Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

70. PENGURAIAN

Halo. Adakah di antara kalian yang menantikan update cerita ini? ( ꈍᴗꈍ)

Mohon maaf karena aku baru bisa update lagi gara-gara kewalahan begitu tau keseluruhan dialog di bab ini ternyata memakan hampir total 3000 kata. 🙂
Ditambah narasi yang menyusul diketik kemudian jadi melebar ke total 6200 kata. WKWKWKWK

Kok bisa jadi sepanjang itu?
Kalian bakalan tau jika membacanya sampai selesai, ya.

Yang pasti, tolong jangan lupa kasih vote sama komentar kalian sebagai suntikan semangat untuk jempol tangan kananku yang melempem di sini. 🥺🤣😆

Sedikit pesan,
Mohon maaf apabila bab ini terkesan kurang greget dan mengecewakan sehubungan aku yang tetap menulis cerita mengikuti watak serta sudut pandang seorang Feryan Feriandi. Dan kalian jelas paham dan sangat tau seperti apa watak Feryan yang aku maksud setelah mengikuti SBKB sejak musim awal sampe sejauh ini, 'kan?

Asli, aku nggak bisa bikin tokoh OOC.
Nggak ada niat kepengin mengubah pendirian mereka demi memuaskan ekspektasi kalian para pembaca juga.
Karena tokohku, milikku, dan aku akan mengembangkan dan menceritakan mereka selalu dengan caraku. Itu aja intinya. ❤️

Tetap, semoga kalian menyukai bab yang mungkin kurang sempurna ini, ya. 🌈

__
___
____


Melihat Adam yang sekarang jadi memohon-mohon dengan wajah dipenuhi memar sampe berlutut di depan gue begini, semata-mata mendatangkan perasaan bersalah yang nggak dapat gue jabarkan. Kasian dan miris juga, berpikir bagaimana bisa bule nyebelin ini berakhir dihukum oleh orang lain alih-alih tangan gue sendiri. Tck!

"Udah, deh!" Buru-buru gue menghampiri Adam, lalu membungkuk untuk membantunya berdiri. "Elo ngapain pake segala berlutut di depan gue, sih! Cepetan berdiri!"

Sialnya, si Adam menolak. Dia memperlihatkan sorot memelas ke arah gue dan membalas, "Gue nggak akan berdiri sebelum elo setuju untuk bicara sama--"

"Iya, iya! Gue setuju!" pungkas gue demi membuat Adam berhenti memohon karena bikin gue berasa ada di posisi orang jahat.

Kedua matanya membelalak gak percaya. "Beneran?"

"Iya, beneran! Cepetan elo berdiri, terus duduk!" titah gue kali ini untungnya dituruti Adam dengan patuh. Menjadikan gue mampu sedikit bernapas lega, pun sedikit kesal sebab selalu punya sifat nggak tegaan macam sekarang. Padahal enaknya muka ini bule gue kasih bonus tendangan. "Tunggu sebentar!" ujar gue yang sesudah itu melangkah ke dapur demi mengambil segelas minuman untuk diserahkan pada Adam. "Nih, elo minum dulu."

Kedua mata Adam seketika menampakkan sorot sungkan mendapati tawaran sederhana yang gue berikan. "Jangan ngasih gue perhatian beginilah, Feryan. Jadi makin nggak enak gue sama lo."

Gue memutar bola mata lantas meletakkan gelas berisi air ke meja. "Gue hanya bersimpati sebagai sesama manusia, bukan perhatian. Kalo mau nurutin emosi, sih. Penginnya air minum elo ini gue ludahin sekalian, atau dikasih sianida, kek," sungut gue yang membikin Adam meneguk ludahnya. Gue tersengih. "Tapi muka elo nggak apa-apa, 'kan? Kayaknya sakit banget."

"Iya, ini sakit," jawab Adam dan meringis. "Tapi mengutip kata Saga dan Mas Jimmy, gue layak mendapat semua luka ini."

"Emang!" sahut gue cempreng sampe agak mengagetkan Adam. "Saga ikut ngehajar lo juga, ya?"

"Nggak, cuma Mas Jimmy aja. Karena gue adiknya."

"Apakah Saga kena hajar Kak Jimmy juga?"

"Nggak, karena Saga bukan adik Mas Jimmy. Beda sama gue."

Kepala gue manggut-manggut. Sedikit lega mengetahui kondisi si Bangsat yang berarti nggak bakal mirip dengan keadaan Adam saat ini karena nggak ikut kena hajar. Atau mungkin sebaiknya gue aja yang ngasih dia hajaran nanti? Duh, tapi nggak tega! Takut sakit juga. Gue nampar dua pipi aja berasa perih ini tangan, apalagi kalo mesti ngasih bogeman yang hasilnya luka.

Gue menghela napas sembari meneliti memar yang bermunculan di paras Adam. Di bagian hidung sebelah kirinya, tepi bibir kiri, pipi kanan hingga bagian dekat rahang kiri. Berwarna hitam kebiruan, tampak agak membengkak dan ada jejak darah mengering terlihat di ujung lubang hidung Adam.  Membayangkan rasa nyerinya, gue jadi merintih sakit sendiri. Nggak menyangka Kak Jimmy bakal memberikan hukuman semacam ini pada sang adik--walau dalam sekali lihat, gue bisa tau bahwa dia adalah sosok yang tegas dan kejam, sih.

"Padahal seharusnya elo nggak perlu dihajar sampe segitunya," komentar gue dibarengi senyuman masam. "Asal kena pukul sama gue satu kali aja kayaknya gue bakal ngerasa enakan. Meski tenaga gue gak bakal segede kakak lo, sih."

Adam menggelengkan kepala seakan nggak setuju atas respons gue. "Tapi tindakan gue emang udah keterlaluan, Feryan. Gue pantas dapat hukuman kayak gini."

"Baguslah kalo elo sadar!" Gue ngasih acungan jempol untuk Adam yang spontan menunjukkan ekspresi kikuk.

"Dan elo harus tau bahwa Saga nggak tau apa-apa soal perbuatan gue, Fer. Karena gue hanya bilang ke dia buat berniat ngegodain elo sambil iseng ngajak lo PDKT. Untuk semua omongan gue yang nggak menyenangkan tentang ... selera dia, wajah lo dan juga cara gue yang terkesan mencampuri orientasi seksual lo, Saga nggak tau menau," ungkapnya ragu-ragu, mulai mengutarakan penjelasan, "Makanya kemarin malam sewaktu gue membahas soal dosa, Saga ikutan negur. Karena Saga juga nggak suka gue ngegituin elo dan mamah lo."

Hmmm. Itu menjelaskan kenapa saat gue menceritakan perihal Adam yang kepengin ngajak gue PDKT, tapi si Bangsat justru bereaksi santai seolah nggak peduli. Karena sejak awal dia emang udah tau niat iseng Adam yang satu itu.

