari gue yang memeluk Saga dari depan. Dari belakang. Saling bersandar. Berciuman. Tertawa. Sampe akhirnya dia mengarahkan kamera ke atas selangkangan.

"Gak usah foto ke bawah-bawah juga, kali!" protes gue gregetan sambil menjambak rambutnya.

"Buat kenang-kenangan!"

Alasan yang diutarakannya membuat gue tersengih. "Ngapain elo pake segala mengenang kontol? Heh, jangan-jangan kalo nanti gue mati, yang bakal elo inget malahan kontol sama lubang bool gue doang, ya?" tuduh gue dan mendengkus. "Awas aja kalo bener begitu. Bakal gue ajak kontol elo supaya ikut tewas sekalian."

Saga mendecak, lalu mendadak mencipok bibir gue dalam-dalam. "Gak usah ngebahas soal mati. Gak suka gue!" omelnya diakhiri tepukan keras ke pantat gue.

Sontak aja gue meringis perih. "Pantat gue gak usah elo tabok, elaaah! Tambah sakit yang ada."

Dia terkekeh seraya menyimpan HP untuk selanjutnya menarik seluruh pakaian kami. "Nih, pake lagi piyama lo," titahnya yang mulai memakai sempak.

Duh, mager banget gue make baju. Tapi kalo tidur sambil telanjang, nggak enak juga. Dingin. Takut masuk angin.

Oh! Mendingan sempaknya nggak usah gue pake aja. Beres!

"Heh, Bangsat?"

"Hmmm?"

"Adam tuh bukan gay, 'kan?"

"Bukan. Kenapa?" jawab si Bangsat dan balik bertanya, lantas melirik gue yang tengah mengancing baju piyama. "Jangan bilang ke gue kalo elo mulai tertarik ke dia?"

Kesimpulan gila itu bikin gue menatapnya malas. "Kepala lo minta gue jedotin ke tembok, ya? Ngaco!" sungut gue yang selepasnya mulai berbaring. "Gue mana mungkin bisa tertarik ke cowok lain saat cowok gue masih punya jurus sodokan kontol yang enaknya nggak ada lawan," puji gue sekalian menggodanya.

Kedua mata sipit dia sontak memandang gue penuh gelora. "Hmmm. Apa itu kode? Elo masih pengin gue sodok lagi?"

"Iya. Tapi sayang, guenya nggak pengin sampe sakit pinggang pas mulai ngepel besok pagi."

Mendengar respons gue, si Bangsat pun lekas ikut membaringkan badan sambil menunjuk ke bagian tengah badannya. "Minions gue udah terlanjur keras lagi padahal. Kepengin dibawa masuk lagi ke lubang sempit favoritnya."

"Kontol elo aja yang baperan!" sembur gue yang bikin dia ngakak. Setelah itu, gue mulai memejamkan mata. "Udah, ah. Gue mau tidur!" ucap gue sembari menyusupkan tangan ke balik celana Saga.

Lumayan. Ada hangat-hangatnya. Eheheh.

"Tangan lo kenapa masuk situ?"

"Kan Minions elo mau gue elus-elus. Supaya dia anteng lagi terus ikutan tidur."

"Yang ada nanti Minions malahan muntah kalo yang ngelus-ngelus elo."

"Ya, terus? Elo ngarep ini kontol dielus siapa? Yellow? Kena cakar baru tau rasa lo!"

"Lebih enak dielus pake lidah elo, sih."

Gue tertawa tertahan menangkap gombalan mesum itu. "Gampang. Besok lagi aja gue kasih elusan pake lidah."

"Oke, deh."

Ketika tangan Saga mulai dilingkarkan ke badan gue, mata gue sontak mendelik nggak senang padanya. "Selimutin gue, Saga! Dingin, nih."

"Oke, oke!"

Begitu selimut udah menutupi kedua tubuh kami, gue pun memiringkan badan lebih ke dekat Saga. Membiarkan dia memeluk gue, sambil tangan gue tetap berada di dalam celananya.

"Good night, Baby." Kening gue dicium.

Lalu gue balas mencium lehernya. "Hmmm. Good night, Bangsat."

"Panggil sayang, dong."

"Iya. Buruan tidur, Bangsat Sayang! Puas lo?"

Hanya suara tawa Saga yang terdengar merespons ucapan gue. Disusul mengembuskan napas panjang, bersama gue yang semakin nyaman terlelap dalam dekapannya.

