68. PENGUJIAN
Selalu, komen dan vote jangan lupa, ya. ❤️
(≧▽≦)
__
___
____
Berhubung tadi malam gue dan si Bangsat udah cukup puas ngabisin waktu berdua sampe ngeseks, alhasil jadwal mojok di kafe sepakat kami tiadakan khusus pagi ini. Sesudah berganti seragam kerja, gue langsung aja mengurusi sampah serta debu di lantai. Menyapa cowok gue seadanya yang tengah mengaduk adonan di dapur yang lalu membuat gue teringat tentang donat yang kepengin minta dia bikinkan.
Duh, kebayang-bayang jadinya. Kepikiran donat dengan lelehan cokelat lumer super manis yang lembut dan enak. Asli, mupeng gue.
"Elo pasti lagi ngebayangin tubuh seksi gue sampe bengong segitunya."
Suara nge-bass dari seseorang yang sangat-sangat nggak diharapkan justru mendadak terdengar yang seketika membuyarkan bayangan indah gue tentang si donat lumer. Padahal gue udah terlanjur seneng saat datang dan nggak menemukan sosok si Adam di sekitar kafe, lah ternyata dia tetep muncul juga akhirnya. Males.
Mata gue mengerling judes pada Adam yang terlihat menyandarkan tubuh tingginya di ambang pintu belakang, memandang ke posisi gue sambil memasang senyuman sok keren yang sumpah demi apa sungguh memuakkan.
Pait, pait, pait! Batin gue spontan berkomat-kamit.
Mengabaikan Adam adalah solusi terbaik yang mampu gue lakukan. Jadi alih-alih merespons dia, gue lebih memilih menfokuskan diri pada sampah-sampah yang tengah diurusi.
Sampah yang bentuknya bagi gue jauh lebih baik ketimbang seorang Adam.
"Gimana tadi malam? Elo sama Saga pasti berakhir tidur bareng, 'kan?" ucap Adam mulai mempertanyakan lagi hal yang menurut gue nggak pantas dia urusi. "Atau gagal karena Saga kehilangan mood gara-gara wajah lo yang so not sexy? Hoo, wajar juga, sih."
Bodo amat, bodo amat, bodo amat! Batin gue terus merapal sebagai mantra pengingat bahwa Adam semestinya gue diamkan.
"Hey, Ryan. Are you even listening to me?" Langkah kaki Adam mulai terdengar mendekat yang semata-mata bikin gue spontan mengajak bercakap sampah di dekat kaki.
"Ya ampun, guys. Salah satu golongan kalian kayaknya punya kelebihan bisa bicara sampe-sampe capek banget gue dengernya," ujar gue sengaja menyindir lantas melempar plastik berisi sampah ke tong besar. "Andai aja dia bisa gue buang aja macam kalian begini," imbuh gue sembari mengerling Adam yang terlihat tertegun.
"Elo nyamain gue sama sampah?" desisnya bertanya yang gue respons dengan pekikan sok kaget.
"Oh. Elo ngerasa, ya? Bagus kalo gitu!" Gue tersenyum sinis. "Meski menurut gue, ngeladenin sampah-sampah itu masih lebih gampang daripada harus meladeni sifat sampah lo!" sambung gue yang sesudah itu berlalu pergi.
"Ry--"
"I hate you, Adam!" ungkap gue berterus terang sambil memberinya pelototan berang sebelum lagi-lagi nama gue disebutkan oleh mulut sialannya. "So please, you can just stop talking to me. Because the more you try to made a conversation with me, the more I dislike your personality."
Menangkap kalimat gue, bule berusia 23 tahun ini mengernyit dengan mata memicing. "I will tell about your behaviour to Saga as a complain if--"
"Go ahead, Sir!" tukas gue nggak mempedulikan ancamannya. "I'm not afraid. Because there's no way I will pay my respect to someone like you." Setelah menyampaikan hal itu, gue betulan beranjak dari hadapan Adam yang sekadar terdiam, selagi gue mencak-mencak sendiri karena ujung-ujungnya gue tetap aja meladeni dia. Cih.
.
Gue baru aja memeras kain pel untuk dijemur ketika seseorang terdengar memanggil nama gue.
"Feryan!"
Menoleh cepat, gue melihat Saga yang sedang berdiri di dekat ambang lorong pintu menuju ruang pegawai. Memperhatikan gue dengan raut muka serius.
