71. PENGUNJUKAN
Halo~
Long time no update, Seyeng-seyeng sekalian. Udah hampir sebulan, ya?
Adakah yang kangen ke aku dan SagaRyan?
Adakah yang masih setia menunggu lanjutan kisah mereka?
Atau kalian justru menantikan kabar mengenai PDF Another POV SBKB#2?
Maaf mengecewakan, tapi pengerjaan Another POV SBKB#2 terpaksa aku tunda--atau mungkin, bakal dibatalkan, disebabkan kesibukan aku yang semakin banyak di RL. Selama satu bulan belakangan ini, sibuk aku mendadak makin banyak aja. Pagi ngantar anak sekolah, siangnya mereka sekolah agama, belum lagi harus ngerjain kerjaan di rumah. Ditambah ada saudara yang ngadain acara, anak saudara yang sakit dan harus dirawat di klinik, bolak-balik pergi ke sana-kemari, dan selama lebih seminggu lalu anakku sekaligus keponakanku pada sakit juga. Bocilku rewel, selalu minta ditemani. Alhasil aku jadi kurang tidur dan kurang bersemangat setiap mau ngapa-ngapain--cucian bajuku aja udah numpuk dua minggu, tuh. Termasuk menghancurkan juga segala inspirasi aku yang berisikan macam-macam POV dari tokoh SBKB--Kecuali POV Yellow dan Saga yang dialognya udah selesai diketik.
Iya, cuma dialognya.
"Jadi, PDF-nya belum ada yang selesai?"
Sedikit kabar baiknya, bahwa aku berhasil menyelesaikan satu PDF yang merupakan lanjutan BAB 70 yang aku beritahukan melalui update terakhir bulan lalu.
Berisi 2900 kata yang 80% diisi oleh adegan slebew plok-plak-pluk antara Saga dan Ryan. Yang bakal aku jual untuk kalian yang ingin membelinya. Dengan harga suka-suka kalian aja.
"Kok suka-suka?"
Iya. Karena sejujurnya aku sedang sangat butuh uang, tetapi aku justru gagal berjualan. Makanya, aku pasrahkan pendapatan aku di tangan kalian selaku pembaca. Jika ingin membeli PDF itu dengan harga 1000, ya silakan. 2000 juga boleh. 5000, 10.000 bahkan 100.000 pun boleh. Harga mana aja yang kalian mampu bayar, maka akan aku ganti beri PDF Hukuman Salah Sasaran.
"Beli pake harga 1000-2000 emang bisa?"
Bisa, Seyeng. Kamu transfer lewat shopeepay kamu untuk dikirim ke shopeepay aku. Atau mungkin lewat DANA juga bisa--aku kurang sering pake DANA, sih.
Namun, sehubungan dengan SBKB#2 yang telah mencapai 100k reads, aku bakal ngasih PDF Spesial ini secara cuma-cuma untuk satu pembaca beruntung yang bisa bantu jawab dan nebak apa yang terjadi diakhir BAB 71 ini. Makanya, silakan dibaca sampai selesai, ya.
Lalu kepada mereka yang siapa tau berminat dan penasaran kepengin baca dan membelinya, boleh silakan hubungi aku langsung melalui DM atau WA 082298595785.
Tapi kalo nggak minat, ya nggak apa-apa juga. Sayang juga duit kaliannya. (╥﹏╥) Kalo harus dipake untuk beli PDF sebanyak 13 halaman doang demi ngasih aku tambahan uang. WKWKWKWK
Sebenarnya aku juga berat mengambil keputusan ini. Kecewa juga ke diri sendiri yang lagi-lagi gagal berjualan dikarenakan terkendala capek dan kesibukan saat sadar aku beneran butuh penghasilan. Tapinya, ya udahlah. Udah nasibnya begini lagi. Jadi, mau gimana lagi, 'kan?
Maaf juga, andai update BAB 71 ini mungkin akan mengecewakan. Karena aku beneran sedang capek dan pusing, tapi aku nggak punya hiburan terbaik selain dari menulis kisah BL para tokohku. Doain aja aku akan mulai lancar-lancar menuliskan kisah mereka lagi sejak dari sekarang.
Sisanya, lanjut di bawah. Sekarang, biar kalian baca-baca BAB 71 dulu.
Happy reading!
__
___
____
Gue menguap cukup lebar. Sambil duduk di atas motor yang tengah dipanaskan, bersiap berangkat ke tempat kerja dengan cuaca mendung yang terpampang nyata di atas kepala.
Ya Allah, tolong jangan sampe gue kehujanan, deh. Nggak mau sampe hujan turun juga. Soalnya hari ini gue gajian dan rencananya kepengin beli makan enak pake uang sendiri. Sesekali.
"Fery, jas hujan udah dibawa, 'kan?" tanya Mamah seraya membetulkan kerah jaket yang gue pakai.
Gue mengangguk pada Mamah. "Ada di jok motor kok, Mah. Tenang aja." Lalu tangannya gue cium. "Fery berangkat ya, Mah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati."
Gue membetulkan masker, selepasnya mulai melajukan motor. Menyapa dibarengi membunyikan klakson ketika berpapasan dengan Bu Jamilah yang kayaknya baru pulang dari warung, juga beberapa tetangga yang menyahut menanyai gue di sekitaran jalan gang rumah. Pemandangan berisi basa-basi yang udah biasa.