"Semua ide itu gue sendiri yang merencanakan. Sengaja tanpa bilang apa-apa ke Saga dan berbohong bahwa gue asal ngegodain elo aja sampe bikin elo marah. Tapi akhirnya tadi siang dia nanyain semuanya. Karena Saga sadar marah elo udah nggak wajar untuk ukuran seseorang yang cuma digodain. Sedangkan faktanya, gue terkesan merendahkan elo," sambung Adam membeberkan, lalu menyatukan kedua tangan di depan muka. "Untuk itu, gue minta maaf banget sama elo, Feryan! Maaf karena udah bikin elo kesal, kecewa, marah, merasa direndahkan sampe elo pun ikutan ngamuk ke Saga gara-gara gue. Maaf! Ini semua salah gue! Tolong, elo jangan marah lagi ke dia!" mohonnya berulang-ulang.

Gue menerawang sebentar setelah mendengar seluruh perkataannya, sebelum bertanya dengan sedikit curiga, "Apa Saga yang minta elo bilang ini semua ke gue?"

Adam mengernyit heran mendapati tanya gue, sesudah itu menggelengkan kepala. "Nggak. Sejak gue ngeliat tatapan sakit hati lo dan dikasih teguran oleh semua orang, gue langsung sadar bahwa tindakan gue salah, kok. Mengenai Saga, gue pun punya inisiatif sendiri karena gue nggak tega ... ngeliat dia yang galau, ikutan ngerasa bersalah. Padahal gue yang berulah, tapi dia juga yang ikut kena getahnya. Katanya, ini baru pertama kali dia ditampar sama lo sekeras itu. Ngeliat elo marah begitu, dia ketakutan dan sedih, Feryan," ungkapnya yang gue tanggapi sekadar melalui anggukkan.

"Dia pantes digituin, kok. Sesekali. Biar nggak kebiasaan!" celetuk gue disertai kedipan mata sampe bikin si Adam tercengang.

DIKIRA GUE BAKALAN TERHARU SESUDAH MENDENGAR SEMUA PENUTURANNYA ITU APA? GAK USAH NGAREP!

"Tapi dia nggak bermaksud, Feryan!" tandas Adam masih berusaha membela Saga. "Gue yang keras kepala dan bodoh karena nggak mendengarkan peringatan Saga sejak awal. Tolonglah, maafin dia. Kalo elo nggak bisa maafin gue, nggak apa-apa gue terima. Yang penting gue udah bicara sama lo, itu cukup buat gue. Tapi untuk Saga, gue minta ke elo, tolonglah jangan ikut benci ke dia. Kasihan adek gue, Feryan. Dia bener-bener sayang sama lo," mohonnya bersungguh-sungguh sampe rasanya lubang hidung gue yang justru tersentuh. "Andai dia tau perilaku gue ternyata seketerlaluan itu, pasti Saga akan jadi orang pertama yang ngelarang gue bertindak lebih jauh."

Kalimat terakhirnya membuat gue tanpa sadar tersenyum. "Gue setuju, sih. Dan masih untung elo cuma dihajar sama Kak Jimmy, loh. Bayangin kalo Saga ikut ngehajar lo, Dam. Gue yakin elo bahkan nggak bakal sanggup datang kemari saking babak belur."

Selorohan gue membikin Adam mendelik ngeri. "Apa iya? Saga nggak bakal sesadis itu, 'kan?"

Gue berdeham keras lantaran mati-matian menahan tawa setelah berhasil menakut-nakuti bule yang ternyata lemah mental ini. Balas iseng ke dia sesekali nggak dosalah, ya. Biar tau rasa!

Namun, memikirkan tentang apa yang dikatakan oleh Adam terkait peran Saga yang mengetahui kelakuannya, lebih sedikit rasa kesal gue pada cowok bangsat itu berkurang lagi. Mengingat sifat bucin dia yang kayak apa, gue yakin apa dikatakan Adam bukanlah bualan semata hanya demi membujuk gue supaya memaafkan adik sepupunya.

Siang tadi ketika Saga menegur gue di kantor aja, dia tampak amat merasa resah. Apalagi begitu menyaksikan amukan gue padanya dan Adam. Udah pasti hati dan pikirannya gak bakal tenang. Sekalipun dia nggak mencoba menghubungi gue di sini. Tapi yang jelas, gue sangat tau dia.

Karena Saga adalah orang yang paling mencintai gue. Sekalipun sifat ngeselinnya kali ini bener-bener menguras kesabaran.

Gue menarik napas panjang, melirik Adam yang baru mulai meneguk minuman yang gue suguhkan. "Adam?"

"I-iya?" sahutnya yang hampir aja tersedak.

"Silakan elo pulang. Pembicaraan kita udah selesai!" usir gue tanpa basa-basi lagi dan membuat Adam sontak berdiri.

"O-oh, iya. Makasih karena elo udah mau ngeluangin waktu untuk gue, Feryan!" ucapnya girang dan terlalu bersemangat.

Mungkin senang karena dia baru bakal diizinkan kembali ke rumah oleh kakaknya. Oh, iya juga.

"Ngomong-ngomong, elo ke sini sama siapa?"

Pertanyaan gue nggak langsung dijawab oleh Adam yang tampak berpikir cukup lama, sebelum ragu-ragu menjawab, "Emm, Saga."

SIAPA DIA BILANG?

Tangannya menunjuk ke arah depan. "Dia nungguin di luar, tuh. Ada di dalam mobil. Saga nggak mau diajak masuk karena katanya dia belum siap ketemu sama lo lagi. Masih ngerasa bersalah. Tapi, dia nyimak semua obrolan kita, kok."

Penjelasannya agak membingungkan gue. "Nyimak obrolan kita? Maksud lo?"

Adam tersenyum, sesudah itu mengeluarkan HP yang nggak gue sadari ternyata dipeganginya. "Ini, sebenarnya Saga ikut ngedengerin obrolan lo sama gue. Sengaja nyuruh gue bicara sama lo sambil nyambungin panggilan ke nomornya. Supaya dia bisa tau topik apa aja yang gue bahas. Jaga-jaga juga, siapa tau gue bakal nyakitin perasaan elo lagi." Dia pun nyengir. "Secinta inilah adek gue ke elo, Feryan."

Sayangnya, mengetahui hal itu, gue bukannya merasa senang atau terharu, melainkan semakin kesal. Ya, siapa yang nggak kesel, anjir! Rupa-rupanya si Bangsat ada di luar rumah gue! Tau gitu mendingan dari tadi dia dipaksa ikut masuk aja! Gak usah kebanyakan bacot sok merasa bersalah. Huh, hah!

"Mana sini HP elo!" HP Adam gue rebut. Semula berniat bicara pada si Bangsat untuk memintanya masuk kemari, akan tetapi gue dibikinnya makin berang mendapati panggilan yang tersambung ini sekonyong-konyong dimatikan. "ADEK SEPUPU LO BENERAN MINTA DIHAJAR, ADAM!" geram gue yang kemudian buru-buru berjalan ke luar.