"Ya, Tuan?" sahut gue yang buru-buru menghampirinya.
Cowok gue ini menghela napas panjang sebelum menggerakkan kepala sebagai tanda. "Ikut saya ke kantor. Saya ingin bicara dengan kamu," titahnya yang tentu langsung gue turuti.
Tapi, ngapain si Bangsat kepengin ngobrol sama gue di kantor di saat jam kerja gue belum usai, ya? Nggak mungkin dia kepengin ngajak gue mojok untuk nagih jilatan lidah gue ke Minions dia, 'kan?
Setibanya di dalam kantor, gue agak terkejut sebab turut mendapati sosok Adam yang tengah duduk santai di atas sofa. Tersenyum timpang pada gue sambil menggerakkan mulut entah berkata apa. Sementara gue hanya mampu berdiri di depan meja Saga. Menghadap kekasih gue sekaligus pemilik kafe ini dengan perasaan yang mulai was-was karena sepertinya gue tau alasan apa yang membuat gue diajak bicara di sini.
Saga berdeham, menatap gue dengan sorot mata serius pun dalam. "Jadi, saya memanggil kamu kemari karena seseorang mengajukan keluhan atas perilaku kamu."
Sesuai dugaan. Heh! Dasar bule anjing!
Tangan si Bangsat menunjuk pada posisi Adam. "Saudara Adam di sini mengaku bahwa kamu menyamakan dia dengan sampah bahkan secara lancang mengatakan bahwa kamu membenci dia tepat di hadapannya. Dan yang terpenting, semua itu terjadi di jam kerja. Apakah itu benar?"
"Itu benar, Tuan," jawab gue tanpa berniat mengelak atas semua rentetan pertanyaannya.
"Kenapa?" tanya Saga dengan mata menyipit seolah berniat membaca seluruh isi pikiran gue. "Apakah karena dilandasi rasa kesal pribadi kamu terhadap Adam?"
Tebakan itu nggak langsung gue respons. Gue terdiam, berpikir antara ingin menumpahkan balik seluruh keluh kesah yang gue miliki terkait Adam pada si Bangsat yang seakan pura-pura melupakan semua kejadian dan cerita gue mengenai sosok kakak sepupunya tadi malam. Akan tetapi, mengingat status gue di kafe ini hanyalah seorang pegawai biasa, sepertinya balik memprotes pun nggak ada gunanya, 'kan?
Jadi, gue sekadar mengangguk pelan. "Iya, Tuan. Itu benar. Tolong, maafkan saya," ucap gue dengan suara agak bergetar, merasa malu, kecewa dan sedih. "Dan saya bersiap menerima segala konsekuensi atas tindakan tidak beradab saya."
Saga gue dengar menghela napas berat. Dia menyandarkan badannya ke ujung kursi, kemudian melirik Adam. "Pertama-tama, kamu perlu meminta maaf pada saudara Adam di sini, Feryan. Ayo, lakukan."
Kedua tangan gue mengepal erat sesaat, gemetaran. Lantas mau nggak mau gue menghadap sosok Adam tanpa sedikit pun memandang tepat ke arahnya.
Langsung aja membungkukkan badan dan berkata, "Mohon maafkan saya, Pak Adam." Beralih menghadap si Bangsat lagi dan lanjut meminta maaf. "Dan saya juga meminta maaf kepada Tuan Saga karena telah ... mengecewakan. Maaf."
Woi, woi, woi! Gak boleh gentar. Hadapi dengan sikap yang tegar, Feryan. Elo itu cowok. Jangan jadi lembek!
Gue menarik napas terlebih dahulu sebelum kembali menegakkan badan.
Melihat si Bangsat yang menatap gue gusar. Yakin menyadari reaksi gue yang saat ini tengah merasa sedih. Tetapi karena tuntutan pekerjaan, nggak ada yang mampu dia lakukan. Nggak ada yang mampu kami lakukan karena pekerjaan ini harus dijalani secara bersungguh-sungguh.
Saga berdeham disertai senyum simpul. "Lain kali, tolong jangan kamu ulangi lagi, Feryan. Ingatlah untuk selalu mengesampingkan urusan dan perasaan pribadi ketika kamu sedang bekerja. Apa kamu paham?" pesannya gue tanggapi anggukkan.