"Fery, berangkat kerja?"
"Mau berangkat kerja, ya?"
"Baru berangkat?"
Atau yang paling ngeselin, "Mau ke mana?" saat jelas-jelas dia tau bahwa gue bakal berangkat kerja. Andai gak ingat sopan santun, pengin aja gue ngejawab, "Mau gabung sama kelompok begal biar bisa ngebacok elo nanti."
Lagi-lagi, gue menguap. Ya Allah. Ngantuk amat, sih. Padahal gue tidur sampe lewat jam 10, santai-santai lebih lama di atas kasur berhubung minggu ini gue masuk shift siang. Tapi tetep aja hawanya masih ngantuk. Mungkin karena tadi malam gue jalan sama si Bangsat sampe lewat jam 12 kali, ya.
Ngapain?
Nemenin dia futsal, main bowling sampe karaokean. Barengan sama Setya, Dyas dan Zyas juga. Meski akhirnya mereka pulang duluan karena Setya yang numpang di mobil si kembar nggak dibolehin pulang di atas jam 10 oleh kedua ortunya. Sekalian kami juga video call barengan Vano yang mengaku kesepian karena di sana dia nggak bisa ngumpul bareng kami. Bahwa kawan-kawan yang dikenal di Amerika nggak semenyenangkan kami yang mampu memahami watak ajaibnya. Dan tentu aja, keluhan yang nggak pernah ketinggalan Vano ucapkan.
"Nama orang-orang di sini pada susah gue ingat. Apalagi nama salah satu dosen gue ada yang mirip sama merk snack. Doritos."
Seketika gue membayangkan jika dosen Vano wujudnya mirip dengan jagung.
"Dorothy kali maksud elo," celetuk Dyas yang ternyata menyimak juga walau sedari tadi terlihat sibuk bersaing bareng Saga di arena permainan bowling. Dengan Zyas yang berperan menjadi wasit sekalian merekam pertandingan ala mereka.
"Mungkin? Gue nggak peduli," ujar Vano yang bikin Setya dan gue saling pandang maklum.
"Tapi bukannya di sana elo juga punya kenalan orang Indo?" tanya gue pada bule siangan tiang listrik yang tengah berbaring bersama teman sekamarnya yang merupakan seekor anjing.
Anjing pemberian Kak Armet yang membelinya sewaktu dia turut mengantar sang adik ke California. Namanya Doggo.
"Iya, sih. Tapi hobi dan jurusan kami beda. Karena dia calon arsitek dan kerjaannya membahas sejarah pembangunan gedung-gedung di dunia. Does he think I have fucking interest on that?"
Gue dan Setya kompak menertawakan Vano yang betul-betul tampak nggak tertarik. Jangankan ngebahas gedung di dunia, dia nonton video tutorial masak nasi di Magicom aja berujung bosan. Ini Kak Armet yang bilang.
"Lagian elo ngapain nimbrung obrolan kami, sih? Sana, pergi! Gue cuma mau ngeliat muka Febri!" keluh Vano dan berakhir mengusir gue.
Emang dasar bule kambing songong!
Nggak tau aja dia bahwa gue menyaksikan interaksi LDR mereka tuh untuk dijadikan contoh kalo semisal gue bakal mulai berjauhan sama si Bangsat yang harus kuliah ke UK nanti. Walau yakin, LDR yang kita lihat dari pengalaman orang lain tetep bakal terasa berbeda jika udah mengalaminya sendiri.
Zyas juga semalam cerita bahwa Sabtu lalu Benjo mengajaknya menonton film Dune di bioskop. Kemudian nggak sengaja berpapasan dengan Kak Armet yang juga sedang kencan bareng Mas Nandran. Yang mana setau gue, hubungan Kak Armet dan Mas Nandran emang bakal dibawa ke jenjang serius. Toh kedua belah pihak keluarga mereka pun udah ketemu dilihat dari postingan Instagram Kak Armet beberapa bulan lalu. Sedangkan untuk Zyas sama Benjo, Zyas mengaku dia masih harus menyakinkan hati karena belum sepenuhnya mampu mempercayai mantan ketua kelas gue itu. Nggak beda seperti adik kembarnya.
Apa pun itu, gue mengharapkan aja yang terbaik buat mereka semua, deh.
Sesampainya di L-Laurens setelah mengambil cucian di tempat laundry, gue lekas masuk untuk merapikan seragam kerja dan berganti sekalian. Lantas segera berjalan menuju ke ruang makan pegawai. Disambut oleh semua orang yang udah bersiap menyantap makan siang, kecuali cowok gue sendiri. Loh, dia pergi ke mana?
"Saga sedang ada urusan mendadak," desis Kak Jimmy memberitahu seolah mengerti kebingungan gue.
Tumben.
Gue lalu membantu Kak Jimmy membagikan menu dessert hari ini berupa puding susu dan buah semangka. "Pergi ke mana, Kak?" tanya gue.
"Kata Saga sih, rahasia."
Jawabannya sungguh mengecewakan. Udah macam apaan aja sok main rahasia-rahasiaan.
