76. PENGACAUAN
Mohon maaf karena aku beneran baru bisa update BAB 76 ini jauh-jauh hari setelah lebaran. Dengan total 4500 kata yang semoga isinya nggak akan mengecewakan kalian.
Vote dan komen jangan lupa, ya.
Tolong kasih aku banyak-banyak komen mengenai BAB ini supaya aku lebih semangat. 🥺✨ Trims. ❤️
SELAMAT MEMBACA.
__
___
____
Seluruh tubuh kami lengket dan licin. Beraroma manis. Apalagi ketika kedua belah bibir kami mulai bertemu. Saling menjilat dan menelan krim serta rasa kue yang ada di mulut masing-masing.
Bahasa kerennya, menggairahkan gitu, lah. Faktanya, cowok gue emang menggairahkan, sih. Selalu.
"Kuenya enak, 'kan?" tanya gue di sela-sela ciuman kami.
"Iya. Apalagi kalo gue makannya dari elo langsung," balasnya berbisik lalu kembali menjilat tepian mulut gue. "Kuenya buatan siapa, sih? Elo?"
Gue seketika tersengih. "Elo terlalu mengharapkan keajaiban dunia, Bangsat!" ujar gue seraya melepaskan kaus.
Si Bangsat juga melakukan hal yang serupa. "Siapa tau elo emang bisa menciptakan keajaiban."
Cengiran gue muncul. "Satu-satunya keajaiban yang bisa gue buat adalah bikin Minions elo ngaceng dengan cepat," desis gue merayunya selagi tangan gue menyusup masuk ke dalam celana Saga. "Tuh, 'kan. Udah ngaceng," ucap gue sambil bergerak naik-turun di sepanjang ereksinya. "Harusnya kontol elo ini dikasih krim juga sekalian. Tadi," komentar gue sebelum mulai berjongkok di depannya.
Dia tersenyum sewaktu melihat gue mulai mengulum Minions. "Elo segitunya mau nyicipin es krim kontol, ya?"
Alhasil gue tersedak mendengar kalimatnya. Padahal baru juga ujungnya yang masuk.
"Anjing lo!" Satu jembutnya gue tarik pelan dan berhasil bikin dia mengaduh. "Gak usah bikin gue berfantasi yang macam-macam!"
"Why?" Dia terkekeh. "Ice cream with dick flavor sounds good."
"Bacot!" Pahanya gue cubit. "Kontol lo gue kunyah sekalian baru tau."
"Eww, don't do that." Tangan gue mendadak ditepis pelan. "Gue pernah mimpi kontol gue dimakan sama Yellow and that's already scared me to death."
"HAHAHAH!" Sumpah gue gak bisa nahan ngakak. "Serius? Itu kapan?"
"Gue lupa kapan tepatnya. Tapi gara-gara itu gue jadi agak was-was setiap mau telanjang di depan Yellow. So absurd."
Pengakuannya bikin gue tambah ngakak lagi. "Sinting emang. Bisa-bisanya elo mimpi begitu." Gue menggeleng-geleng masygul.
"Elo gak jadi ngisapnya?" Si Bangsat bertanya, menunduk melihat gue yang masih berjongkok secara pasif di depan kontolnya.
"Nggak, deh." Gue berdiri kemudian mencopot celana sekaligus sempak. "Mendingan kita mandi dulu ajalah. Bersihin semua krim dan kue di badan kita. Berasa lengket semua, nih. Gak betah gue," keluh gue seraya mengelap krim-krim yang belepotan di sekitar tangan.
"Sama, sih." Saga tersenyum dan lekas melepaskan juga celananya. "Ayo, kita mandi dulu."
Gue dan Saga masuk ke dalam bathtub, kompak mengambil sabun cair dan sampo untuk lantas dibalurkan ke seluruh tubuh kami. Terutama bagian yang kotor. Bikin badan kami berasa tambah licin. Meski yang sekarang jadi agak ada wangi-wanginya.
Aroma lemon favorit gue.
Sekonyong-konyong si Bangsat menuangkan sampo di pegangannya ke kepala gue. Dan bikin gue gelagapan lantaran dia menuangkannya terlalu dekat ke area dahi. Terang aja mata gue terkena cairannya.
"Anjir, mata gue perih, Bangsat! Elo nuangin samponya kebanyakan. Kurang ke tengah!"
"Biar rambut elo bersih. Diem bentar!" Karena protes gue nggak dihiraukan, sebagai balasan tangan gue membalas dendam untuk balik iseng ke dia. "Aw! Jangan mulai mainin pentil gue, Bego!"
Gantian, gue nggak menghiraukan protesnya dan semakin bersemangat mencubit pentil dia. Dua-duanya sekaligus. "Daripada tangan gue nganggur," dalih gue dengan mata yang tetap terpejam sebab si Bangsat masih sibuk membersihkan rambut gue.