Tatapan gue mendelik sengit ke arah mobil putih Saga yang beneran terparkir rapi di sisi jalan. Lekas gue hampiri dengan langkah menghentak sembari mengucap sumpah serapah nggak ada habisnya.

Setibanya di samping kanan pintu mobil, gue langsung aja mengetuk-ngetuk jendela di dekat kemudi ini dengan nggak sabar. Yang perlahan-lahan membuka dari dalam, memunculkan wajah si Bangsat yang memasang cengiran aneh.

"H-hai."

PLAK!

Pipinya seketika gue tampar meski nggak sekencang tadi siang. "Gak usah segala hai hei, hai hei, deh! Elo masuk, cepetan! Jangan cuma bisanya ngumpet kayak tai cicak!" sembur gue menitah sambil melotot kesal pada Saga yang masih mengelus-elus muka.

"Tapi gue harus ngantar Adam pulang."

SEJAK KAPAN PULA INI ORANG NGAMBIL KERJAAN SEBAGAI SUPIR PRIBADI SI ADAM! HERAN GUE!

"Elo tinggal pesenin dia ojol lagi aja beres, 'kan!"

Solusi yang gue cetuskan membuat Saga seolah tersadar. "Oh, iya juga. Oke." Dia lantas keluar.

Bertepatan dengan Adam yang baru hendak masuk ke dalam mobil, bersiap untuk pulang.

"Elo pulang pake ojol aja, Adam! Gak usah protes!" sungut gue yang spontan bikin Adam mengangguk-angguk patuh.

"Hoke, Feryan!"

.

Setelah Adam pergi dijemput oleh supir ojol yang Saga pesankan, selanjutnya dia gantian masuk ke dalam rumah. Duduk di sofa berukuran sedang yang juga sempat Adam tempati yang jelas aja bikin gue menggeram nggak suka.

"Ngapain elo duduk jauh-jauh di situ? Duduk di sebelah gue sini!"

Si Bangsat langsung menurut. Segera berpindah tempat duduk di sofa panjang bersama gue yang masih menatapnya sengit. Sengaja terus menatap tanpa berkata apa-apa. Hanya supaya dia tau bahwa gue betul-betul masih kesal padanya--sambil diam-diam melepaskan rasa kangen gue ke dia.

Pengin banget gue hajar ini orang, tapi sayang muka gantengnya. Sayang juga dia pacar gue. Sialan sumpah. Gue beneran terlalu bucin.

Dasar cowok lemah lo, Fer! Bucin lo nggak bisa dibuang bentaran doang apa, ya.

"Tante mana?"

Gue tersentak dari lamunan perihal bucin saat mendadak Saga menyuarakan tanya. "Mamah ada di kamar. Dia ketakutan sehabis ngeliat muka babak belur si Adam soalnya."

Jawaban gue bikin dia manggut-manggut. "Ah, I see."

Hening kembali menyelimuti kami berdua setelahnya. Si Bangsat tampak sibuk membolak-balikkan telapak tangan sendiri seraya mengedarkan pandangan ke sana-kemari, sedangkan gue memandangnya malas karena menyadari cowok ini belum memiliki inisiatif untuk mengajak gue bicara duluan.

Bodo amatlah. Ngalah aja udah.

"Kenapa elo nggak ikut masuk aja tadi?"

Pertanyaan gue akhirnya berhasil membuat Saga memusatkan tatapannya ke sini, dengan sorot sedih yang gue tangkap di kedua matanya. "Just like Adam said, I feel so much guilty about you, okay? Ditambah Daddy bilang, gue nggak pantas menghadap elo lagi setelah apa yang udah gue lakukan." Dia menarik napas panjang. "Meski sebagian banyak kesalahan yang terjadi itu di luar sepengetahuan gue, tapi tetap, gue bersalah karena secara bodoh memberi izin tanpa berpikir mengenai perasaan lo, Ryan," ungkapnya yang berakhir menutupi muka sendiri. Seakan-akan merasa malu.

"Jadi, Om Julius udah nelpon elo?"

Dia menggelengkan kepala lantas memperlihatkan rupanya kembali. "No! Daddy tiba-tiba pulang ke rumah hanya demi menemui gue dan Adam. Berkat elo, akhirnya gue diomelin lagi sama Daddy. And I need that." Sedikit, gue melihat senyuman yang tersungging di bibir tipisnya.

"Elo nggak bakal nyalahin gue?"

Tanya gue bikin si Bangsat menaikkan sebelah alis. "Yang lebih salah di sini siapa emangnya? Kenapa juga gue harus ikut nyalahin elo?" baliknya bertanya, sesudah itu menundukkan kepala dengan embusan napas berat. "Daddy juga bilang, seharusnya gue mutusin hubungan kita aja."

"HAH?" Gue memekik kencang saking kaget.

GILA, GILA, GILA! Itu maksudnya apa, woi? Masa iya si Om nyuruh anaknya mutusin gue setelah gue curhat ke dia? Apakah Om Julius nggak lagi menginginkan gue untuk dijadikan sebagai calon mantunya?

"Kalo untuk menjaga perasaan elo aja gue gak becus, nggak seharusnya gue mempertahankan elo sebagai pacar." Mata sipit dia mengerling gue secara gamang. "Menurut Daddy, gue nggak pantas jadi cowok lo."

Kepala gue sontak menggeleng-geleng. "G-gue nggak setuju! Gue gak mau putus sama lo, ya. Enak aja!"

Protes gue ditanggapi anggukkan oleh Saga. "Gue juga, kok. Tapi apa yang Daddy katakan emang benar. Bahwa gue nggak bisa menjaga perasaan lo, Ryan. Itulah kenapa--"

"Elo mau kita putus?" tukas gue dengan nada cemas. Udah aja merasakan sedih dan takut diputuskan oleh si Bangsat.

Yang menatap gue dengan ekspresi gusar di wajahnya. "Nggak, Bego! Bisa nggak elo diam sebentar?"

Kekhawatiran gue seketika sirna. "Oh ya udah, alhamdulillah, deh. Asal elo nggak bakal mutusin gue. Lanjutin aja!"

Si Bangsat mendecak pelan, lalu menghela napas panjang sebelum terus mengungkapkan, "Gue ... betul-betul merasa bersalah aja sama lo. Maaf, karena gue dengan bodohnya ngasih izin Adam untuk ngisengin elo. Gue pikir iseng dia asal ngegodain elo kayak cerita yang lo bilang tadi malam. Tapi ternyata, dia bertindak lebih jauh dari itu." Kepalanya menunduk dalam. "Gue ... betul-betul nggak nyangka dia setega itu nyakitin perasaan pacar adik sepupunya sendiri. Apalagi saat gue dengar dia bilang bahwa dia pikir gue akan kehilangan mood gara-gara elo yang dikatakan so not sexy olehnya. Andai nggak diduluin Kak Jimmy, demi Tuhan gue akan menghajar Adam habis-habisan."

