Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

69. PELEPASAN

Aku kasih double update berhubung isi bab yang tadi siang dan yang sekarang sama-sama nggak begitu panjang.

Tapi,
Harap persiapkan mental dan emosi kalian aja. Karena sesuai seperti dugaan kalian pada bab sebelumnya, di sini amarah Feryan akan meledak habis-habisan sampe ... aku aja nangis waktu ngetiknya. Tolong. (╥﹏╥)

Untuk itu, silakan dibaca aja.
Dan jangan lupa tinggalkan vote serta komentar kalian seperti biasa.  ❤️

__
___
____


Mengetes kepantasan, katanya? Apa gue nggak salah dengar? Setelah semua yang dilakukannya kemarin? DAN DIA DENGAN ENTENG MENGATAKAN ITU HANYA TES?

Bentar, bentar! Biar gue coba konfirmasi lagi.

Lebih dulu gue menghela napas, berdeham langsam sebelum kembali meminta kepastian. "Jadi maksudnya, kelakuan ngeselin yang elo tunjukin ke gue sejak kemarin, elo lakukan secara sengaja atas dasar berniat ... mengetes kepantasan gue sebagai pacar dari adik sepupu lo? Gitu?" tanya gue pada Adam yang lagi-lagi terlihat mengangguk.

"Iya," jawab Adam membenarkan.

Anjrit sumpah! Seluruh tubuh gue terasa mendidih seketika sekarang. Bule setan ini betul-betul minta dihajar.

Lalu gue menurunkan helm dari pelukan, memegangnya menggunakan tangan kiri selagi berjalan mendekat ke posisi mereka berdua.

"Dan Saga, berarti elo udah tau soal ini juga, 'kan?" Gantian menanyai cowok gue yang menampakkan ekspresi nggak enak di wajahnya.

Ketika kepala si Bangsat mengangguk, saat itu juga amarah gue nggak dapat terbendung lagi. "Yes, I'm sorry. Tapi gue nggak--"

PLAKKK!

Pipi kiri Saga gue tampar sekuat tenaga sampe bikin wajahnya miring ke samping dengan kedua mata membelalak kaget, nggak mampu melanjutkan penjelasan. Pun, Adam bereaksi serupa yang kemudian menyusul gue berikan tamparan juga ke wajahnya.

PLAK!

Napas gue naik turun nggak teratur saking emosi. Merasakan perih di sebelah telapak tangan sendiri yang masih nggak sebanding dengan nyeri yang menjalar di hati gue, yang sakitnya berangsur naik hingga membuat kedua mata gue pedih.

"KALIAN BERDUA BENER-BENER ANJING! BIADAB!" maki gue dengan suara yang hampir pecah dan tangan mengepal. Ingin sekali melayangkan pukulan, akan tetapi gue urungkan lantaran terlalu lemas akibat gemetaran. "KALIAN PIKIR PASTI LUCU, YA! Bisa seenaknya mainin perasaan gue. Ngerendahin gue secara lancang. Bahkan mencampuri urusan yang nggak seharusnya elo ikut komentari!" hardik gue yang lebih ditujukan kepada Adam yang masih tercengang dengan pipi yang memerah.

Gue menunduk sebentar untuk menarik napas sebanyak-banyaknya. Menepuk-nepuk dada yang terasa amat sesak sambil sekuat tenaga menahan isakan. Kemudian menatap si Bangsat yang tengah balik menatap gue nggak berkedip, tampak shock tapi juga tanpa bisa berkata apa-apa.

Gue memberinya senyuman masam. "Gue pikir, elo adalah orang yang paling peduli dan selalu mau ngelindungin gue, Bangsat! Ternyata gue salah." Kepala gue menggeleng nanar. "Gue kecewa sama lo. Dan gue betul-betul benci ke elo!" tandas gue yang setelah itu mengusap basah di pipi. "Nggak heran elo berdua bisa jadi saudara. Kalian cocok, sih. Punya sifat brengsek yang levelnya samaan," sindir gue dibarengi tawa getir.