"Tangan itu akan lebih berguna kalo elo pake ngegosokin badan gue, Sayang," responsnya sambil menarik satu tangan gue, memindahkannya ke area selangkangan dia. "Atau elo megang bagian ini. Itu bisa bikin gue lebih keenakan."
"Hehehe." Gue cengengesan dan menurut. Mulai bergerak naik turun di kontolnya yang kini setengah tegang dan perlahan-lahan bangkit maksimal.
"Gak usah cengengesan! Dasar binal!" sungut si Bangsat sambil mulai menyirami kepala gue.
Gue menggosok-gosok muka sesudah itu melotot padanya. "Binal gini juga elo bucin, tuh."
Dia nyengir, kemudian menggeser badan gue ke posisi sebaliknya. "Ngadep sana!"
"Mau ngapain?" Gue berlagak nggak tau aja. Padahal kalo dia udah minta gue balik badan, gue tau bangetlah apa yang pengin dia lakuin.
"Sini, nungging! Gue mau ngurusin lubang pantat lo," ujarnya tanpa basa-basi sembari mulai memasukkan satu jarinya ke dalam anus gue.
Gue memekik. "Ah, Bangsat! Ha--ah!" Bergelinjang, membiarkan jari keduanya masuk. Bergerak melonggarkan area itu secara pelan tapi pasti.
Punggung gue dikecup dan dijilat, merasakan rambut basah si Bangsat membelai area leher. Embusan napasnya yang hangat mengenai telinga gue yang lalu digigitnya laun. Meloloskan desahan parau gue karena merasakan kenikmatan.
Emang cuma dia yang paling bisa bikin gue sange berat!
"Elo mau gue jilatin ini, nggak?" Jarinya menyodok prostat gue secara kuat dan bikin gue menjerit. Menjadikan kontol gue semakin tegang nggak keruan dengan cairan precum-nya yang kian banyak menetes. "Atau mau langsung gue masukin?" tanyanya menggoda, sekali lagi melancarkan gigitan ke telinga.
Gue menarik napas panjang seraya meliriknya dengan penuh gelora. "Mending elo cepet masukin aja! Gue udah gak tahan! Bikin gue muncrat buruan!"
Permintaan gue ditanggapi suara kekehannya yang seksi. "As you wish, Baby!" Saga beringsut mundur sambil menarik keluar jarinya dari lubang gue. Untuk lantas ganti memasukkan Minionsnya yang udah tegak maksimal ke dalam sana.
"Haa! Saga!" Gue melenguh, memegangi tepian bathtub dengan sekuat tenaga ketika merasakan sodokan si Bangsat yang langsung aja membrutal.
"Louder, Babe! Say my name!" bisiknya yang bagaikan hipnotis.
"Sagaaa!" Membuat gue terus memanggil namanya. Memegangi tangannya yang berada di depan gue, meremasnya kencang seiring goyangan pinggul kami yang bergerak maju-mundur seirama.
"Haaa, Ryan!" Bibir gue lalu diraup oleh mulut si Bangsat. Bersamaan dengan desahan gue yang teredam sewaktu akhirnya gue muncrat. Diikuti dengan si Bangsat yang juga melepaskan ejakulasinya di dalam.
Napas kami ngos-ngosan, saling berpandangan dengan senyum simpul yang timbul. Berkata tentang kepuasan tanpa suara. Yang mana jelas-jelas mata kami udah lebih dari cukup menjabarkan segalanya.
"Thank you for always makes me feel good," ucap Saga seraya mendaratkan kecupan ke pelipis gue. Lembut banget sampe rasanya gue meleleh.
Jadi gue memberinya pelukan. "Hmm. Gue juga keenakan, kok." Dagunya gue cium secara kilat.
Pantat gue ditepuk agak kencang. "Tanpa elo bilang juga gue udah tau, kok."
Gue tersengih lalu balas mencubit pentilnya sampe bikin dia merintih dan ketawa. "Dasar bangsat!"
Saga nyengir. "Sini, biar gue bersihin elo. Kita lanjut mandi."
Tawarannya memunculkan juga cengiran gue. "Skuy!"
.
Zyas:
Tebak siapa orang yang lagi dirayain ultahnya tapi malah kabur buat ngentot pacarnya?
Setya:
Emang susah kalo udah bulol.
Mana kita ditinggalin, dibuang, gak dianggap. Padahal kita tamu, loh.
Arnando:
😂😂😂
Jofan:
Acaranya kayaknya seru, ya. Sayang gue nggak bisa ikutan.
Arima:
Justru bagus kamu gak ikutan, Manda. Ujung-ujungnya kami toh ditinggal sama Saga. 😤
Vano:
That asshole. Berani-beraninya nyuekin Febri yang udah repot-repot bantu ngasih surprise. 🤬
Dyas:
Sebagai gantinya, semua foto dan video malam ini nggak akan gue rilis sebelum pihak ybs minta maaf dan memunculkan diri.