Dapat gue lihat kedua tangan si Bangsat mengepal erat yang spontan gue pegangi. Membuat dia menegakkan kepala, mempertemukan sepasang mata kami secara serta-merta.

Gue tersenyum masam. "Tadi pagi, saat Adam mengajukan keluhan ke gue. Dia nggak bilang soal itu?"

"Tentu aja, nggak!" ujar Saga meyakinkan. "Karena kalo dia bilang, gue pasti akan lebih membela elo, Ryan! Dan elo juga sepatutnya ngadu ke gue."

Gue mendengkus. "Tapi elonya nggak nanya."

"Karena Adam mengaku bahwa dia cuma ngisengin elo doang di jam kerja saat tau-tau elo ngatain dia sampah dan bilang benci."

"Ya, itu masalahnya!" Pipinya gue pukul pelan. "Elo goblok karena lebih percaya ke dia!"

"Ya, maaf karena gue lebih percaya ke dia! Soalnya gue tau banget watak lo saat udah kesal dan muak ke orang lain gimana! Apa elo pikir gue akan langsung tau ada sesuatu yang nggak beres terjadi di antara kalian tanpa elo katakan? Gue nggak bisa membaca pikiran, oke?" balasnya mencecar panjang lebar sampe bikin gue nggak mampu menyanggah lagi.

Dih, najis! Selalu aja susah untuk gue menang melawan mulut blak-blakan si Bangsat.

Pegangan gue di tangannya dipererat selagi dia menyambungkan, "Tapi setelah melihat elo ngamuk di kantor tadi, barulah gue sadar ada yang nggak beres. Apalagi begitu si Adam mendadak panik. Memutuskan untuk mengakhiri sandiwaranya yang belum lama dimulai. It just ... unbelievable." Dia menunjukkan ekspresi kesal sekarang.

"Tapi elo denger 'kan sewaktu dia bilang ke gue bahwa selera elo harus dipertanyakan karena punya pacar modelan gue gini? Saat gue lagi buang sampah pagi-pagi kemarin?"

"NO!" jawabnya tanpa ragu. "Gue datang hanya saat dia mulai manggil elo Ryan! Lalu sewaktu dia nyuruh elo ngantar pesanan ke kantor juga. Gue menyimak obrolan kalian dan ya, yang gue tangkap si Adam cuma berniat menguji kesabaran elo aja. Makanya gue berusaha memaklumi. But, damn. I shouldn't believe him so easily!" umpatnya kemudian menyandarkan kepala ke bagian ujung sofa, tampak lelah.

Ragu-ragu, gue bertanya lagi, "Jadi, elo beneran nggak tau apa-apa?"

Matanya melirik gue. "Selain Adam yang kepengin ngisengin dan ngegodain elo? Nggak, Ryan! I swear I didn't know anything." Saga lantas menegakkan kembali duduknya untuk menghadap ke gue. "Tapi gue tau itu nggak berarti gue bisa sembarangan ngasih izin Adam untuk iseng ke elo dan tanpa sepengetahuan lo. That's why, I'm so sorry. Gue benar-benar minta maaf. I promise, kejadian seperti ini nggak akan terulang lagi. Dan gue pun nggak akan minta elo maafkan secepatnya. Just please, don't hate me too much. I beg you!" ungkapnya memohon disertai sorot memelas intens yang seketika meluluhkan kekesalan gue sepenuhnya.

Bibir gue tersenyum untuknya. "I still love you, kok." Tapi nggak lama, karena setelahnya gue mendengkus dan buang muka. "Meski gue juga sebel banget ke elo. Nggak taulah. Gue pusing. Males mikir!" keluh gue yang terpaksa menarik pegangan gue dari tangan si Bangsat yang terdengar menghela napas lesu.

"Oke, kalo gitu. Mungkin sebaiknya gue tinggalin elo sendirian dulu aja. Elo pasti masih butuh waktu untuk menenangkan diri," katanya sembarang menyimpulkan sambil tiba-tiba berdiri.

"Gak usah sok tau!" omel gue, secara sigap gue menahan kepergian si Bangsat. "Elo jangan pergi ke mana-mana! Diem di sini!"

Bentakan gue membuatnya duduk kembali. "O-oke. I'll stay."

"Peluk gue!"

"A-are you sure?"

"Gak usah banyak bacot. Peluk gue cepetan."

"O-oke, oke!"

Akhirnya Saga betul-betul memeluk tubuh gue. Refleks gue pun melingkarkan kedua tangan gue ke punggungnya, mendekap erat. Menenggelamkan wajah gue di antara dada dan kepalanya. Menghirup dalam-dalam aroma leher cowok bangsat yang selalu berhasil mendatangkan kenyamanan serta kehangatan. Meskipun nggak bisa dipungkiri bahwa dia juga ...

"Bajingan lo, ya."

"Gue tau."

"Elo nyebelin! Kayak taik! Anjing! Bulu babi! Keparat! Setan biadab! Monyet! Daki jembut! Iblis sialan! Siluman jadi-jadian! Goblok! Kampret! Semua yang gak ada baik-baiknya! Elo ngeselin banget, Bangsat! Benci gue sama lo!" sebut gue menumpahkan segala kata makian yang diterima dengan senang hati olehnya yang malah terdengar mengembuskan napas lega.

"Ada lagi?"

Gue gantian mengembuskan napas panjang. "Gue minta tolong, lain kali elo jangan pernah ngebiarin orang lain buat ngegituin gue lagi."

"I will never. I promise."

"Gue nggak mau keluar dari kerjaan di kafe."

Dia mengangguk. "I know. Elo toh cuma kebawa emosi doang, 'kan?"

"Iya." Gue balik mengangguk, sesudah itu mendongakkan kepala untuk berpandangan dengan Saga yang kini tengah tersenyum amat manis. "Gue sayang sama lo. Meski hari ini gue dibikin kesel setengah mampus sampe nangis-nangis di sepanjang jalan, tetep aja gue cinta banget ke elo, Saga. Benci banget gue sama perasaan bucin gue ini. Benci gue ke elo!" ucap gue antara senang dan juga sebal sambil mengacak-acak rambutnya saking gregetan.

Senyumnya mengembang kian lebar. "I know. I love you too. And I'm sorry." Si Bangsat membalas sembari memegangi tangan gue, menghentikan gue dari mengacak-acak rambutnya.

"Dan gue mau elo untuk jangan pernah ngizinin Adam datang ke kafe lagi. Seenggaknya, sebelum jam kerja gue selesai."

"Iya, apa pun untuk elo, Sayang. Ada lagi?"

"Udah. Itu aja." Gue nyengir.

Saga mengusap-usap lembut punggung tangan gue seraya membasahi bibirnya, lalu berbisik, "Gue boleh nyium elo, 'kan?"

"Enak aja!" tolak gue berlagak merajuk, setelah itu memajukan wajah gue ke mulutnya. "Biar gue aja yang nyium elo!" Kemudian kedua bibir kami saling bersentuhan. Singkat, tapi berkali-kali sampe si Bangsat senyum-senyum sendiri. "Tuh!"