"Ryan--"

"BACOT!" bentak gue sambil mengacungkan jari tengah tepat di depan muka Saga diakhiri dengkusan. "Oh, satu lagi. Saya akan menyerahkan surat pengunduran diri saya segera kepada Anda, Tuan Saga. Karena saya mulai merasa tidak aman bekerja di lingkungan yang penuh tipu daya seperti kafe Anda. Selamat tinggal!" pesan gue sekaligus berpamitan, sesudah itu membalikkan badan. Mulai melangkah menuju pintu. Nggak sabar ingin segera pergi dari sini.

"Wait, Ryan!"

Panggilan itu nggak gue hiraukan. Buru-buru membuka pintu, lalu tersentak mendapati sosok Kak Jimmy yang udah aja berdiri di hadapan gue. Memandang lurus ke depan dengan raut muka tegasnya yang khas.

"Kak?" sebut gue lirih.

Kak Jimmy melirik dan tersenyum pada gue. Sorot matanya memperlihatkan iba sembari menepuk-nepuk bahu gue laun. "It's okay, Feryan. Saya sudah dengar semuanya. Jadi, biar saya yang mengurus mereka berdua dari sini. Kamu silakan pulang aja. Hati-hati, ya."

Kedua mata gue sontak berkaca-kaca mendengar penuturannya. "Makasih, Kak," ucap gue kian serak yang lantas beranjak dari hadapan Kak Jimmy.

Terus menundukkan kepala tanpa sanggup menegakkannya sampe tubuh gue pun bertabrakan dengan seorang pelanggan yang tengah berjalan.

"Maaf!" kata gue yang segera berlalu dari hadapannya.

Di sepanjang perjalanan pulang, gue berkali-kali menyeka muka yang seolah nggak hentinya dibasahi air mata. Saking sakit, malu, kecewa, sesak, marah, semuanya. Sangat sulit untuk menjabarkannya dengan satu kata aja karena perasaan gue telah dipermainkan secara nggak keruan oleh Saga dan Adam. Nggak habis pikir mengenai cara kerja otak mereka yang entah sebetulnya ada ataukah nggak.

Namun semakin gue memikirkannya, semakin merasa hancur pula diri gue sendiri. Berpikir bahwa ... gue sama sekali nggak dihargai. Membayangkan apabila kekesalan dan amarah gue dijadikan bahan tertawaan sekadar sebagai alasan dari sebuah tes kepantasan sialan.

Ya Allah. Asli demi apa, hati hamba saat ini dilanda sakit yang nggak terkira. Apakah ini merupakan karma yang diturunkan oleh-Mu karena hamba sering kali terlalu bucin dan kebanyakan dosa?

Nggak kuat berkendara lebih jauh serta takut gue bakal mengalami kecelakaan lagi seperti tahun lalu dikarenakan tubuh gue yang masih aja gemetaran, akhirnya gue memutuskan untuk menepikan motor ke sisi jalan. Menenangkan diri sebentar dengan terisak-isak di balik masker yang udah lembab karena kebanyakan terkena air mata.

Masker gue tarik lepas sampe talinya putus untuk selanjutnya mengusap muka menggunakan lengan jaket. Setelah itu gue mengambil HP dari dalam tas. Mengotak-atik daftar kontak, mencari nomor milik seseorang yang saat ini sangat ingin gue hubungi.

Ragu-ragu gue menekan tombol panggil. Disusul menempelkan layar HP ke telinga sesudah helm gue copot dari kepala. Menunggu panggilan gue mendapat jawaban sembari menarik napas berkali-kali. Harap-harap cemas.

"Halo, Feryan?"

"Halo, Om!" sahut gue balas menyapa Om Julius yang untungnya bisa menerima telepon dari gue ini. "Apa Feryan ganggu? Feryan izin minta waktu, karena Feryan mau bicara sama Om. Ini ... soal Saga." Gue meneguk ludah kalut sebelum menyambungkan, "Om pernah bilang 'kan, kalo Feryan punya keluhan soal dia, Feryan boleh cerita kapan pun sama Om. Jadi sekarang, Feryan mau cerita. Karena Feryan betul-betul dibuat kesal sama dia. Apakah Om Julius bersedia ... ngedengerin cerita Feryan?"