By the way, your dad wants to talk to you, Saga.
Zyas:
MAMPUS! Aku jamin mereka bakal kena omel.
Vano:
They deserve it tho.
Zyas:
Shameless. Bulol. PASANGAN LAKNAT!
Setya:
Iri lo gak usah ditunjukin terang-terangan juga kali, Zy. Gak enak dilihat.
Zyas:
Pokoknya aku kesel sama Juanda dan Feryan! Kalian berdua pengkhianat!
"Udah! Gak usah diladenin." Si Bangsat tahu-tahu merebut HP dari tangan gue yang lekas dilemparkannya ke kasur sementara dia tengah mengenakan kaus ganti.
Dia gue tatap penuh sorot gelisah. "Mereka beneran marah sama kita, ya?" tanya gue yang sedikit enggan mengenakan pakaian sebab terus kepikiran mengenai reaksi dari semua kawan-kawan.
Nggak heran juga andai mereka betul-betul kecewa pada kami, sih. Bayangin aja elo ditinggal buat mojok sama yang punya acara di tengah perayaan ulang tahun yang semula direncakan sama-sama, apa itu nggak kurang ajar?
Melihat gue yang terus murung, Saga mendekat dan memberikan usapan lembut ke bahu gue. Seolah coba menenangkan.
"It's okay. Gue akan tanggung jawab. Gak usah terlalu elo pikirin."
"Tapi Om mau bicara sama lo, katanya."
"I know. Ini gue lagi siap-siap."
"Elo bakal diomelin?"
"Maybe? Kemungkinan gue cuma akan dinasehatin aja. Atau dihukum."
"Dihukum?"
"Yah. Semisal uang jajan gue dipotong. Atau kado ulang tahun gue ditahan. Gak yang aneh-aneh, kok. No problem."
Mendengarnya, sontak aja gue menjadi kian muram. "Harusnya tadi gue gak usah ngeladenin ajakan lo."
Tapi gimana, ya? Susah juga menolak godaan habisnya.
Pipi gue kali ini diberikan cubitan cukup kencang. "Udahlah! Gak usah dipikirin. Biar nanti gue yang urus semua masalah ini sama yang lain." Dia menunjukkan senyuman santai yang nggak bikin suasana hati gue membaik. "Mending sekarang kita keluar. Mereka pasti udah pada nunggu juga. Elo udah selesai, 'kan?"
Gue mengangguk seusai merapikan kaus ganti. "Iya."
"Good! Let's go!"
Pintu baru aja dibuka, belum juga kami berdua melangkahkan kaki keluar, tetapi nggak disangka udah ada aja kerumunan yang menanti kami.
"NAH! Keluar juga dua makhluk bulol ini!" sembur Zyas dengan raut wajah jengkel. Disusul anggukkan Setya yang berdiri di sampingnya.
Gue dan si Bangsat jelas aja berjengkit kaget.
"What the fuck! What are you guys doing here?" tanya Saga dengan pandangan risih, menatap satu per satu orang yang entah apa tujuannya menghadang kami begini.
Kesannya kayak kami lagi digerebek setelah ketauan berzina. Ya, emang faktanya begitu, sih. CUMA ... MASA IYA? ANJIR, NGACO! Eh, bentar. Itu mereka pada bawa apaan? Pel-pelan? Lap? Ember juga?
"Kami nungguin kalian, lah! Nih!" Zyas menjawab sembari menyerahkan pel-pelan dari tangan Setya ka arah kami. Sementara Arima sekonyong-konyong menaruh lap ke bahu gue.
"What is this?" Saga menerima alat pel masih dengan bertanya-tanya.
"Punishment. For both of you." Dyas mulai angkat suara.
Gue melirik mereka nggak paham, lalu mengernyit memperhatikan pel-pelan dan kain lap yang sekarang gue pegang. "Hukuman ... ngepel?"
"Bukan cuma ngepel. Seluruh kekacauan di kamar tadi, kalian berdua yang bertugas membersihkan," terang Kak Jimmy menjelaskan yang seketika bikin gue dan Saga melotot.
"HAH?" pekik kami kompak. "You guys must be joking," desis cowok gue yang refleks menyerahkan balik pel di tangannya pada Zyas yang menerimanya sambil misuh-misuh.
"No, kids! We're being serious here!" Tahu-tahu sosok Om Julius muncul, membikin kawan-kawan kami menyingkir untuk membiarkan beliau berdiri menghadap kami. "Karena kalian sudah berlaku kurang ajar dengan pergi begitu aja di tengah perayaan yang sudah disiapkan susah payah oleh semuanya." Pel di tangan Zyas diserahkan lagi oleh Om kepada sang putra. "Just accept your punishment, Son. We're cheering from here. Good luck." Bahu gue dan Saga ditepuk bergantian sebelum Om mulai berlalu bersama yang lain dengan ekspresi puas.