"Saya paham, Tuan," jawab gue dengan suara yang makin parau.
"Baiklah kalau begitu. Kamu boleh keluar sekarang."
Gue mengangguk sekali lagi. "Terima kasih. Permisi."
Badan gue berbalik, melangkah menuju pintu dengan kaki yang terasa melemas dan berat untuk digerakkan padahal gue yakin sedang berjalan cukup cepat. Membuka pintu yang kembali ditutup sesampainya di luar, terus menggerakkan langkah hingga pandangan gue mendadak memburam.
Harus sadar diri bahwa gue hanyalah seorang pegawai di sini. Harus mampu menahan diri sekalipun gue sangat emosi. Harus bisa mengendalikan diri walau ada satu dua hal yang sebetulnya nggak ingin dijalani. Ingat itu, Feryan Feriandi.
Gue lalu mengusap-usap muka secara kasar. Menyingkirkan raut mengenaskan yang mungkin aja sedang gue tunjukkan sebelum kembali melanjutkan pekerjaan.
.
Namun, sekeras apa pun gue berusaha bekerja tanpa memikirkan apa yang terjadi di kantor tadi, perasaan gue tetap aja dilanda kecewa serta sedih. Sekalipun Mbak Tiara dan Mbak Ersa sempat mengajak gue ngobrol dengan bermacam-macam topik dan berhasil bikin gue ketawa juga, itu masih nggak cukup menghilangkan sensasi nggak enak yang mengganjal di hati.
Gue butuh menenangkan diri. Sendirian. Tanpa gangguan.
"Mohon maaf semuanya, tapi hari ini saya izin untuk langsung pulang."
Itulah kenapa, ketika jam makan siang tiba dan semua orang telah berkumpul di meja, gue lebih memilih berpamitan aja. Karena nafsu makan gue pun sama sekali nggak bersisa.
"Kenapa, Fer? Apa lagi nggak enak badan?" tanya Mbak Tiara seraya memegangi lengan gue penuh perhatian.
Gue menggelengkan kepala. "Nggak, kok. Cuma ... ngantuk aja. Soalnya tadi malam kurang tidur," ujar gue berdusta.
Saga tiba-tiba mendekati gue. "Mendingan kamu istirahat dulu aja di ruang--"
"Saya mau langsung pulang!" Gue menyela saran yang berniat dikatakan oleh Saga sampe bikin semua orang terkejut, lantas buru-buru berlalu dari hadapan mereka. "Permisi."
"Hey, Ryan!" Adam berseru memanggil yang jelas nggak berniat gue ladeni sama sekali. Berinteraksi sama dia toh cuma mendatangkan masalah.
Sialnya, lengan gue malah tertangkap olehnya. "Feryan, tunggu du--"
"Pak Adam!" Gue akhirnya berbalik sebentar untuk menghadap Adam sambil menepis kasar sentuhannya. "Saya mohon sekali pada Anda, tolong berhenti mengganggu saya. Saya minta Anda untuk berhenti ... mencampuri segala apa pun urusan saya. Jika memang Anda tidak menyukai hubungan antara saya dan adik sepupu Anda, saya mengerti. Dan saya minta maaf untuk itu. Tapi sebagai gantinya, tolong jangan begini. Saya betul-betul tidak tahan dengan sikap Anda," ungkap gue panjang lebar dibarengi gelengan masygul dan sorot mata lelah. "Saya sadar saya nggak normal. Saya sadar diri masih memiliki banyak kekurangan. Dan juga saya sadar hubungan seperti ini menjijikkan dan Anda berhak untuk menentangnya. Tapi tolong, setidaknya jangan perlakukan saya dengan cara begini. Jika mengolok-olok saya Anda anggap sebagai sebuah kesenangan, lebih baik Anda tidak perlu bicara pada saya lagi," desis gue menyambungkan diakhiri senyuman masam. "Permisi!" Lekas gue meninggalkan Adam di depan pintu ruang ganti pegawai.
"N-no, wait, Feryan. G-gue ..."
Gue menutup pintu secara kasar tepat di depan hidung Adam, nggak mau mendengar bacot apa pun lagi dari mulut sampahnya. Bahkan gue masuk ke ruang ganti sekadar untuk membuka seragam kerja, selepasnya mengambil tas, jaket serta helm yang segera gue pakai dan bawa. Nggak mau repot-repot ganti sepatu apalagi celana. Pokoknya, gue hanya ingin cepet-cepet pulang.