Setelahnya, gue duduk di antara Mbak Tiara dan Kak Mala yang sama-sama tengah memainkan HP. Seperti biasa, Kak Mala pasti akan menghubungi sang ayah yang bertugas mengantar jemput kalo dia kerja shift pagi. Sedangkan bagian shift malam jatah menjemput dilakoni oleh tunangannya. Sementara gue lihat Mbak Tiara sibuk menonton video di beranda TikToknya.
Kak Jimmy menyusul duduk di samping Affandi yang udah mulai makan. "Makanya, berhubung hari ini Saga sedang nggak ada, saya mau meminta sedikit bantuan kamu untuk turut sibuk di dapur bersama saya dan Affandi, Feryan. Tentunya setelah pekerjaan kamu selesai."
Mendengar permintaan itu, bikin gue urung menyantap perkedel kentang saking kaget. "Tapi 'kan saya nggak bisa masak."
"Kami taulah, Fer," respons Affandi dengan senyuman geli. "Elo cuma perlu bantu-bantu ngambilin menu pesanan dari mejanya Mbak Tiara aja. Sama yah, nyuci sayur, terus bawain pesanan dessert pelanggan ke meja mereka--kalo nanti udah mulai rame. Nggak beda kayak biasanya, kok."
Penjelasan itu membuat gue manggut-manggut. "Oh, iya, iya. Bisa kalo itu mah," kata gue yang lalu mulai makan. Menu hari ini adalah sup sayur daging dan perkedel kentang.
"Kalo Feryan yang masak, bisa-bisa L-Laurens dapat spam bintang satu dari para pelanggan." Celetukan Mbak Tiara nyaris bikin gue tersedak.
"Ditambah minta uang ganti rugi juga." Kak Ersa menimpali.
"Terus dapur kita dapat inspeksi ulang lagi." Affandi juga ikut-ikutan.
Gue mendecak lantas ikut nimbrung, "Habis itu, gue bakal dilaporin sebagai tukang masak nggak becus ke pihak berwajib. Gitu, ya?"
"Hahaha!" Setelahnya, kami semua tertawa serempak termasuk Kak Jimmy yang berakhir geleng-geleng kepala aja menyimak candaan di antara kami.
Selalu menyenangkan setiap kali bercengkrama bersama mereka semua. Sambil makan, santai, berbagi cerita dan gurauan yang macam-macam. Sayangnya, karena di sini nggak ada si Bangsat, jadi tetap berasa kurang.
HARAP MAKLUM! BUCIN GUE EMANG UDAH NGGAK KETOLONGAN!
"Eh, Feryan. Itu apa?" Mbak Tiara yang udah menghabiskan dessert duluan sekonyong-konyong menunjuk ke leher gue.
"Apa, Mbak?" tanya gue yang juga baru selesai memakan puding. Tinggal lanjut makan semangka.
"Itu, ada merah-merah di deket leher elo."
Jawaban dari Mbak Tiara refleks bikin gue menutupi area leher sebelah kiri. "Hah? Yang bener?" tanya gue, kali ini dengan ekspresi cemas bercampur ngeri.
ANJIR! Jangan-jangan tadi malam si Bangsat ninggalin cupangan sewaktu dia menjilat-jilat leher gue sebelum turun dari mobil? Soalnya gue hari ini nggak sempat bercermin sambil telanjang, sih.
"Waduh, waduh! Feryan ternyata diam-diam nakal, ya," ledek Kak Ersa yang disambut tawa cekikikan Affandi yang turut menggoda gue juga.
"Cieee, semalam pasti habis lepas kangen sama pacar."
Gue meringis. Asli malu abis. "Emang beneran ada?" tanya gue lagi, lebih kepada mereka semua yang beneran mengangguk-angguk.
"Ada." Mbak Tiara memberitahu dan bantu menaikkan kerah dari seragam kerja gue.
Seketika gue makin merasa cemas. "Aduh! Keliatan banget, ya?"
"Sekilas sih, nggak. Tapi kalo diperhatiin, ya jelas keliatan. Kami aja baru sadar setelah tadi Tiara bilang," ungkap Kak Ersa yang agak membuat gue lega, tapi tetap kepikiran.
"Mendingan itunya kamu tutupin pake plester aja nanti." Usulan dari Kak Mala cukup bagus juga.
Jadi gue mengangguk setuju. "Iya. Nanti gue taruhin plester aja, deh."
"Terus kalo ada yang nanya itu kenapa, tinggal jawab, 'Ini habis dicakar kucing tetangga'." Mbak Tiara berkelakar yang lagi-lagi memunculkan tawa di meja ruang makan ini.
Sedikit, gue lega karena mereka nggak berusaha mengorek lebih jauh perihal cupang yang gue miliki. Nggak berlaku bagi Kak Jimmy yang pasti udah bisa nebak dan paham, sih.
Lagian si Bangsat ada-ada aja! Pake segala ninggalin cupangan. Mana di titik yang bisa keliatan oleh yang lain pula. Di rumah juga kayaknya si Mamah nggak menyadari hal ini. Atau dia tau juga, tapi memilih nggak bilang? Tck.