"Bersihin kamarnya sampe kesat dan kinclong."
"Jangan harap kalian bisa istirahat sebelum kamarnya kembali rapi dan bersih."
"Good night, bulol laknat! Selamat menikmati hukuman kalian! Makanya, kalo lagi sange tuh tau tempat."
Gue dan si Bangsat cuma bisa ternganga, pasrah menerima hukuman yang mereka berikan kemudian saling beradu pandang.
"Damn it!" umpat Saga seraya membenturkan kepalanya pada batang pel.
Sedangkan gue memukulnya menggunakan kain lap. "Ini semua gara-gara elo!"
"Iya, emang ini semua gara-gara gue. Gue akui itu, oke?" respons Saga disusul helaan napas panjang. Lantas dia merebut lap gue. "Mending elo istirahat sana. Biar gue aja yang ngeberesin kamar. Badan elo pasti capek banget, 'kan."
Gue mendelik nggak suka. "Tapi elo juga pasti capek, kan? Lagian kerjaan sebanyak itu gak akan kelar dalam semalam, Saga!"
Dia mendecak kalut. "Well, that's the risk, right? But first, we must talk to them. Apologize properly. That's the most important thing to do for now. Elo mau ikut?" usulnya yang refleks gue balas dengan anggukan.
"Iya. Gue ... ngerasa bersalah banget sama mereka juga," aku gue dengan raut masam yang bikin si Bangsat tersenyum kecil.
Tangan gue digenggamnya. "Let's go. I'm here with you."
Masih sembari membawa alat bersih-bersih yang diberikan oleh semuanya, kami berdua melangkah pergi. Mencari-cari keberadaan semua orang. Itu juga kalo mereka belum pada tidur, ya. Apalagi ini hampir jam 2 dini hari, loh.
"Kalian ngapain? Bukannya cepetan beresin kamar."
Suara teguran dari Zyas membuat gue dan Saga sontak menoleh. Melihat ternyata Zyas, Setya, Dyas, Kak Jimmy, Om Julius dan Adam masih tampak duduk-duduk bersama. Ajay sama Arima entah di mana, deh. Sejak keluar kamar juga gue belum melihat sosok Ajay, sih. Kemungkinan dia udah tidur atau malah pulang duluan.
Gue dan si Bangsat berpandangan sebentar, lalu mengangguk kompak sebagai tanda setuju tanpa suara sebelum langkah kami bergerak mendekati posisi mereka semua.
Setibanya di hadapan semua orang, gue berdeham. Ragu-ragu mengatakan tujuan kami lebih dulu. "Kami berdua di sini mau minta maaf."
Saga tiba-tiba menyenggol bahu gue dan mendorong gue mundur. "Not us, just me. Karena yang pertama kali mengajak Ryan pergi adalah Saga, itu sebabnya, semua ini terjadi karena perilaku nggak pantas Saga. Saga akui Saga emang bersikap sangat kurang ajar, Dad. Untuk itu, Saga mau meminta maaf."
HAH? GIMANA? KOK GITU? MASA IYA DIA AJA YANG MINTA MAAF, SIH? GAK ADIL, DONG!
Gak selesai sampai di situ, cowok gue meneruskan, "Bukan cuma pada Daddy, tapi juga pada kalian semua. I'm very sorry. It's okay for you guys to be mad, I will also accept this punishment. So, I'm so sorry. Whether you guys want to forgive me or not, I don't really care. All I know, this is my fault. That's all I want to say," ujarnya terlihat sungguh-sungguh yang bikin gue tercenung. Bingung harus ngapain.
Terus, peran gue di sini apa? Bengong doang? Anjir, macem orang tolol aja.
"Ryan! Elo bawa ini semua ke atas. Biar gue ambil sabun dulu di dapur."
Titah mendadak itu menyadarkan gue dari kebingungan. Pel, lap, ember, semuanya diserahkan ke gue, dong. "Hah? Tapi--"
Belum selesai gue ngomong, dia udah memotong, "Gak usah bawel! Nurut aja apa susahnya, sih? Sana buruan!" bentaknya yang nggak mampu gue bantah.
Dasar bangsat!
"Iya deh, iya. Gue ke atas sekarang." Namun sebelum gue berjalan menuju tangga, nggak lupa gue juga mengambil kesempatan berbicara pada yang lain. "Feryan juga minta maaf ya, Om. Semuanya. Gu--Feryan ... ke atas dulu. Permisi. Maaf!" kata gue yang lalu buru-buru pergi dari sana karena Saga malah memelototi.