.

Gue melangkah ke dalam rumah dengan tubuh yang terasa lemah dan lelah luar biasa. Disambut oleh Mamah yang semula tersenyum menanti kedatangan gue, tetapi kemudian mendelik kalut sesudah memperhatikan rupa gue yang pasti berantakan sekali.

"Ya Allah, Fery!" Mamah lekas menghampiri dan langsung memegangi pipi gue. "Kenapa, Sayang? Kok anak mamah matanya merah? Habis nangis, ya? Kenapa? Fery sakit?" tanyanya bertubi-tubi dengan nada yang terdengar amat cemas.

Kepala gue menggeleng pelan disertai senyum masam. "Fery nggak kenapa-kenapa kok, Mah. Cuma ... kesel sedikit. Capek juga. Fery mau langsung tiduran aja," ucap gue seraya melepas dan menaruh satu per satu barang bawaan gue ke lantai.

"Udah makan, belum?" tanya Mamah sebelum gue melangkahkan kaki ke kamar.

Sekali lagi gue menggelengkan kepala. "Lagi nggak kepengin makan, Mah. Fery cuma mau istirahat. Dan tolong, kalo nanti Saga nelpon atau nyariin Fery, bilangin sama dia, minta dia untuk ngebiarin Fery sendiri. Fery bener-bener nggak mau ketemu dan ngomong sama dia dulu."

Tanpa mempertanyakan maksud dari permintaan gue, Mamah secara tegas mengiyakan. "Iya atuh. Kalo Fery butuh apa-apa, ngomong aja ke mamah, ya."

Gue tersenyum pada Mamah, mensyukuri sifat penuh pengertiannya. "Iya, Mah. Fery ke kamar dulu."

Sesampainya di dalam kamar, gue langsung aja mematikan HP beserta iPad gue. Mencegah dari mendapatkan telepon, chat serta apa pun kontak yang berniat si Bangsat lakukan.

Setelah itu, gue mengunci pintu kamar. Berjalan lemas ke ranjang yang lantas gue tiduri. Menarik selimut. Teringat pada momen keintiman yang tadi malam gue dan Saga perbuat di kamar ini. Berakhir meringis sendiri, sebelum akhirnya gue menutupi seluruh badan menggunakan selimut.

Untuk merutuki setiap kejadian nggak menyenangkan yang gue alami hari ini. Mengutuk Adam dan Saga habis-habisan selagi gue mengatai diri sendiri lantaran merasa amat ceroboh karena bisa dengan mudah dibodohi.

.

Nggak tau berapa lama gue mengurung diri di dalam kamar. Yang jelas, begitu suara cacing-cacing yang berdemo di dalam perut gue semakin berisik terdengar, gue jadi memutuskan untuk bangun dari pembaringan. Membuka kuncian pintu lalu keluar dari kamar. Berjalan dengan tubuh yang sungguh nggak bertenaga dan kepala yang sakit gara-gara terlalu banyak berpikir sambil meratapi nasib.

"Mah?"

Mamah yang sedang menonton film azab di kanal ikan terbang tampak terlonjak mendengar panggilan gue, lantas buru-buru berdiri untuk berjalan kemari. "Fery! Akhirnya keluar. Pasti lapar, ya? Mau makan apa? Biar mamah bikinin dan beliin."

Namun, tawaran darinya terpaksa harus gue tolak dulu. "Nanti lagi aja makannya, Mah. Fery kepengin cerita sesuatu ke Mamah."

Kemudian gue membeberkan semuanya pada Mamah. Tentang Adam dan segala tindakan menyebalkannya. Setiap ucapan Adam yang menyakiti perasaan gue serta olok-olokan darinya yang seakan memandang rendah diri gue. Juga terkait sifat brengsek Saga yang sudi-sudinya memberi izin pada Adam untuk melakukan seluruh perbuatan itu kepada gue selaku pacarnya sendiri.

Seusai menyimak seluruh cerita yang gue tuturkan, Mamah terlihat menatap gue sedih dan sigap memberi rangkulan. "Ya Allah, Kasep. Sing sabar, ya." Kepala gue diusap-usap lembut.