Usai menyantap makan siang bersama, gue pun mulai bekerja dengan tugas pertama: mencuci piring bekas makan kami. Tapi sebelum memulai, gue lebih dulu mengecek HP. Hanya untuk menemukan chat dari Saga yang baru sempat gue baca.
Saga Bangsat 😸 :
Semangat kerjanya, Sayang.
Sorry gue lupa bilang bahwa hari ini gue bakal sibuk ngurus sesuatu.
Kita ketemu begitu jam kerja lo udah selesai, ya.
I love you. 💛
Gue menghela napas lesu. Sebagai pacar sekaligus pegawai yang baik, udah tentu gue bakal berusaha tetap semangat sekalipun sumber penyemangatnya lagi nggak keliatan.
Gue:
Yang penting elo jangan sampe lupa ngirimin gaji ke rekening gue nanti. 😗
Semoga urusan lo lancar-lancar.
Gue mau mulai kerja dulu.
Sesudah membalas chat dari si Bangsat, gue pun meletakkan kembali HP ke loker. Lekas berbalik menuju ke dapur dengan langkah mantap. Mari mulakan pekerjaan kita!
.
Gue meletakkan piring terakhir ke rak. Lanjut mengelapi sisa sampah kecil dan kotoran yang menempeli tempat cuci piring, selepasnya mencopot sarung tangan latex. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 lewat sembari menyeka peluh di muka ke lengan seragam kerja. Masih ada sisa satu jam lagi. Di depan kira-kira masih rame nggak, ya?
"Feryan?"
Kepala gue sontak menoleh begitu mendengar panggilan dari Kak Ersa. "Iya, kenapa, Kak?" tanya gue dan menghampirinya. "Kak Ersa butuh bantuan?"
Gadis bernama lengkap Ersamita Hanani ini menggerakkan kepala seolah tengah menunjuk. "Itu, ada yang nyariin di depan. Om-om sama cowok seumuran gue, deh. Ganteng-ganteng juga. Saudara elo, kali."
"Hah?" Pemberitahuan darinya serta-merta bikin gue tercengang.
Saudara gue? Irfan gitu maksudnya? Tapi dia 'kan ada di Bandung dan nggak ada bilang bahwa kepengin datang berkunjung ke sini. Om Bambang juga mustahil bisa dianggap ganteng oleh Kak Ersa selaku fans berat BTS.
Hmmm. Kira-kira siapa yang Kak Ersa maksud, ya?
"Ya udah, Kak. Nanti gue ke depan."
Namun, nggak disangka-sangka, rupanya dua orang yang Kak Ersa maksud tengah mencari gue salah satunya adalah sosok guru Matematika gue ketika SMA.
"Pak Dewa?" sebut gue dengan senyum senang mengetahui akhirnya beliau datang lagi ke kafe ini--pertama dan sekali-kalinya dulu beliau datang kemari di hari pembukaan L-Laurens soalnya.
"Selamat malam, Feryan." Pak Dewa berdiri untuk memeluk gue dengan hangat. "Bagaimana kabar kamu?"
Senyum dan aura baik dari sosok bernama lengkap Dewa Arjun Rahmana ini masih aja melekat. Dengan penampilan sederhana; memakai kemeja panjang biru polos serta celana licin berwarna hitam, pun sandal kulit biasa. Tubuhnya masih segitu-gitu aja--sedikit gemukan sih kayaknya, dengan wajah yang menurut gue tampak semringah. Orang sekilas melihat gak bakalan percaya bahwa pria berkacamata ini sebentar lagi akan genap berusia 40 tahun.
"Kabar saya baik, Pak." Tangan beliau lalu gue beri ciuman sebagai tanda hormat. "Bapak sendiri, apa kabar? Maaf, tadi saya sibuk di belakang. Nggak tau bahwa Pak Dewa datang barengan ..., " Sosok pemuda yang duduk di sebelah Pak Dewa gue lirik segan. "Kakak itu, siapa, Pak?"
"Kabar saya juga baik. Dan dia adalah cucu guru saya, sekaligus murid bimbingan saya dulu." Bahu pemuda dengan wajah agak garang ini Pak Dewa tepuk. "Ayo, perkenalkan diri kamu."
"Halo, Kak. Perkenalkan, Feryan." Gue berinisiatif mengajak berjabat tangannya yang nampak lebih besar. Nggak ubah seperti tangan Saga. Bedanya, warna kulit dia lebih gelap.
"Hai. Nama gue Lanang," ucapnya dengan senyum simpul selagi membalas jabat tangan gue.
Oh, namanya Lanang. Artinya laki-laki, dong. Cocok banget sama wujud dirinya yang sangat-sangat laki. Tubuh tegap nan besarnya tetap terlihat menonjol walau telah ditutupi oleh kaus hitam yang dirangkap hoodie merah marun. Kalo harus jujur, menurut gue dia cakep. Mata bulatnya menyorotkan binar tajam, dengan hidung mancung yang pas mengisi paras sangarnya yang ditumbuhi kumis tipis di sekitaran bibirnya yang berwarna pink tapi kebiruan.
TAPI TETEP LEBIH CAKEP COWOK GUE, YA!
"Saga sepertinya sedang tidak ada di sini, ya?"