"Thank you, Baby." Saga menutup ciuman kami dengan kecupan ke kening gue. "Tapi berhubung gue juga ngerasa nggak enak ke mamah lo, jadi gue pikir, gue harus minta maaf juga ke Tante karena udah bikin anaknya yang manis ini nangis siang tadi."

Penuturannya bikin gue mengangguk paham. "Mau gue panggilin si Mamah?"

"Iya."

"Mamah!" seru gue memanggil. "Saga mau ngomong, nih!"

"O-oh, iya, iya!" Sekonyong-konyong Mamah gue muncul dengan cepat dari balik tembok menuju ke lorong kamar. "Mamah di sini. Ada apa?"

Kedua mata gue jelas melotot kesal ke arahnya. "Mamah sejak kapan ada di situ?"

Si Mamah tersenyum kikuk, nggak berani memandang langsung ke pada gue dan Saga. "Emm, sejak Nak Saga bilang dia kena omel Pak Julius."

"MAMAH! KEBIASAAN BANGET, SIH!"

Dibentak begitu, si Mamah bukannya merasa berdosa, tapi justru makin cengengesan dengan semringah. "Ya, maaf atuh. Habisnya mamah teh kepo. Baguslah kalo kalian udah baikan lagi!" pungkasnya yang bikin gue mendengkus.

"Siapa bilang, Fery masih kesel sama dia, kok!" sangkal gue tanpa melepaskan pegangan tangan si Bangsat. "Tapi berhubung Fery bucin juga, jadi bawaannya mau nempel-nempel terus!" imbuh gue sambil menyandarkan kepala ke bahu cowok gue yang kontan membuat Mamah menjerit kegirangan.

"Ih, meuni gemes! Sok atuh, lanjutin! Mamah gak mau ganggu. Lagian mamah juga nggak ngerasa mesti maafin Nak Saga. Nggak apa-apa. Toh cuma kesalahpahaman, ya. Maklum aja mamah mah."

Kalimat yang Mamah sampaikan jelas nggak bisa gue terima gitu aja. "Mamah harusnya ngomelin dia dong, Mah!" tuntut gue yang membuat si Mamah terlihat bimbang.

"Oh, gitu, ya? Aduh, kudu kumaha?" Mamah menggaruk-garuk kepala sendiri, tampak kebingungan. Selepas itu berkata dengan nada sok galak. "Nak Saga, lain kali jangan nyakitin Fery lagi, ya!"

LEMBEK AMAT CARA NGOMELINNYA!

Terang aja gue mendecak nggak puas. "Udah, ah! Bodo! Males Fery ngomong sama kalian!"

Keluhan gue sontak memunculkan tawa yang menyembur dari mulut Saga dan Mamah.

"Gak usah ketawa kalian!" protes gue. Akan tetapi, gue pun jadi ikut tertular tawa mereka.

Masih sambil menggenggam tangan Saga. Mengagumi wajah tampannya yang menawan. Meresapi sorot mata penuh cinta darinya yang ditujukan hanya untuk gue seorang.

Maafkan hamba, Ya Allah. Karena hamba begitu mencintai makhluk ciptaan-Mu yang satu ini walaupun sadar jenis kelamin kami serupa dan ini merupakan sebanyak-banyaknya dosa. Tapi sungguh, hamba nggak bisa jika harus menjalani sisa waktu di dunia tanpa dia di hidup hamba. Untuk itu hamba mohon, tolong biarkan kami berdua tetap selalu seperti ini.

Saling mencintai selagi mempertahankan keteguhan hati masing-masing tanpa peduli seberapa besar masalah yang kami akan hadapi.

_
__
___
__
_


***ADEGAN YANG TERJADI SETELAH FERYAN MENGAMUK DAN PERGI***

"No, Ryan, wait!"

"Stay right here, kids!" Jimmy sigap menghalangi Saga yang tampak berniat mengejar Feryan. "We need to talk. Especially you!" katanya sembari menatap Adam yang berdiri dengan gugup, diikuti oleh Saga kemudian.

"That's right, Adam!" Pemuda paling muda di antara mereka bertiga itu menghampiri Adam dengan sorot mata berang. "What the hell was that? Apa yang sebenarnya udah elo lakukan sampe bikin Ryan marah hebat begitu, hah?" bentaknya yang lalu memegangi pipi sendiri. "This is the first time I saw him get so angry at me like that. Even he's slap me so hard it feels like a dream. Ryan yang gue tau mustahil marah seperti itu kecuali ada hal yang betul-betul menghancurkan perasaannya. Tell me! What did you do to him?" tuntutnya yang semakin membuat Adam merasa tersudut.

Jakun Adam naik turun saking kalut. "No, wait. Ah, gue bingung gimana cara ngejelasinnya."

"Jelaskan aja cepat. Gak usah kebanyakan bingung karena mas yakin kamu sadar sepenuhnya terhadap tindakan kamu sendiri, Adam!" timpal Jimmy yang kini berdiri di hadapan Adam, bersebelahan dengan Saga. Kompak menyorotkan pandangan tidak sabar. Menagih penjelasan apa pun yang kesulitan Adam ungkapkan.

Agak terbata-bata Adam memulai, "I-itu, euh ... gue sempat bilang ke Feryan, bahwa selera elo yang sekarang malah suka ke dia dan ngejadiin dia pacar patut dipertanyakan, Saga."

Mata sipit Saga sontak membelalak tak percaya. "WHAT THE FUCK?"

Adam meneruskan, "Gue juga bilang ke dia kalo kalian keliatan nggak bahagia. Terus gue ngedeketin dia karena--"

"Elo mau ngajak dia PDKT? Yes! Ryan udah cerita itu tadi malam. Terus, apa lagi?" potong Saga semakin tidak sabar.

Adam meneguk ludahnya susah payah lantaran takut. "Tadi pagi, saat gue mengajukan keluhan soal Feryan. Sebetulnya itu terjadi bukan tanpa sebab."

Tangan Saga kali ini menarik kerah kemeja Adam. "Apa yang udah elo lakukan, Adam?"

"Gue ... nanya ke dia apakah tadi malam kalian berakhir tidur bareng."

Pengakuan itu lagi-lagi mengejutkan Saga yang spontan menjerit tak terima. "WHAT?"

Kemudian Adam menyambungkan dengan suara yang agak gemetaran, "Lalu gue bilang ... Ataukah gagal karena elo yang kehilangan mood gara-gara wajah Feryan yang ... so not sexy."

BUGH!

Pegangan Saga pada kerah Adam terlepas dikarenakan tubuh tinggi sepupunya itu tersungkur seketika setelah Jimmy melayangkan tinju. Mengenai pipi Adam yang kontan menjadikan tepian bibirnya berdarah.

"ADAM! KAMU BETUL-BETUL NGGAK PUNYA ADAB, YA!" bentak Jimmy murka setelah itu menghajar Adam sekali lagi di wajahnya.