Gue mengembuskan napas panjang, merasa sedikit lega sesudah menumpahkan semuanya pada Mamah. "Fery bener-bener kecewa sama Saga, Mah," cetus gue yang ditanggapi anggukkan Mamah.

"Iya, mamah bisa ngerti perasaan kamu. Da mamah kalo ada di posisi Fery juga pasti kesel. Marah juga pasti."

"Makanya itu." Senyuman getir gue telan dalam-dalam saking ragu sewaktu mengakui, "Fery marah banget sampe mikir ... mungkin, sebaiknya sejak awal Fery sama Saga nggak usah pacaran. Kalo tau bakal dibeginiin."

Kedua mata Mamah mendelik kaget. "Jadi, Fery sama Saga putus?"

Sontak gue melotot ngeri mendapati pertanyaan berupa pernyataan ngawur si Mamah. "Amit-amit! Jangan sampelah, Mah. Fery nggak mau!" sahut gue jadi sewot sendiri.

Ekspresi Mamah seketika berubah jengah. "Oh, kirain. Maaf atuh."

Gue mendecak pelan. "Fery marah, iya. Kesel banget, ya jangan ditanya lagi. Kecewa berat ke Saga, ya iya juga. Tapi Fery nggak ada keinginan untuk putus karena siapa tau masih ada kesalahpahaman yang belum sempat Saga lurusin. Terus karena Fery terlanjur emosi, penjelasan yang belum selesai dia omongin udah Fery ambil kesimpulannya duluan," ungkap gue menjelaskan yang semata-mata membuat Mamah tersenyum semringah.

"Masya Allah. Meuni dewasa pisan pemikiran anak mamah."

Pujian itu bikin gue nyengir terpaksa. "Fery bilang begitu ikut apa kata Om Julius kok, Mah."

"Oh. Jadi Fery udah cerita juga ke Pak Julius?"

"Iyalah, Mah. Supaya si Saga kena omel habis-habisan sama ayahnya. Biar tau rasa!"

Mamah sekadar geleng-geleng kepala. "Dasar kamu tuh, ya," komentarnya yang lalu menepuk bahu gue. "Oh, iya. Lupa ngasih tau Fery. Itu, tadi Nak Saga nelpon ke mamah."

"Dia ada bilang apa?"

Mamah tersenyum dan menjawab, "Cuma bilang ke mamah, minta tolong nyuruh Fery makan karena di kafe tadi Fery nggak ikut makan siang. Itu aja."

Gue mengernyit nggak percaya. "Cuma itu?"

"Iya." Mamah mengangguk mantap yang malah membikin perasaan gue kembali runyam. "Mungkin aja Nak Saga masih ngerasa bersalah sampe nggak berani bilang apa-apa lagi ke mamah soal Fery. Gak usah dipikirin dulu aja."

Gue menghela napas pasrah. "Iya, Mah. Dan Fery juga lupa bilang. Kayaknya, Fery bakalan berhenti kerja di kafenya Saga."

Mamah memekik. "Fery mau keluar?"

Bahu gue terangkat lantaran bingung juga. "Karena emosi, Mah. Fery tadi sempet bilang sama Saga bahwa Fery mau mengundurkan diri. Ditambah Fery juga sampe nampar dia dan Adam. Kenceng banget lagi. Tindakan itu bisa dijadikan alasan untuk melakukan pemecatan, 'kan?"

Menangkap penuturan gue, Mamah terlihat tersenyum maklum disertai embusan napas panjang. "Tapi, Ferynya beneran mau berhenti kerja di sana, nggak?"

Kepala gue bergerak ke kanan-kiri secara yakin. "Nggak, Mah."

Senyuman Mamah kian lebar sewaktu berkata, "Ya udah. Biar nanti, kalo udah siap, kamu obrolin lagi masalah itu sama Nak Saga, ya?"

"Iya, Mah!" Gue mengangguk setuju.

"Nah sekarang, mending Fery makan dulu. Mamah tadi udah beliin semur jengkol, loh. Bentar, mamah ambilin!" Mamah berdiri lalu segera berjalan menuju ke dapur.