Tanya Pak Dewa membuyarkan pemikiran gue terhadap sosok Kak Lanang. "Iya, Pak. Katanya dia lagi ada urusan. Dan emm, apa saya boleh gabung duduk di sini?" jawab gue berujung bertanya sungkan, melirik satu kursi di samping badan.
"Tidak apa-apa memangnya?"
Gue mengangguk pada beliau kemudian menduduki kursi berwarna putih kecokelatan ini. "Nggak apa-apa kok, Pak. Kebetulan jam kerja sebentar lagi selesai," ujar gue seraya melihat menu yang tersaji di meja ini; satu potong cake less sugar yang gue tebak adalah pesanan Pak Dewa, brownis cokelat kukus, talas bogor mini, serta satu piring capcay seafood pedas ditambah nasi yang berada di dekat Kak Lanang, dengan dua botol air mineral sebagai minumannya.
"Jadi bener kata Pak Dewa, bahwa elo lebih milih langsung kerja daripada kuliah?" Kak Lanang bertanya sebelum lanjut melahap capcay pedas pesanannya. Mana santai banget pula cara ngomong dia. Semula gue pikir dia orangnya cuek.
"Iya, Kak."
Dia mengernyit, menunjuk gue menggunakan sendok di pegangan. "Seandainya elo kepengin kuliah, nih. Jurusan mana yang mau elo pilih?"
Jika ditanyai itu, gue akan selalu menjawab, "Mungkin sastra Jepang kali, ya. Karena gue wibu."
"PFFFT!" Kak Lanang refleks menyemburkan tawa tertahan. Reaksi wajar yang bakal selalu orang-orang tunjukan. Udah biasa.
"Feryan, kamu tidak harus terlalu jujur begitu," desis Pak Dewa yang lalu melirik Kak Lanang dengan sorot kesal. "Dan kamu, jangan menertawakan dia. Kamu juga waktu itu pernah menangis hanya gara-gara menonton adegan di anime guru gurita ketika dia menghilang."
KORO-SENSEI, DONG!
"Tapi adegan Koro-sensei emang sedih banget, Pak Dewa!"
"Iya, tuh. Bener!" Gue spontan menimpali perkataan Kak Lanang.
Yang lalu menyambungkan, "Cuma orang-orang nggak punya hati dan perasaan yang nggak nangis sampe habis ingus dan air mata disuguhi adegan itu."
"Setuju, tuh!" cetus gue yang berbagi anggukkan kompak dengan Kak Lanang.
Siapa sangka kami berdua sama-sama ada jiwa wibu baperan. Meski nggak heran jika kami sampai menangisi adegan saat Koro-sensei menghilang di hadapan seluruh murid kelas 3-E. Apalagi begitu suara isak tangis Nagisa mulai terdengar. Efeknya luar biasa bikin hancur berantakan.
Pak Dewa yang melihat kami hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kalian berdua ternyata sama aja. Dasar anak muda."
Gue terkekeh kikuk. "Zaman Pak Dewa muda dulu, kartunnya cuma ada Doraemon kali, ya."
Beliau membetulkan letak kacamatanya. "Saya dulu malah nggak pernah nonton kartun. Karena saya lebih suka menonton dan membaca berita," sanggahnya dan terus memakan kue.
Emang dasar hobi orang pintar tuh beda dari makhluk berotak cetek macem gue.
"Masa muda Pak Dewa ngebosenin banget."
"Jaga bicara kamu, Anak Muda!"
Tanpa sadar, gue tersenyum geli menyaksikan interaksi mereka yang terkesan sangat akrab. "Tapi Kak Lanang ini bukan murid dari SMA gue, 'kan?" Gue memberanikan diri mengajukan tanya yang sejak tadi berputar-putar di pikiran.
Kak Lanang menggelengkan kepala. "Emang bukan. Gue lulusan dari SMA 28."
Jelas aja gue mendelik nggak percaya. Anjrit, yang bener? "Wah! Keren! Kuliah di mana sekarang?"
"UGM!" jawab Kak Lanang dibarengi senyuman.
Sesudah itu ditambahkan oleh Pak Dewa. "Dia adalah calon dokter."
Gila! Makin salut gue, woi. Nggak heran jika dia bisa begitu akrab berteman dengan Pak Dewa walau berbeda usia cukup jauh. Karena pasti pemikiran dan level kepintaran mereka hampir setara.
"Kak Lanang pasti pinter banget."
Komentar gue Pak Dewa yang menanggapi, "Dia sama jeniusnya seperti Setya. Meski mereka berbeda jurusan, sih."
Jurusan di sini maksudnya kelas IPA IPS-nya kali, ya.
"Berarti dia juga lebih pintar dari Saga, dong."
Celetukan gue membikin Pak Dewa menggelengkan kepala kali ini. "Tapi di materi bahasa Inggris, Saga tetap lebih unggul."
"Iyalah, Pak. Saga 'kan bule tulen. Bahasa Inggris udah makanan sehari-hari dia," tukas gue yang sukses memunculkan tawa pelan di mulut beliau.
"Saga ini yang katanya anak artis itu, 'kan?"
"Iya. Juanda Andromano Saga Fransiskus ini adalah anak dari aktor Julius Fransiskus, orang yang kamu sebut Bapak Lampir karena dia selalu memerankan tokoh jahat."