Sesampainya di dalam kamar setelah melalui perjalanan yang melelahkan serta nyeri karena lubang bool gue yang perih, tubuh gue serta-merta melemas mendapati seluruh kekacauan yang terpampang di depan mata. Noda, krim, confetti, potongan kue hingga balon, semuanya berserakan di mana-mana. Mengotori hampir setiap titik di kamar. Kasur, dinding, meja, gorden, sofa, kulkas. Semuanya.
Meskipun si Bangsat bilang gue nggak mesti bantu bersih-bersih, mana mungkin gue mampu berdiam diri menyaksikan segala kekacauan ini.
"ARRRRGHHHH! KAMAR SEBERANTAKAN INI! Mending gue disuruh kerja lembur di L-Laurens selama seminggu berturut-turut daripada harus bersihin semua ini. Belum apa-apa gue udah capek duluan," keluh gue sungguh jengkel dengan napas yang udah berasa ngos-ngosan. Kain pel gue campakan tanpa peduli sesudah itu mulai menggunakan lap untuk membersihkan noda yang ada di pintu kamar Saga tanpa bisa berhenti mengeluh. "Bersange-sange dahulu, bercapek-capek kemudian. Tau gini mending gue ngeladenin si Bangsat ngeseks kapan-kapan lagi. Meski yang tadi enak, sih."
HALAH BACOT! PAKE SEGALA INGAT SEKS TADI SEGALA! TETAP AJA BOOL GUE PERIH JUGA INI!
"Kodok!" Gue spontan terkesiap dan memekik, berpegangan pada gagang pintu dengan jantung dag dig dug karena tadi terpeleset krim di dekat kaki. "Kampret! Lantainya kenapa licin banget, sih!"
Andai gue punya kekuatan macam Robin. Enak kali, ya. Tangan gue bisa langsung kerja dan nyentuh banyak tempat sekaligus. Sementara gue tinggal santai, nunggu kerjaan selesai.
"Ryan?"
Ketika tengah asik mengkhayalkan kekuatan Robin di tubuh gue, suara Saga akhirnya terdengar dari balik punggung. Menghilangkan semua tangan yang gue bayangkan sedang bekerja ekstra di bagian lantai serta dinding.
"Iya, kenapa?" Sigap gue berbalik dan terkejut sedikit mengetahui rupanya ada Om Julius yang berdiri di samping si Bangsat. "Loh, ada Om juga. Gak tidur, Om?"
Beliau menggelengkan kepala disertai senyuman. "Setelah ini om akan tidur, kok. Dan sebaiknya kalian berdua juga tidur segera, ya. Kamu dan Saga istirahat sana. Biar kamar ini nanti dibersihkan oleh jasa cleaning service aja."
Mendengar hal itu, jelas aja gue mendelik heran. "T-tapi katanya kami dihuk--"
"Itu cuma gertakan dari Daddy aja," tukas Saga menjelaskan. "He just need our apologize, so we don't have to do the cleaning anymore."
Kabar baik itu sontak aja memunculkan senyum girang gue. "Itu beneran, Om?"
"Benar, Feryan. Om dan lain udah sepakat membuat keputusan ini. Dan om senang, karena seenggaknya kalian menyadari salah kalian di mana."
Jawaban Om bikin gue refleks menjauhi pintu. "Jadi, kami nggak perlu ngeberesin kamar ini lagi?"
Om Julius menggelengkan kepala. "Nggak usah. Lebih baik kalian cepat istirahat aja. Om nggak tega juga. Apalagi kamu juga udah sibuk selama beberapa hari demi mempersiapkan semua ini, 'kan."
Cengiran terbaik gue berikan teruntuk calon mertua gue ini. "Makasih banyak, Om!"
ASIK, ASIK, ASIK! ALHAMDULILLAH GUE BISA TERBEBAS DARI HUKUMAN YANG MENYIKSA INI!
Om Julius kemudian mengecup dan mengusap puncak kepala Saga. "Daddy dan yang lain juga mau istirahat, ya. Good night, Son."
Saga mengangguk dengan senyum hangat. "Good night, Dad!"
Di depannya, cengiran gue berangsur-angsur luntur disebabkan sensasi licin nggak nyaman di kaki. Jadi gue menitah, "Ambilin keset sini. Kaki gue udah telanjur kotor, tuh."
Saga mengambil keset yang berada di kamar mandi sebelah untuk diletakkan di depan gue. "Nih."
Segera gue membersihkan telapak kaki yang lengket dan licin. Tapi begitu hampir selesai, gue baru teringat ada sesuatu yang belum gue ambil di dalam kamar ini. Dengan hati-hati, gue pun melangkah kembali ke dalam.
"Oh, bentar. Ada yang ketinggalan."
"Apaan?"