Meninggalkan gue di ruang tengah dengan perut yang semakin terasa keroncongan. Duh, beneran lapar! Mau cepet-cepet makan. Andai tadi nggak kelewat kesal, kayaknya gue bakal minta menu makan siang di kafe buat dibungkusin aja. Mana menunya tumis udang campur buncis dan kentang lagi. Enak.

"Ada sambel terasi, nggak?" tanya gue yang akhirnya berdiri dan menyusul Mamah di dapur.

"Kalo mau mamah bikinin dulu, ya."

"Iya, Mah. Makasih."

"Minumnya mau apa? Teh manis dingin?"

"Mau sirup rasa kelapa aja, Mah."

"Sip atuh. Nanti mamah sekalian buatin."

Gue nyengir senang karena semua keinginan gue dengan mudah mamah bersedia turuti. Nggak ubahnya seperti Saga setiap kali gue meminta sesuatu padanya.

Haah. Mikirin dia malah bikin gue kangen, dong. Padahal gue masih kesal, tapi gue juga kangen pengin ketemu dia. Udah mana seharian ini kami belum melakukan kemesraan apa pun di kafe.

Dasar gue! Bucinnya sampe bikin goblok nggak ketolong. Huh hah!

.

Nggak ada panggilan tak terjawab, chat atau pemberitahuan apa pun yang datang dari Saga Bangsat teruntuk gue ternyata. Matiin HP pun sama aja gak ada gunanya. Tapi ya udahlah, biar. Toh walaupun dia menghubungi gue, belum tentu gue bakal siap merespons atau meladeninya. Ditambah Om Julius bilang perihal hendak memastikan hal kayak begini nggak dibiarkannya bakal terjadi lagi.

Penasaran gue. Kira-kira apa yang bakal si Om lakukan terhadap putra tunggalnya itu, ya? Jarang banget soalnya gue melihat si Om marah atau ngomel. Dia pernah memergoki gue karaokean pake kontol anaknya di dapur rumahnya pun toh cuma ditegur secara halus.

"Fery!"

Lamunan gue buyar begitu Mamah muncul dari balik pintu kamar sembari memanggil nama gue.

"Itu, di depan ada yang mau ketemu sama kamu."

Laporan darinya membuat gue sigap berdiri. "Siapa, Mah?"

Mamah meringis, tampak nggak nyaman entah kenapa. "Fery liat sendiri aja sana. Mamah mah nggak kuat ngeliatnya. Ngilu. Mamah mau masuk kamar aja, ya."

Hah? Ngilu? Maksud Mamah apaan, sih? Emangnya di depan ada siapa gitu?

Belum sempat gue bertanya lagi, si Mamah malah udah berlalu menuju ke kamarnya sendiri. Alhasil, mau nggak mau, gue berjalan menuju ke ruang tengah. Agak takut, gue mengintip siapakah sosok yang datang dan ingin menemui gue. Lalu serta-merta memekik melihat rupanya yang terlihat babak belur.

Adam dengan wajah memar serta hidung bengkak diplester kontan berdiri dari duduk untuk menghampiri gue. "Hai, Feryan. Bisa kita bicara sebentar? Please!" mohonnya dengan raut muka memelas dan sekonyong-konyong berlutut di depan gue. "Kalo elo nggak mau bicara sama gue, Mas Jimmy nggak bakal ngizinin gue pulang ke rumah. Gue juga takut kena hajar lagi sama dia. Jadi gue mohon banget sama lo, tolong dengerin penjelasan gue. Elo mau, 'kan?" pintanya yang jelas aja bikin gue tertegun saking keheranan.

Ya Allah. Gimana bisa gue sampe bikin anak orang lain jadi babak belur begini dikarenakan permasalahan di antara kami?

Nah, gimana pendapat kalian semua, pemirsa? Apakah ini sudah cukup greget ataukah masih kurang?

Tenang aja. Di bab selanjutnya bakal aku bikin lebih greget lagi, kok.
HUAHAHAHAHAHA

Dadah~ ( ˘ ³˘)♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com