"Bapak Lampir? Hahaha!" Tawa gue menyembur tanpa bisa ditahan seusai menangkap obrolan mereka.
ANJRIT! OM JULIUS PUNYA NAMA SEBUTAN BARU; BAPAK LAMPIR! WKWKWKW!
Astagfirullah! Dosa, Fery! Gak boleh menistakan calon bapak mertua.
Kak Lanang mendelik bingung, lalu mendecak pelan. "Tck, Pak Dewa. Gue diketawain."
Sayangnya, Pak Dewa malah tertular tawa gue. "Kan saya bilang juga apa. Sebutan yang kamu beri untuk aktor Julius itu konyol, Lanang," ujarnya yang membuat Kak Lanang menggerutu dalam diam. Beliau lalu melirik gue. "Tapi kabar kamu dan Saga baik-baik aja 'kan, Feryan?"
Kepala gue mengangguk-angguk cepat. "Iya. Kabar baik, Pak. Alhamdulillah semua juga kabarnya baik. Tadi malam saya 'kan habis jalan sama mereka--Zyas, Dyas, Saga dan Setya. Kecuali Vano yang kuliah di California, jadinya harus diajak video call."
Jawaban diikuti penjelasan gue membuat Kak Lanang agak terkejut. "Jauh banget temen lo kuliahnya," komentarnya disertai gelengan masygul.
Gue nyengir. "Maklum, Kak. Orang tuanya kepengin dia punya riwayat pendidikan yang terbaik."
Cowok yang sekarang ganti melahap brownis kukus manggut-manggut. "Ngambil jurusan apa emang?"
"Manejemen bisnis."
"Oh. Calon pengusaha. Keren-keren." Dia tiba-tiba meringis tertahan. "Andai banyak duit dan gue kuat jauh-jauh dari pacar, gue juga kepenginnya kuliah keluar negeri aja, sih."
Mendapati pengakuan itu, gue jadi merasa makin takjub pada sosoknya. "Kak Lanang pasti bucin banget sampe rela nggak mau kuliah jauh-jauh demi pacar."
"Gitulah." Kedua bahunya terangkat. "LDR Jakarta-Yogya aja udah cukup nyiksa. Apalagi kalo harus LDR lintas benua. Kayaknya bakal nangis gue setiap hari mikirin dia."
Anehnya, Pak Dewa yang mendengar ucapan Kak Lanang justru memutar bola mata. Mungkin menurutnya itu terlalu lebay.
Namun, tanggapan Pak Dewa jelas beda dari gue yang malah menjadi was-was. "Duh, jangan bikin kepikiran dong, Kak. Gue sama pacar gue juga nanti bakalan LDR lintas benua, nih."
Penuturan gue tampak membuat Kak Lanang tertarik. "Pacar lo mau kuliah ke mana emangnya?"
"Ke benua Eropa, Kak."
"Wow! Pacar elo nggak kalah keren juga, dong. Bibit unggul, tuh!" Pujian Kak Lanang semata-mata menjadikan hidung gue mengembang saking merasa bangga.
Pacar gue emang bibit unggul, kok. Tapi andai Kak Lanang tau bahwa pacar yang gue maksud adalah Saga, reaksi dia pasti bakal berbeda.
Eh, itu ngingetin gue ke sesuatu. "Ngomong-ngomong soal pacar, kabar pacar Pak Dewa sendiri gimana?" tanya gue yang bikin Pak Dewa sekonyong-konyong tersedak. "Dua tahun lalu, Pak Dewa cerita kalo kalian udah jalan pacaran satu tahun lebih, 'kan. Masih barengan sampe sekarang?"
"Ya, masihlah!" Kak Lanang yang malah menyahuti tanya gue. "Tambah bucin malah!"
"Lanang!" Pak Dewa memukul pelan bahu Kak Lanang seusai minum air, tampak malu atas apa yang tadi cowok di sebelahnya beberkan.
Mendengarnya gue jadi menyimpulkan sesuatu, "Apa Kak Lanang kenal juga ke pacar Pak Dewa?"
Kak Lanang mengangguk langsung. "Ya, kenal, dong! Malahan deket banget gue sama pacar Pak Dewa!"
"Wah!" Andai gue juga bisa kenal ke pacar beliau. "Jadi penasaran. Pak Dewa 'kan orangnya kalem begini. Kira-kira pacarnya itu kayak gimana, ya?"
"Pokoknya, pacar Pak Dewa tuh cakep, manis, ngangenin, baik, rajin, nggak sombong dan pinter menabung. Iya 'kan, Pak?" ujar Kak Lanang menguraikan yang sekadar disambut anggukkan setuju Pak Dewa yang menunjukkan ekspresi gugup.
"Y-ya, ya, ya. Betul!"
Gue lihat Kak Lanang tersenyum puas, setelah itu dia berdiri. "Gue mau pesen minuman dulu, ya. Kalian ngobrol berdua dulu aja," katanya yang spontan gue dan Pak Dewa respon melalui anggukkan kompak, mempersilakan.
"Oh, iya. Sana."
"Silakan, Kak."