"Hey, Ryan! Are you okay?" Saga muncul dari balik pintu bertepatan dengan gue yang baru bersiap keluar.
Hadeeuh. Pengganggu lainnya lagi-lagi datang. Bikin mood gue tambah berantakan aja.
"Menurut lo gimana?" Balik gue bertanya sambil menatapnya kesal. "Awas! Gue beneran mau pul--"
"I'm really sorry, Ryan," mohon si Bangsat seraya menahan tubuh gue. "Please, elo jangan pergi dulu."
Gue menghela napas lesu dan tersengih. "Ini bukan salah elo melainkan salah sepupu keparat lo itu. Dan gue juga nggak akan menyalahkan elo kalo pun elo lebih membela dia. Santai aja. Gue sadar diri gue toh cuma pegawai lo di sini," pungkas gue lalu lanjut mengutarakan, "Tapi seharusnya elo juga nanya ke gue, Saga. Tentang alasan dari tindakan gue yang dikeluhkan oleh Adam. Karena gue mustahil ngatain seseorang sampah, sialan, bajingan dan ngebenci mereka tanpa alasan. Iya, 'kan?"
Saga menganggukkan kepala, berlagak memahami penuturan gue. "Iya, gue tau. Makanya gue minta maaf."
BACOT LO TAU!
Gue memutar bola mata saking muak. "Maaf elo udah nggak ada gunanya. Gue benci ke kalian berdua!" desis gue emosi sesudahnya membuka pintu.
"What? W-wait, Ryan--"
"GUE BILANG GUE MAU PULANG, BANGSAT!" bentak gue kepalang murka, membungkam dia yang masih aja kepengin ngajak gue bicara.
"No, really. You should wait because we need to talk to you, Feryan!" pinta Adam yang ternyata udah menghadang gue di depan pintu.
EMANG DASAR ANJING SEMUANYA. NGGAK DI DEPAN, NGGAK DI BELAKANG, SEMUA ORANG BISANYA CUMA JADI PENGHALANG! SETAN!
"Elo mau ngebicarain apaan lagi, sih? Yang tadi pagi masih belum cukup emangnya? Atau elo masih punya keluhan lain soal gue?" tuntut gue pada Adam yang tampak meneguk ludah kalut.
Lalu tiba-tiba seseorang menggenggam tangan gue. Saga. Menunjukkan sorot memelas bercampur intens yang anehnya nggak mampu gue abaikan.
"Please, just come with us. Because we have an explanation for you," bisik Saga terlihat serius.
Akhirnya, gue mengangguk pasrah sebab nggak punya pilihan selain menurut. Ikut bersama Saga dan Adam masuk ke dalam kantor. Menghadap mereka berdua lagi nggak ubahnya kayak tadi pagi.
"Kalian mau apa?" tanya gue malas basa basi sembari memeluk helm di depan dada erat-erat.
Bedanya, kali ini gue nggak mesti repot-repot mengedepankan sopan santun sebab jam kerja gue telah berakhir.
"I'm sorry!" kata Adam dengan suara lantang yang sedikit mengejutkan gue.
"We're sorry, to be exact," ralat si Bangsat yang semata-mata bikin gue tambah kebingungan.
"Nggak ada yang perlu dimaafin dari kalian. Ini semua emang salah gue, 'kan," balas gue dibarengi sindiran, menyangkut perihal yang terjadi beberapa jam lalu di dalam kantor ini.
Adam malah menggeleng-gelengkan kepala. "No, it's not. I mean ... damn!" Dia sekonyong-konyong berbalik menghadap sang adik sepupu. "Hey Saga, kayaknya kalo gue ngaku, gue cuma bakal bikin dia tambah benci ke gue, deh."
"Elo bilang elo udah siap nerima risikonya," respons si Bangsat yang membuat Adam memperdengarkan suara ringisan panjang.
"Ya, gue tau. Tapi tetep aja gue takut!"
LAGI NGEBACOT SOAL APA SIH DUA ORANG INI?
"KALIAN SEBENARNYA MAU NGAJAK GUE BICARA ATAU CUMA MAU NGOBROL BERDUA, SIH?" bentak gue dengan emosi yang semakin meledak-ledak.