___

"Hey, Ryan! Sayang? Babe? BEGO!"

"ANJRIT!" Gue refleks menutupi telinga setelah Saga meneriaki gue bego dengan suara amat cempreng. "APAAN, SIH?" tanya gue kesal sampe terpaksa membuka mata. Lalu semata-mata terkesima menangkap pemandangan dari penampilan cowok gue yang udah sangat rapi.

Ah, idaman. Ganteng dan gagahnya gak ada lawan.

"Udah pagi. Buruan bangun. Elo cepet mandi, terus sholat sana! Tante udah nunggu," katanya memberitahu sembari mengancing bagian pergelangan kemeja.

"Ah, males. Badan gue masih pegel. Masih ngantuk!"

Keluhan gue membuat si Bangsat berjongkok di sisi ranjang, untuk lantas memberikan usapan lembut ke dahi gue. "Maaf karena udah bikin badan lo pegel-pegel."

Adeudeu, manisnya pacar gue.

"Pegelnya enak, kok. Hehehe!" Gue mengakui diakhiri cengiran.

Mendengarnya, si Bangsat sontak mencubit pipi gue. "Ugh. Gemes banget gue sama lo!"

"Kalo gemes cium, dong!" pinta gue dengan bibir maju dan mata memejam.

"Eits!" suara teguran Mamah tiba-tiba menginterupsi kemesraan pagi hari kami. "Bukannya cepet bangun malah pacaran dulu. Pamali. Masih pagi. Pacarannya nanti lagi aja. Kalo agak siangan."

Diomeli begitu yang ada justru bikin gue dan Saga cengengesan. "Maaf, Tante. Habisnya anak tante lucu banget," celetuk Saga kelewat jujur yang spontan membuat lubang hidung gue mengembang.

"Iya, atuh. Da siapa dulu mamahnya!" seloroh Mamah yang lagi-lagi mendatangkan tawa di antara kami.

Selalu seperti ini. Merasakan nuansa pagi yang dilengkapi kehangatan, penuh cinta dan juga bahagia. Ditemani dua sosok paling penting sekaligus orang-orang yang amat gue sayangi, yaitu Saga dan Mamah.

Andai aja setiap hari bisa begini, ya. Sangat disayangkan, gue dan si Bangsat belum tinggal serumah. Malahan, kayaknya nggak bakal bisa mengingat lingkungan kami macam gimana. Ya udahlah.

.

Selesai menghabiskan sarapan hasil masakannya sendiri, Saga segera berpamitan pada kami untuk berangkat ke kafe duluan.

"Saga berangkat dulu ya, Tan." Tangan Mamah disalami dengan sopan.

"Iya, hati-hati di jalan, Nak Saga."

Lalu si Bangsat beralih pada gue. Nggak lupa mendaratkan kecupan singkat ke kening disertai usapan ke rambut. "Gue tunggu elo di kafe, ya." Dia tersenyum. "Habisin sarapannya."

"Iya." Gue balik tersenyum padanya masih sambil menyantap sarapan yang tersisa. "Dah!"

"Dah!" Cowok gue melambaikan tangan seraya berjalan keluar. "Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam!" sahut gue dan Mamah kompak membalas salam si Bangsat.

Begitu suara mobilnya yang telah dibawa melaju terdengar, gue segera menoleh pada Mamah untuk bertanya.

"Mah?"

"Iya?"

"Fery cinta mati sama Saga, Mah. Nggak bohong, sumpah!" ungkap gue yang ditanggapi sorot jengah dari mata si Mamah.

Kepalanya menggeleng-geleng geli. "Tanpa kamu bilangin juga mamah tau atuh. Dasar anak tukang bucin!" godanya disertai senyuman maklum yang bikin gue cekikikan.

"Coba bayangin kalo Saga sama Fery nggak pernah ketemu, Mah. Kira-kira bakal gimana nasib Fery sekarang, ya?"

Mendapati pertanyaan itu, mamah gue tampak berpikir sejenak. "Sok coba bayangin sendiri. Kalo kalian nggak pernah ketemu, nasib kamu sama Saga teh bakalan gimana? Hayoo?"

Gantian, gue yang dibuat berpikir dikarenakan pertanyaan yang Mamah balikan kepada gue. Mengenai; seandainya gue dan si Bangsat nggak pernah ketemu ... apakah kehidupan gue yang sekarang bisa tetap gue dapatkan tanpa peran dan kehadirannya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com