Kak Lanang lekas beranjak dari meja ini untuk menghampiri meja Mbak Tiara yang juga sedang melayani pelanggan lain. Memperhatikan juga Kak Ersa yang tengah membawakan pesanan ke meja di dekat tempat minum. Itu pasti pesanan tambahan karena setau gue mereka udah lumayan lama ada di sana. Betah kali, ya.
"Membahas soal obrolan mengenai pacar saya pada kamu dulu, saya juga jadi teringat curhatan mengenai gebetan kamu, Feryan," ungkap Pak Dewa yang mengalihkan fokus gue ke padanya lagi. "Saat akhirnya seluruh murid di sekolah tau, baru saya sadar bahwa rupanya sosok yang kamu maksud adalah seorang Juanda Andromano Saga Fransiskus," sambungnya dibarengi senyum kecil yang bikin gue malu sendiri.
"Duh! Gak usah diingetin, Pak. Malu, tauk!"
Pak Dewa terkekeh. "Saya bisa memahami hal itu, kok." Beliau menepuk bahu gue laun. "Dan saya senang, karena kamu dan Saga masih langgeng berhubungan sampai sekarang."
Udah baik, pikirannya terbuka lagi Pak Dewa ini. Anak muridnya pacaran sama sesama cowok pun nggak dipermasalahkan oleh beliau. Emang bener-bener sosok guru panutan.
Kalimatnya menerbitkan senyum di bibir gue. "Saya juga seneng karena Pak Dewa masih awet sama pacar Bapak."
Kemudian ekspresi Pak Dewa berubah bingung. "Ngomong-ngomong, jujur saya sedikit merasa aneh jika mendengar kamu berbicara dengan bahasa formal begitu, Feryan. Biasanya kamu 'kan selalu berbincang menggunakan gue-elo. Bahkan pada saya."
Gue tersenyum makin lebar. "Udah jadi kebiasaan sejak kerja di sini, Pak. Tapi kalo ngobrol sama yang umurnya nggak beda jauh sama saya, tetep bahasa gue-elonya keluar, kok," penjelasan gue bikin Pak Dewa mengangguk paham.
"Saya mengerti."
Kak Lanang yang udah kembali ke meja ini tahu-tahu menempelkan milkshake strawberry di pegangannya ke pipi Pak Dewa dan mengejutkan guru kami itu. "Nih, minuman buat Pak Dewa."
Yang diterima dengan sorot heran oleh Pak Dewa. "Saya nggak minta."
"Nggak apa-apa. Biar sekalian," ujar Kak Lanang sambil menyedot milkshake strawberry miliknya, lalu kembali duduk.
Mendadak haus gue ngeliatnya. Nanti kepengin minta dibikinin milkshake juga, ah.
"Kak La--"
"Feryan!"
Seruan Kak Ersa menghentikan gue yang hendak bertanya lagi pada Kak Lanang. Dengan senyum kecut, mau nggak mau gue mulai berdiri dari kursi, "Oh, udah dipanggil. Kalau begitu, saya kembali bekerja dulu ya, Pak, Kak. Makasih karena Pak Dewa sama Kak Lanang telah bersedia mampir di L-Laurens." Nggak lupa, gue membungkukkan badan sedikit. "Lain kali, ajak juga sekalian pacar Bapak ke sini, ya," pesan gue disertai senyuman usil.
Kak Lanang mengangguk-angguk. "Nanti gue pasti ke sini lagi, kok."
"Lanang!" sergah Pak Dewa yang cuma bikin Kak Lanang cengengesan, sesudah itu menatap gue. "Nanti tolong sampaikan salam dari saya untuk Saga dan yang lain. Katakan, bahwa saya sungguh bangga pada kalian semua. Terutama kamu, Feryan." Beliau tersenyum tulus. "Semangat selalu, ya."
Sekali lagi, gue pun membungkuk ke arah Pak Dewa. "Terima kasih banyak, Pak Dewa."
Sungguh. Gue mensyukuri kedatangan beliau kemari selaku sosok yang nggak pernah keberatan untuk dijadikan tempat saling berbagi cerita. Ditambah mengenalkan gue pada orang baru yang luar biasa pula. Semoga kapan-kapan gue bisa berjumpa dengan mereka berdua lagi.
Panjang umur selalu untuk Pak Dewa.
.
Kerjaan selesai. Uang gajian udah masuk. Tapi gue keburu mager ngambil di ATM untuk dipake jajan sekalian saking capeknya. Udah gitu antreannya, cuy. Panjang. Mendingan gue cepet-cepet pulang ke rumah aja buat rebahan. Makannya toh bisa pesen lewat gofood 'kan. I-Banking mempermudah segalanya.
Namun, lelah, ngantuk dan lapar gue hampir aja sirna seketika dikarenakan adanya mobil si Bangsat yang entah sejak kapan diparkir di tepi jalan rumah.
Loh, kok dia malah ada di sini? Pantesan gue tungguin di kafe gak ada munculnya ini orang. Gue pikir urusannya belum selesai.
Motor gue parkirkan. Lekas turun, mencabut kunci, melepas helm juga masker sambil berlari nggak sabar menuju ke dalam. Tersenyum senang mendapati Saga yang beneran ada di rumah. Tampak sedang mengobrol dengan Mamah.