"Ampun, Mas! Ampun! Gue bilang begitu nggak ada maksud apa--"

"BUT YOU'RE BEING SO DISRESPECTFUL TO HIM, ADAM! YOU FUCKING ASSHOLE!" maki Saga dengan kedua tangan mengepal. Meredam amarah dari ingin turut menghajar Adam di bawah sana. "Oh, God. What the fuck! Damn! Elo bilang bahwa elo cuma akan bikin dia kesal dan ngegodain dia. Tapi kenapa elo harus ngerendahin dan menghina Ryan dengan cara seperti itu, hah?" hardik Saga sambil mengacak-acak rambutnya, panik sendiri.

"So-sorry!" Adam berteriak dan merintih. "Gue bener-bener nggak bermaksud. Gue--"

BUGH!

Jimmy meninju keras bagian hidung Adam. Membungkam kalimat yang hendak sang adik katakan. "Masih nggak ingin mengakui kesalahan kamu, ya? Harus berapa kali mas hajar sampai kamu akhirnya menyadari letak kesalahan kamu di mana, hmmm? Adik nggak tau diuntung!" Jimmy lalu berdiri. Mengempaskan tubuh Adam ke lantai yang hidung dan mukanya telah mengucurkan darah. "Mas izinkan kamu datang ke Jakarta, menetap di rumah Saga, bukan semata-mata supaya kamu bisa bersikap semena-mena, Adam! Tapi tololnya kamu malah membuat masalah bahkan menyakiti perasaan sosok penting dari pemilik rumah yang sedang kamu tumpangi!" Satu tendangan pelan Jimmy layangkan ke kaki kiri Adam. "Dasar anak bodoh!"

"Ampun, Mas! Ampun! Tolong, maafin gue!" mohon Adam seraya memegangi wajahnya yang tersiksa sakit luar biasa.

Jimmy berkacak pinggang dengan napas yang tak beraturan. "Mas nggak butuh maaf kamu! Jika kamu emang ingin dimaafkan, yang harus kamu lakukan adalah meminta maaf pada Feryan! Dia yang lebih butuh itu dibanding siapa pun. Dan kamu juga, Saga!" Sang adik sepupu gantian dihadapinya. "Sudah tau sifat usil Adam itu bagaimana. Lantas kenapa kamu bisa dengan mudah mengizinkannya berbuat sesuka hati kepada Feryan, sih?" tanyanya berupa keluhan.

Tidak ditanggapi sama sekali oleh Saga yang justru menerawang. Pikirannya tertuju ke tempat lain. Pada seseorang yang dia sadari hatinya telah disakiti teramat sangat.

Pemuda ini berdeham, kemudian mengibaskan tangan. "Can you both ... just leave me alone here?"

Jimmy menghela napas dan mengangguk paham, sesudah itu menendang Adam sekali lagi. "Keluar kamu! Dan obati luka kamu sendiri! Nggak usah manja!" gertaknya pada Adam yang segera berdiri sambil terus-menerus merintih. Lalu menepuk bahu Saga satu kali. "Jika kamu sudah tenang, kembalilah ke dapur segera."

Sepeninggalan mereka berdua, Saga langsung jatuh terduduk di lantai. Gemetaran. Kedua tangannya digunakan untuk menarik helai-helai rambutnya sendiri sekuat tenaga selagi dia menggigit bibir sekencang-kencangnya. Demi mengganti rasa sakit dari bayangan ketika dia mengingat air mata Feryan yang menetes dengan begitu pilu. Disertai sorot sedu bercampur terpukul yang sungguh menyesakkan.

"Oh, God. What have I done? I must've hurt him so bad it feel so awful," gumam Saga resah sendiri dan terus meracau. "Mom, your son here is being such a jerk. What should I do?"

Pemuda berusia 18 tahun itu mendesah panjang bersamaan dengan air mata yang mulai menggenang di sudut mata. Mencela perilaku Adam habis-habisan. Mengutuk kesalahan mereka yang pasti telah menyakiti sosok pemuda yang dicintainya terlalu dalam. Berpikir tentang betapa banyak luka yang Feryan rasakan dari sebuah izin yang secara bodoh Saga berikan untuk Adam.

"Ryan, I'm really sorry! I'm so sorry! I'm so sorry to hurt you!" ucap Saga. Menenggelamkan kepalanya sendiri di antara lutut sambil menumpahkan tangisan tertahan.

Setelah merasa sedikit tenang, Saga kembali duduk di meja kerjanya. Berkali-kali membuka dan mengunci layar ponselnya yang dipasangi gambaran wajah sang kekasih yang tengah tertidur. Mengklik daftar kontak terpenting, untuk menatap lama pada nama My Stupid Ryan 💛 di sana. Selepasnya menggeser layar ke bawah, memutuskan memanggil satu nomor lain yang lebih berani dirinya hubungi.

"Halo, Nak Saga?" Suara Desyana menyahut dari seberang yang kian menjadikan perasaan bersalah Saga bertambah.

"Tante, maaf," desis Saga yang bahkan tak sanggup memegangi ponselnya dengan benar saking gemetar. "Eum, Saga mau minta sesuatu, Tan. Nanti tolong Tante suruh Ryan untuk makan, ya. Karena dia belum sempat makan siang di kafe. Dan minta maaf karena harus meminta Tante melakukan ini. Saga ... maafkan Saga, Tante," imbuhnya mengungkapkan, Karena belum bisa jadi pacar yang baik untuk anak tante. Batinnya bicara.

"Iya. Nanti tante bilangin ke Fery, ya."

"Tolong, nggak usah bilang apa-apa ke Feryan soal ini ya, Tan."

"Kenapa?"

Tidak ada jawaban.

Dan menyadari Saga yang terus diam, akhirnya Desyana hanya menghela napas tanda maklum. "Ya udah, kalo Nak Saga nggak mau ngomong. Pokoknya, tante pasti bakal ngingetin Fery makan, ya. Nggak usah khawatir."

"Makasih banyak, Tante. Kalo gitu, Saga mau kembali bekerja, ya."

"Iya, Saga. Yang semangat kerjanya. Gak usah terlalu khawatir sama Fery, ya. Serahin aja sama tante selaku mamahnya."

"Iya, Tan. Makasih sekali lagi." Panggilan diakhiri dengan Saga yang terus terpaku memandangi potret wajah Feryan di layar ponselnya. "I'm sorry to disappointed you, Baby. I hope you'll be fine."

.

"Mau ke mana kamu?" Jimmy menarik kerah belakang kemeja Adam. Mencegah sang adik masuk ke dalam rumah. "Jangan harap kamu bisa masuk sebelum kamu meminta maaf pada Feryan dan menjelaskan semuanya."

"T-tapi gue mau mandi, Mas!" rengek Adam sembari terus memegangi hidungnya yang nyeri.

"Siapa peduli!"

Dibentak demikian oleh sang kakak, nyali Adam menciut seketika. Jadi, dia berlari pada sang adik sepupu. "Saga?"