Gila, ya. Mereka yang ngajak gue buat kemari, tapi yang ada malah mereka juga yang asik bicara berdua. Dasar bajingan tukang buang-buang waktu.
"Iya, gue minta maaf!" Adam menatap gue dengan memasang ekspresi gelisah yang kentara. "Maaf karena gue udah berkali-kali bikin elo kesal dan berulang kali sengaja mancing emosi lo. Asal lo tau, semua itu gue lakukan bukan tanpa alasan," ujarnya panjang lebar yang asli nggak bisa gue mengerti.
"Maksud lo apa?"
"Maksud Adam adalah, bahwa segala tindakan yang ditujukannya sejak kemarin kepada elo itu sebetulnya emang disengaja." Pertanyaan gue yang dijawab oleh Saga justru memunculkan kian banyak tanya lain di dalam kepala.
"Disengaja? Maksudnya?"
"Iya." Adam menganggukkan kepala pelan. "Karena gue berniat mencari tau sekaligus mengetes kepantasan elo selaku pacar adik sepupu kesayangan gue ini."
_
__
___
____
****BONUS PERCAKAPAN SAGA DAN ADAM DI MOBIL; yang terjadi ketika Saga menjemput Adam setelah ditolong Feryan di hari pertemuan mereka.
"Hey, Saga?"
"Hmmm?"
"Elo nggak nyembunyiin sesuatu dari gue, 'kan?" tanya Adam tiba-tiba dengan sorot mata penuh curiga.
"Sesuatu apa?"
"Ya, nggak tau. Tapi gue cuma ngerasa kayak ada yang mengganjal di dalam pikiran gue. Terlebih soal temen sekolah sekaligus pegawai lo itu. Siapa namanya? Feryan?"
"Iya, namanya Feryan."
"Hoo. Dan namanya juga berasa agak familiar. Atau cuma perasaan gue doang."
Saga tersenyum mendengar komentar Adam yang terlihat berpikir keras di sampingnya. "Elo masih ingat cerita soal gue yang udah punya pacar, 'kan?"
"Pacar lo yang sekarang cowok itu?"
"Iya."
"Iya, gue ing ... OH MY GOD! SAGA! JANGAN BILANG--"
"Yes!" tandas Saga dan mengangguk. "Feryan itu nama pacar gue. Feryan is my boyfriend, Adam."
"Tapi dia pegawai lo."
"Iya. Gue sekalian ngejadiin dia pegawai supaya gue nggak susah saat mau ngawasin dia."
"But, how? I mean, ya oke, gue punya first impression yang bagus ke dia karena ternyata Feryan ini cowok yang baik hati. Tapi gue masih gak ngerti. Kenapa elo sekarang mendadak jadi gay?"
"Ini nggak mendadak, Adam. Sejak dulu gue emang suka ke cowok, hanya nggak ditunjukkan secara terang-terangan. Come on! Nggak usah denial, lah. Mentang-mentang dulu kita sering ngomongin cewek."
Adam tersengih. "Hoo. Jadi, elo serius sama pacar cowok lo?"
"Mustahil gue nggak serius setelah seluruh anggota keluarga Fransiskus dan McLauren udah gue kasih tau mengenai hubungan kami, 'kan?"
Kepala Adam manggut-manggut. "Tapi cowok lo ini, si Feryan ini, pacar lo satu-satunya, 'kan?"
"Adam! What kind of stupid question is that! Of course it's only him!"
Padahal wajar bila Adam bertanya demikian mengingat dulu Saga sering bergonta-ganti pacar.
"Hee, oke. Tapi gue penasaran sama beberapa hal."
"Soal?"
"Cowok lo ini. Apakah dia serius juga mengenai hubungan kalian berdua?"
"Tenang aja. Dia juga serius, kok. Dan mamahnya juga udah ngasih restu ke hubungan kami."
Adam agak terlonjak di kursinya mengetahui informasi itu. "Wow. Really? Hoo, keren. Udah berapa lama kalian pacaran?"
"Tanggal 25 nanti anniversary kami yang kedua," jawab Saga sambil menunjukkan senyum kecil yang menawan.
Melihat itu, Adam kontan merasa terkesima. "Damn, Saga! Senyum dan ekspresi girang lo bener-bener konyol. Padahal terakhir ketemu, gue ingat elo belum jadi kayak gini. Apa yang udah terjadi? Apa aja yang udah Feryan lakukan ke elo sampe bikin elo berubah begini?"