Gue merangkak melewati bagian kasur yang masih bersih demi membuka laci nakas Saga dan mengeluarkan kotak kado yang gue simpan di situ. "Ini."
"Itu kado gue?" tanya Saga setelah gue berdiri di hadapannya lagi. Kembali mengelap kaki gue yang kotor.
"Iya. Nih!" Kado seukuran wadah HP berwarna cokelat susu ini gue serahkan pada si Bangsat yang menerima dengan ekspresi semringah bercampur penuh tanya. Mana langsung dikocok-kocok pula sama dia. "Gak usah elo kocok-kocok segala, kali. Elo pikir itu kotak arisan!"
"Boleh gue buka sekarang, 'kan?"
Hadeeeuh, gak sabaran banget dasar!
"Kita ke kamar dululah, Bangsat. Gue mau tiduran. Badan gue pegel, tauk."
Dia tersenyum menangkap keluhan tadi, lantas merangkul gue. "Oke, oke. Ayo kita ke kamar, deh."
Setibanya di kamar bawah, langsung aja gue melemparkan tubuh yang super lelah ini ke atas ranjang. Menghela napas panjang saking merasa enak karena akhirnya bisa merasakan kenyamanan dan kelembutan kasur. Apalagi tadi gue sama si Bangsat ngeseksnya di kamar mandi juga. Pegelnya dobel ini badan.
"Ah! Akhirnya gue bisa tiduran!" Gue melirik Saga yang sedang berjalan kemari sesudah menutup pintu. "Suhu AC-nya turunin dikit coba. Gue kedinginan. Mager."
"Oke, oke." Permintaan gue dituruti. Membuat gue merasa semakin keenakan.
Tinggal tarik selimut, baca doa, terus tidur.
"Gue boleh buka kado ini sekarang, 'kan?"
Oh, iya. Kadonya. Yah, tertunda lagi waktu tidur gue untuk beberapa menit ke depan.
"Iya, elo buka aja." Gue mempersilakan seraya membalik posisi badan menjadi tengkurap. Memperhatikan Saga yang merobek kertas kado secara nggak sabar.
Setelah tutup kotak kado yang gue siapkan sejak kemarin itu dibuka, dia spontan membulatkan mata. "Ini ... gantungan kunci?" tanyanya tampak heran bercampur takjub. Mengambil satu renteng gantungan kunci yang terdiri dari empat bagian dirinya.
"Iya." Gue nyengir lalu menjelaskan, "Gantungan kunci. Temanya adalah a person named Saga. Saga sendirian. Saga sebagai koki. Saga dan Yellow. Dan ini Saga saat bareng gue. Bonus phone case Saga all version. Tuh, tuh, tuh!" Masing-masing ganci yang gue maksud beserta phone case-nya gue tunjuk dan perlihatkan. "Totalnya ada 20. Satu tema ganci gue bikin masing-masing lima. Tapi yang gue kasih ke elo cuma 16. Karena empatnya gue yang ngambil," sambung gue yang entah didengar oleh si Bangsat atau nggak.
Soalnya dia malah keliatan terlalu fokus mengagumi hadiah dari gue.
"Wow. This is ... so cute. Really. Elo bikin di mana?"
"Request gambarnya dari Setya, terus Dyas yang bantu cetakin. Dikasih akrilik sekalian. Biar awet. Terus teksnya juga Dyas yang desain. Gue keluar uang banyak ya meski cuma bikin gituan doang. Awas kalo elo komentarin macem-macem," jawab gue dibumbui ancaman sebelum dia mulai bicara hal nggak mengenakkan mengenai ini.
Meski segitu doang, tapi kerjaan dan uang yang gue keluarin asli lumayan, ya. Gak bohong gue.
Saga menatap gue dengan senyum amat manis yang muncul di bibirnya. "I really like it tho. Thank you so much, Babe." Ganci dengan gambar dirinya sendiri diangkat dan dikomentari, "And this is my favourite. I look so handsome here."
"Versi anime elo emang lebih ganteng dari elo, sih."
Dia tertawa. "Sekilas gue mirip Levi Ackerman jadinya."
"Bukan. Lebih mirip Kageyama menurut gue."
Matanya menyipit lalu mengangguk. "Oh, iya. Mirip Kageyama." Setelah itu dia memperhatikan ganci versi dia dan gue. "Dan elo mirip ... Rock Lee."
BUSEEET, BILANG APA DIA?
Bahunya seketika gue hadiahi pukulan. "ROCK LEE DARI MANANYA, ANJIR! Mata elo minta gue colok, ya!"
Gue mana ada miripnya sama Rock Lee, elaah! Apa mentang-mentang mata gue agak belo jadi gue disamain sama Rock Lee? Kampret.