"Apa?" Saga mendelik sengit. "Elo mau minta gue hajar juga?" Setelah menghardik Adam begitu, dia lanjut berjalan masuk ke dalam dengan langkah lesu.

"Akhirnya kalian pulang."

Suara dari sosok yang amat dikenalinya membuat Saga menegakkan kepala. Mendapati sang ayah sudah saja berdiri tegak di ruang depan kediaman mereka di samping Jimmy yang telah lebih dulu masuk.

"Dad?" Saga segera menghambur ke pelukan ayahnya, Julius Fransiskus. "Wha--Daddy pulang kenapa nggak bilang-bilang?"

"Ada yang harus daddy bicarakan dengan kamu. Juga Adam," jawab Julius kemudian duduk kembali di sofa. "Di mana dia, Jim? Tolong bawa Adam kemari."

Jimmy DeAngelo Fransiskus mengangguk patuh. "Sebentar, Om. Biar saya panggil dia dulu."

"Dad?" Saga ikut duduk lalu ragu-ragu bertanya, "Apa Daddy udah tau soal--"

"Kita tunggu Adam bergabung di sini dulu. Baru kita bicara, Saga."

Serta merta Saga tak mampu membantah perkataan itu. "Okay, I understand."

"Om Julius!" Adam yang akhirnya datang lekas berlari menghampiri sosok sang om.

"Apa yang terjadi pada kamu, Adam?" Yang kontan keheranan melihat wajah sang keponakan yang terlihat babak belur.

"Saya yang menghajarnya, Om." Jimmy mengakui perbuatannya itu tanpa beban. "Nggak apa-apa. Sesekali seorang kakak boleh memberi adiknya pelajaran, 'kan."

Julius memandang ngeri. "Tapi seharusnya kamu nggak perlu menghajar Adam sebrutal ini, Jim. Kasihan dia." Wajah bonyok Adam diperhatikannya dari kanan dan kiri. "Meski yah, untuk yang kali ini, kamu memang pantas mendapatkannya, Adam."

Kedua mata Adam membelalak tidak percaya saking tertohok menangkap komentar omnya. "Om?"

"Duduklah, Adam. Ada yang ingin om bicarakan kepada kalian."

Adam menurut. Agak sungkan, dia duduk di dekat Saga yang langsung saja menjauhi posisinya karena masih merasa kesal.

"Feryan sudah menceritakan semuanya."

Kalimat yang Julius sampaikan sesuai dugaan Saga. Jadi, secepatnya dia buka suara. "Dad, please listen. I really--"

"Don't make excuse, Saga. Karena semua ini bisa terjadi jelas-jelas berawal dari kesalahan kamu sendiri!"

Bentakan sang ayah membuat Saga langsung bungkam. "I'm sorry."

Julius lantas menatap berang putra semata wayangnya. "Sejujurnya, daddy nggak memahami jalan pikiran kamu, Saga. Bagaimana bisa, kamu membiarkan seseorang terus mempermainkan perasaan orang yang kamu sayangi?"

Saga tertunduk. Tidak berdaya untuk menyahut sebab memang menyadari kesalahannya.

"Apa kamu tahu, betapa malu dan sedihnya daddy ketika mendengar cerita dari Feryan yang menumpahkan keluh kesahnya dibarengi tangisan?" tanya Julius menyambungkan, "Untuk pertama kalinya, daddy mendengar seorang Feryan menangis sesenggukan tepat di telinga daddy sendiri. Dan tebak siapa biang keladinya? YOU!" Wajah sang putra ditunjuk dibarengi bentakan. "Kamu, anak daddy satu-satunya, Saga, yang merupakan kekasih dari Feryan. Sosok yang paling Feryan percayai, Feryan cintai dan Feryan selalu berusaha bahagiakan, tetapi kamu secara nggak tahu diri justru berani mempermainkan dan menyakiti perasaannya. Apa kamu bahkan masih pantas disebut dan dianggap kekasih oleh pemuda sebaik Feryan?"

Saga tetap diam karena tahu setiap kata yang dilontarkan sang ayah berisi kebenaran yang tak mampu disanggahnya.

"Izinkan daddy bertanya. Saga, apa kamu serius mengenai hubungan yang kamu miliki dengan Feryan?"

Kali ini Saga mengangkat kepala demi menjawab tanya sang ayah. "Tentu aja Saga serius, Dad!"

Julius menyipitkan mata, berlagak meragu. "Lalu kenapa, kamu membiarkan begitu aja ketika seseorang datang dan mengganggu sosok yang kamu sayangi secara terus-terusan? Hmm?"

"O-Om, untuk yang satu itu, biar Adam yang menjelaskan. Karena ini sungguh bukan salah Saga!" Adam menimpali yang semata-mata mendapat penolakan dari Julius yang menggelengkan kepala.

"Terima kasih, Adam. Tapi kamu nggak harus melindungi adik sepupu kesayangan kamu ini."

"Ng-nggak, Om. Adam serius!" tukas Adam tetap berusaha meyakinkan Julius. "Ini bukan salah Saga. Dia hanya tau bahwa Adam bermaksud menggoda Feryan. Makanya Saga mengizinkan gitu aja. Tapi Adam ... yang mengacaukan semuanya dengan malah ..."

Julius menunggu kelanjutan penjelasan Adam dengan ekspresi heran. "Kenapa berhenti?"

Adam meneguk ludahnya. "Maaf, Om. Karena Adam sempat mengatakan banyak hal yang keterlaluan pada Feryan. Adam sungguh-sungguh menyesal. Adam minta maaf, Om. Ampun!" Dia menyatukan kedua tangan, tak sanggup untuk sekadar menyebutkan rentetan kesalahannya di depan Julius.

Yang kini menatapnya cukup intens. "Izinkan om bertanya pada kamu, Adam." Julius berdiri. "Jika kamu berada di posisi Feryan, ya. Bayangkan, kamu bertemu orang baru. Orang yang baru sekali kamu temui dan kenal yang lalu secara lancang langsung aja mencampuri urusan pribadi kamu. Mengecap kamu buruk karena dianggap nggak seksi yang dengan kata lain; direndahkan secara terang-terangan. Kemudian dia juga pernah berkata bahwa selera pacar kamu harus dipertanyakan, sebab bisa-bisanya memiliki sosok pacar yang seperti kamu. Coba pikirkan. Bagaimana perasaan kamu, Adam?"

Adam tak bersuara. Memilih diam, menggantungkan tanya dari sang Om yang kontan menegurnya keras.

"AYO, JAWAB! Saat seseorang sedang bertanya, kamu wajib menjawab pertanyaan mereka, Adam. Jangan diam aja!"

"Adam pasti marah, Om!" ujar Adam menyerukan jawaban.

"Apakah kamu akan menghajar orang yang mengatakan itu pada kamu?"

"Iya, Om."

"Sejak awal sekalipun kamu nggak sedang diuji kesabarannya oleh mereka, 'kan?"

"Betul, Om."