Kali ini Saga terkekeh. "Well, just kind of love things. I love him so much, and the way he loves me back. Cuma itu."
"Hee. Kira-kira seberapa besar rasa cinta seorang Feryan pada adik manja gue ini sampe dia dibikin bertekuk lutut, ya? Elo yakin cowok lo ini setia, 'kan?"
"Dia setia, kok."
"Kalo misalkan gue datang ke kehidupannya lalu pura-pura ngegodain dia, berlagak kepengin ngajak dia PDKT juga. Menurut lo gimana?"
Saga memutar bola mata menanggapi gagasan yang Adam lontarkan. "Yang jelas, gue yakin dia akan benci ke elo, Adam. Dan menurut gue, rencana lo terlalu nekat."
"Loh? Kok benci? Bukannya Feryan ini cowok yang baik?" tanya Adam meragukan pendapat adik sepupunya.
"Yes, dia emang cowok yang baik, lugu dan manis. Tapi di sisi lain, saat ada sesuatu yang membuat dia ngerasa nggak nyaman dan terkesan dipaksakan, Feryan nggak akan tinggal diam. Yah, elo akan tau sendiri kalo emang beneran mau nyoba."
"Apakah boleh? Elo mengizinkan, nih?" Adam tampak antusias.
"Silakan aja. Tapi elo harus siap menerima risiko terburuknya."
"Hmmm. Apa, tuh?"
"Udah gue bilang, nanti elo akan tau sendiri, kok. Dan elo akan bisa ngelihat semua dari tatapan matanya. His reaction is always so honest tho. Trust me."
___
Keesokan harinya, tepat setelah Adam ditinggalkan di lokasi parkir oleh Feryan, pemuda berusia 23 tahun itu segera saja berlari menuju kantor sang adik sepupu. Untuk mengadu.
"Hey, Saga!"
"Kenapa?"
"Gila, ya. Cowok lo judes dan galaknya beneran nggak main-main. Beda banget sama kesan pertama gue saat ketemu dia kemarin."
Sontak Saga tertawa terbahak mendengar keluhan itu. "I told you. Kena caci maki dan diomelin habis-habisan 'kan lo sama dia?"
"Ketebak, ya?"
"Jelaslah. Jangankan elo yang orang baru, gue yang pacarnya sendiri aja masih sering kena marah."
"Mana serem banget lagi tatapan marahnya."
"Apa elo dikasih jari tengah sama dia?"
"Nggak."
"Berarti elo masih beruntung."
Adam tercengang sesaat mendapati kalimat itu. "What is that mean? Apanya yang dianggap beruntung dari nggak dapat jari tengah?"
Tawa tertahan Saga menyembur sedikit. "Itu artinya marah dia masih dalam batas wajar."
"Yang kayak begitu elo sebut wajar?" Adam mendelik nggak percaya. "Hii, nggak kebayang gue marah besarnya dia kayak gimana."
"Saran gue, sebaiknya nggak usah elo bayangin. Dan berdoa aja, supaya elo nggak akan menghadapi kemarahan besarnya."
"Makin elo ngelarang, gue jadi tambah penasaran, Dek."
Seseorang memutar bola matanya. "Adam, you're crazy. Gue nggak ada waktu meladeni elo. Kerjaan gue harus cepat-cepat diselesaikan karena gue mau main ke rumah Ryan."
"Haa, itu dia. Gue ikut!"
"What?"
"Gue mau ikut ke rumah Feryan nanti. Soalnya gue masih belum puas untuk ngegodain dia."
Saga hanya mampu menghela napas pasrah. "Whatever. Tapi kalo dia akhirnya beneran benci ke elo, jangan harap gue akan bantu meminta dia untuk maafin lo, Adam."
"There's no way he gonna hates me. Bisa aja cowok lo malah bakal terpesona oleh ketampanan gue. Aw!"
"You wish!" sungut Saga yang baru saja memukul Adam menggunakan map tebal berisi berkas di tangan lantaran kesal.
Hayoo, yang udah telanjur sebel dan emosi ke Adam. Kalian semua kena prank WKWKWKWKWKWK
( ꈍᴗꈍ)
Kita lihat dan nantikan bagaimanakah reaksi Feryan di bab selanjutnya. Ekekekek.
Ada yang bisa menebak? ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com