"Why?" Bahunya yang kena pukul diusap-usap. "Anggap aja elo adalah Rock Lee versi alis dan mata normal. Rock Lee juga cute. Dia cuma salah gaya rambut dan bentuk alis aja."
Gue tersengih mendengar ucapan itu, kemudian merebut rentengan ganci dari tangannya. "Padahal menurut gue ini mirip sama Kaneki," ujar gue sembari menunjuk versi anime gue yang malah bikin si Bangsat memutar bola mata.
"Kaneki kecakepan buat disamain sama lo."
"Anjing dasar!" Sekali lagi gue memukulnya.
Dia terkekeh, sesudah itu berceletuk, "Oh, gue tau. Ini mirip sama Yuri."
"Yuri?"
Yuri yang mana? Bukannya itu nama cewek?
"Yuri dari anime Yuri on Ice. Pacarnya Victor itu, loh."
Kepala gue manggut-manggut karena gue tau judul anime yang dia maksud. "Anime seluncuran di es itu, ya. Gue nggak nonton animenya, sih. Tapi dia pake kacamata 'kan, ya?"
"Iya."
"Eh, bentar. Yuri pacarnya Victor. Mereka cowok? Itu anime BL emang?"
"Genre utamanya sports. Romance-nya cuma segelintir aja. Bonus."
"Kirain shonen-ai macam Given."
"Mada--"
"DIEM, DEH!" Mulutnya refleks gue tabok karena setiap ngebahas Given, ini cowok pasti bawaannya mau nyanyi. "Gak usah mulai."
Saga ngakak puas mendapati reaksi gue. "Baru juga mada!"
"Madara Uchiha udah mati. Gak usah elo sebut-sebut. Nanti dia bakal mulai perang lagi."
Ngakaknya tambah kencang. "Ah, gue jadi mau rewatch fourth shinobi world war Naruto Shippuden lagi. Sejak sibuk, gue susah luangin waktu untuk nonton anime kayak dulu," ungkapnya sambil mengembalikan ganci ke dalam kotak.
Namun, kalimat itu sukses mengingatkan sesuatu yang teramat penting bagi gue. Alhasil gue berjengkit dan bangun dari posisi tengkurap. "LOH, IYA! BENTAR LAGI ONE PIECE EPISODE 1000 RILIS, WOI!"
"Damn, Ryan! Elo ngagetin aja." Mata si Bangsat memelototi gue yang kentara banget lebaynya kalo udah mulai membahas One Piece.
"Habisnya gue gak sabar mau nonton lanjutannya. Lagi seru-serunya. Bentar lagi--"
"Luffy ketemu Kaido! Iya! Gue tau! Dari kapan elo udah bilang!" potongnya yang cuma bisa gue balas dengan suara cengengesan.
"Hehehe."
Dia geleng-geleng masygul sembari mengamati phone case dengan bermacam-macam wajah animenya. Senyumnya timbul, lalu dia menatap gue. "Thank you for this cute present, Ryan. Give me a kiss." Dia sekonyong-konyong menyodorkan muka yang bikin gue mendecak risih.
"Gak kebalik? Tapi, ya udah, deh." Bibir bawahnya gue beri kuluman singkat disusul dua kali kecupan. "Tuh! Puas lo?"
"Thank you, Baby. I love you so much." Saga mengambil HP miliknya untuk kemudian mengganti phone case beningnya dengan phone case hadiah dari gue. "Phone case-nya mau gue pake sekarang."
Gue turut mengambil HP yang sejak tadi tergeletak di dekat bantal, menunjukkan juga phone case kami yang sekarang jadi samaan. "Lucu, 'kan?"
"Wha--since when elo ganti phone case juga?"
Gue nyengir. "Sejak hari ini, kok. Tapi gue yakin elo gak bakal sadar. Soalnya 'kan kita juga baru barengan tadi. Cuma nanti bakal gue copot lagi, sih. Biar nggak menimbulkan kecurigaan. Apalagi kalo HP ini dibawa ke tempat kerja. Bisa heboh orang-orang," jelas gue yang direspons anggukkan laun.
"Elo ada benernya juga, sih." HP milik gue diambil oleh Saga lantas dijajarkan di tengah-tengah kami. Secara serius, dia memandangi phone case kami yang serupa.
Pipinya gue tepuk pelan. "Udah, mending sekarang kita tidur. Besok kita masih banyak kerjaan buat nyiapin pesta ultah elo."
"Oke." HP milik kami dipindahkan untuk ditaruh ke atas nakas.
Lekas gue dan Saga berbaring berdampingan. Saling menutupi tubuh menggunakan selimut, selepas itu gue tiduran menghadap ke arahnya.
"Elo gak meluk?"
"Bentar, Sayang. Gue lagi nyari posisi nyaman dulu. Tck." Saga mendecak gemas sebelum mulai menarik gue merapat ke depannya. Nggak lupa, dia mendaratkan ciuman ke seluruh wajah gue dan bikin gue ketawa kegelian.