"Assalamu'alaikum!" seru gue mengucap salam yang seketika membangunkan Saga dari duduknya.
"Wa'alaikumsalam, Fery." Mamah membalas lalu menghampiri gue bersama si Bangsat yang berjalan mendekat dengan langkah lebih cepat.
"Akhirnya elo pulang! Sini!" Tas, helm, hingga masker gue diambil olehnya. Selanjutnya, dia membalikkan tubuh gue tiba-tiba untuk kemudian menutupi kedua mata gue menggunakan kain berwarna merah.
Jelas aja gue kebingungan. "Ini apa maksudnya?" Gue berniat menarik lepas kain yang menutupi mata, tapi buru-buru ditepis oleh Saga.
"Gak usah banyak protes. Diem!" titahnya yang hanya mampu gue turuti. Sekarang, pandangan gue menggelap sepenuhnya tanpa ada celah untuk mengintip. "Kalo gitu, saya dan Ryan pamit dulu ya, Tante."
"Iya. Hati-hati di jalan."
Loh, kok Mamah bisa dengan mudah ngasih izin si Bangsat untuk melakukan ini semua ke gue? Jangan-jangan mereka udah bekerja sama? Tapi buat apa?
"Ayo, kita pergi." Si Bangsat merangkul gue untuk mulai memapah gue yang berjalan di sebelahnya.
"Tapi kenapa mata gue elo tutup segala, sih? Kan kalo gak ditutup, gue bisa jalan sendiri!" tanya gue dengan langkah hati-hati. Sekarang, kami udah berada di luar karena suasananya emang terasa lebih dingin.
"Gue mau ngasih elo surprise," bisik si Bangsat memberitahu yang sontak bikin gue menoleh ke arahnya tanpa mampu melihat.
"Surprise apaan, nih?"
Kepala gue ditoyor pelan. "Kalo dikasih tau, namanya bukan surprise lagi dong, Bego!"
Oh, bener juga. "Tapi bukan surprise yang macam-macam, 'kan?" tanya gue lagi sebab sungguh penasaran.
"Bukan. Tenang aja. Ayo, sini!" Gue mendengar suara dari pintu mobil yang dibuka. "Elo masuk mobil."
"Urusan elo udah selesai emangnya?"
"Hampir. Makanya gue ngajak elo sekarang untuk ikut menyelesaikan urusan itu bareng gue."
"Emangnya elo ada urusan apa, sih?"
"Udah, buruan masuk!" Bukannya menjawab pertanyaan gue, si Bangsat justru mendorong badan gue masuk. Pintu mobil di samping kiri gue ditutup, menyusul dia yang masuk ke dalam nggak lama setelahnya yang langsung gue berondongi dengan keluhan.
"Heh, gue belum mandi, nih. Belum makan malam juga."
"Udah bakal gue siapin di sana, kok."
Makin Saga bicara, makin banyak pula pertanyaan muncul di dalam kepala.
"Di mana?"
"Nanti juga elo tau, Sayang." Bibir gue dikecup lembut olehnya yang lantas bantu memakaikan gue sabuk pengalaman. "Gue jamin, elo akan suka kejutan dari gue ini."
"Beneran, ya? Awas kalo elo malah ngerjain gue!" Gue mendengkus sebal selagi menggaruk-garuk mata dari balik kain penutup yang cukup kencang dililitkan sampe belakang kepala.
Udah macam cewek-cewek di film aja. Dikasih surprise dengan kedua mata tertutup, dituntun, dibawa pergi entah ke mana, tapi ujung-ujungnya cuma dikasih pemandangan berupa meja makan yang disuguhi menu istimewa entah di dekat laut, di hotel bahkan di atas gedung mewah. Norak banget nggak, sih? Duh, jangan sampe si Bangsat begitulah. Asli, gue lebih seneng dikasih hal-hal yang sederhana daripada yang mewah-mewah nggak jelas. Atau minimal, cukup dikasih bentuk uangnya aja. Ehehehe.
Lagian, emangnya ini hari apaan gitu? Ngapain coba dia sok pengin ngasih gue surprise segala? Apa karena ini hari gajian, jadi dia kepengin ngasih gue bonus? Sumpah! Kepala gue sama sekali nggak bisa menemukan jawabannya!
PENASARAN BANGET GUE, WOI! Sebenarnya, Saga kepengin ngasih gue surprise apa dan dalam rangka apa, sih?
___
Sekalian, aku ingin promosi.
Bahwa cerita AU SagaRyan yang Omegaverse M-PREG berjudul MY FATED PAIR baru aja tamat di Goodnovel.
Jadi, aku akan mulai menggarap cerita sekuelnya: MY FATED MATE yang diisi oleh VanoSetya sebagai pasangan utama dengan SagaRyan yang gantian menjadi kapel sampingan. Tentunya, ini M-PREG juga, ya.
Sekaligus mengerjakan juga sekuel cerita LANANG berjudul DEWA & LANANG.
Lantaran semua novel yang sedang aku garap termasuk SBKB#2 cukup beragam, mungkin ke depannya aku akan mulai menentukan jadwal update untuk masing-masing cerita di atas.
Itu aja dariku. (≧▽≦)
Trims telah membaca.
Jangan lupa vote dan komennya. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com