Julius tersenyum masam. "Jadi, kesimpulannya adalah ... kalian berdua sungguh luar biasa jahat." Adam dan Saga dilirik bergantian. "Kalian yang begitu tega menyakiti perasaan Feryan. Dia yang baru berani menunjukkan kemurkaan dan menampar kalian tepat setelah dia mengetahui kebenarannya. Jika saya yang berada di posisinya, nggak peduli mau kamu sepupu bos ataupun anak bos saya, Adam, om pasti sudah akan menghajar mulut lancang kamu."

"Ampun, Om!" Adam langsung berlutut di hadapan Julius saking takut. "Adam sadar ini semua emang salah Adam."

"Kamu sadar ini salah baru setelah kamu mengetahui bahwa Feryan malah berakhir tersakiti. Iya, 'kan? Berdiri!" Julius lantas berhenti tepat di dekat posisi sang putra. "Dan lagi, Saga?"

"Iya, Dad?" Saga mendongak, merespons panggilan itu.

"Kalau keseriusan kamu terhadap Feryan hanya sebatas ini, daddy sarankan, sebaiknya kamu putuskan aja hubungan kalian. Because Feryan doesn't deserve someone like you. Bahkan menurut daddy, kamu nggak pantas menemui dan memilikinya lagi."

Kedua mata Saga seketika berkaca-kaca. "No, Dad. Please, no. You know that I can't live without him."

"Maaf, Om. Izinkan saya bicara." Jimmy mendadak mengangkat tangan, menginterupsi. "Menurut saya, sebagai seorang ayah, nggak sepatutnya Om mencampuri urusan asmara anak om. Dan Om juga nggak berhak mengatur Saga untuk putus atau bertahan menjalin hubungan dengan pacarnya. Semua itu kembali ke pilihannya sendiri mengingat putra om bukan anak kecil lagi," ungkapnya menyuarakan pendapat diakhiri anggukkan satu kali. "Itu aja yang ingin saya sampaikan. Sekian."

Senyum Julius mengembang sesudah mendengar penuturan sang keponakan. "Terima kasih sudah bantu mengingatkan om, Jimmy. Karena ucapan kamu sangat tepat. Itulah kenapa, kamu Saga, sebagai seorang laki-laki yang sudah berani bicara mengenai keseriusan hubungan dengan sosok yang kamu cintai, harus lebih peka. Sedapatnya hindari dan jangan melakukan hal-hal yang akan membuat kamu berpikir; "Oh, pacar gue nggak akan suka hal ini!"  Sesederhana itu, kok. Sebab selaku kekasih Feryan, kamu sadar sepenuhnya bahwa kamulah orang yang seharusnya paling mengenal dan memahami dia, Nak," sambungnya menasehati panjang lebar.

Ditanggapi oleh Saga dengan gerak kepala tanda mengerti. "Saga paham, Dad. Saga minta maaf karena udah membuat kesalahan fatal dan malah mengecewakan kalian berdua. I'm so sorry." Dia kemudian berdiri untuk berpelukan dengan sang daddy.

Julius menepuk-nepuk pundak Saga lembut. "Ingat selalu pesan daddy, ya. Kamu, jagalah perasaan Feryan sebaik-baiknya. Sebagaimana cara Feryan yang selalu berusaha menjaga perasaan kamu. Jangan coba-coba patahkan kepercayaan yang telah Feryan dan Bu Desy berikan pada kamu, pada kita. Apalagi daddy tau seberapa besar rasa cinta kalian untuk satu sama lain, maka dari itu, daddy selalu mengharapkan yang terbaik bagi kalian berdua." Pelukan dilerai untuk lanjut mengutarakan, "Daddy nggak ingin hal seperti ini sampai terjadi lagi, Saga. Jangan kecewakan daddy lebih dari ini. Daddy minta pada kamu, ya?"

Saga menunjukkan senyuman. "Saga mengerti, Dad. Terima kasih karena Daddy nggak pernah bosan mengingatkan Saga."

"Daddy sayang pada kamu. Jadi mustahil daddy akan bosan menasehati kamu. Cuma kamu satu-satunya anak yang bebas daddy beri nasehat secerewet ini, 'kan." Julius ikut tersenyum. Lalu gantian mengerling Adam. "Dan Adam?"

"Iya, Om?"

"Kamu paham apa yang harus dilakukan mulai sekarang, 'kan? Jangan. Pernah. Membuat. Masalah. Lagi. Nggak ke siapa pun, terutama jika menyangkut orang-orang yang penting bagi om, termasuk Saga dan Feryan. Apa kamu mengerti?"

"Siap, Om! Adam ngerti!"

"Good." Julius tampak puas, setelah itu mengecek jam di pergelangan tangannya. "Daddy punya waktu satu jam lagi sebelum kembali ke lokasi syuting. Ayo, kita makan malam bersama."

"Adam boleh ikut 'kan, Om?"

"Tentu aja, Adam. Ayo."

Namun sebelum lanjut melangkah, lebih dulu Julius mengingatkan, "Dan jangan lupa, minta maaflah pada Feryan dengan cara terbaik kalian, Saga, Adam. Kalau nggak, jangan harap kalian bisa tetap tinggal di rumah ini. I mean it."

Saga dan Adam sontak berbagi pandangan gamang. Dengan batin yang kompak berkata; bahwa mereka akan secepatnya menyelesaikan masalah ini.

TOLONG BACA INI, GUYS! URGENT!

Jadi, sebetulnya isi BAB 70 ini nggak selesai sampai di narasi ... kami akan hadapi aja, melainkan ada lagi adegan endehoy semlehoy antara Saga dan Feryan yang seharusnya terjadi lantaran Feryan yang menghukum Saga dengan tema seks: "Gue yang gerak dan ambil kendali. Tugas elo diam, gak usah banyak bacot!" 🤣

Ada yang bisa membayangkan seberapa menyiksanya hukuman itu untuk seorang seme super barbar seperti Saga?

Tapi karena isi bab utamanya aja udah
kebanyakan, jadi aku memutuskan untuk nggak mengetik adegan itu dulu. Dan kalo pun kepengin aku buat, kayaknya aku nggak bakal menyebarluaskannya secara cuma-cuma alias kalian harus bersedia membayar.
<( ̄︶ ̄)> NGAHAHAHA!

Itu juga kalo kalian pengin dan penasaran, ya. Jika nggak mau, ya nggak apa-apa. Biar aku simpan adegan mesum-mesuman versi dominant! Feryan di dalam kepala sendiri. ಡ ͜ ʖ ಡ Aku nggak bakal rugi apa pun, kok. ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

Jika ada komentar serta pertanyaan terkait adegan yang kumaksud di atas, silakan tulis aja di sini, ya.
Jangan sungkan. (≧▽≦)❤️

Tapi kalo kalian nggak peduli, abaikan aja nggak apa-apa, kok. (◕ᴗ◕✿)🌈

Dadah~~~
Trims atas perhatiannya. ( ˘ ³˘)♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com