"Gak usah cium-cium, nanti elo sange lagi!"
"Habisnya gemes banget gue sama lo!" Telinga gue bahkan segala digigit sama dia.
"Anjrit! Sakit, Bangsat!" Telinganya gue jewer sebagai balasan.
Dia terkekeh. "Udah, sekarang diem. Cepetan tidur."
Sebelah tangan gue sigap melingkari pinggangnya. "Hmm. Good night. Sweetheart."
Kepala gue diusap-usap lembut. "Good night, Baby."
Senyum gue mengembang selagi mulai memejamkan mata. Memastikan bahwa dalam tidur gue malam ini, gue akan didatangi mimpi yang amat indah. Semoga aja.
__
Gue membuka mata sedikit demi sedikit, mendapati kosong pada posisi di sebelah kanan gue. Selanjutnya meringkuk, memeluk selimut semakin kuat menyadari bahwa sosok yang menemani tidur gue semalaman udah nggak ada. Cuma ada aroma samponya aja yang tercium. Orangnya ke mana, ya? Kok gue nggak ikut dibangunin, sih?
"Saga?" Gue memanggil, nggak ada jawaban. "Pergi ke mana si Bangsat? Ini jam berapa, sih?"
Sewaktu gue membangunkan badan, gue refleks terlonjak tatkala menemukan sosok cewek asing yang entah sejak kapan udah duduk di atas sofa yang berada di sudut kamar.
"Anjir! Kam--elo siapa? Sejak kapan ada di situ?" todong gue menanyai, agak ngeri memandangi dia yang justru terlihat kalem-kalem aja.
Waduh! Jangan-jangan ini cewek psikopat yang datang nggak diundang. Mana gaya femininnya keliatan arogan banget. Mirip peran antagonis yang banyak gue lihat di film. Eh, bentar. Tapi kok muka dia ... keliatan nggak asing, ya? Apa kami berdua pernah bertemu di suatu tempat sebelumnya?
"Udah puas ngeliatin gue?"
Tanya balasan darinya membuat gue spontan mengalihkan tatapan secara canggung.
"Elo berisik, jelek, dan keliatan oon. Ternyata deskripsi yang Saga tuturkan tentang elo nggak sepenuhnya bohong."
Mendengar penuturan bernada ketus itu, gue jadi kembali memandang dia. "Elo kenal Saga?"
Ekspresinya langsung berubah geli. "Of course I know him." Dia terlihat menahan tawa, lalu mulai berdiri dari duduknya. "Nama gue adalah Virly Berlinda Adriana Fransiskus. Nice to meet you, Feryan," ucapnya memperkenalkan diri dengan gaya angkuh, lantas beranjak dari hadapan gue tanpa sempat gue menanyakan lebih jauh.
Hah? Gimana? Dia siapa? Namanya apa tadi? Eh, bentar. SESEORANG TOLONG JELASKAN PADA GUE APA YANG SEBENARNYA SEDANG TERJADI?
Belum sepenuhnya gue mampu mencerna kejadian dengan cewek belagu bernama Virly tadi, seseorang lain tiba-tiba aja masuk. Ini ... HAH? VIRLY VERSI EMAK-EMAK? APA IYA? CEPET AMAT ITU CEWEK JADI TUANYA! YANG BENER AJA!
Akan tetapi, wajah Virly yang ini nggak keliatan nyebelin kayak yang versi mudanya, sih. Kira-kira beliau ini siapa lagi, ya?
"Oh, hai. Selamat pagi, Feryan," sapa wanita dengan dress elegan ini ramah seraya menghampiri gue. "Sebetulnya ini sudah siang, sih. Tapi nggak apa-apalah, ya. Anggap aja masih pagi, karena kamu toh baru bangun." Dengan lembut, beliau menepuk pipi gue disertai senyum hangat. "Oh, iya. Perkenalkan, nama saya Cyntya. Adik Mas Julius sekaligus ibu dari Virly, gadis yang baru aja keluar dari kamar ini. Senang bertemu dengan kamu ya, Feryan. Ayo, cepat bangun. Semua orang sudah menunggu di meja makan. Keluarga Fransiskus sudah nggak sabar mau berkenalan dengan kamu. Come, come, come."
Semakin banyak kalimat yang beliau dikatakan, semakin panik dan bingung juga gue dibuatnya. Serius deh, woi.
MAKSUD GUE ... HAH? APA? GIMANA? SIAPA? NGAPAIN? INI MAKSUDNYA ... BENTAR, WOI! INI ADA APA SEBENARNYA? SESEORANG TOLONG JELASKAN SITUASI GUE SEKARANG! ARRGHHHHH!
___Sampai jumpa pada bab selanjutnya. ❤️✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com