78. PERSATUAN
Aku ngetik BAB ini sampe jempolku penyok, loh. Awas aja kalo kalian nggak ninggalin vote apalagi komen. Jempolku bakal nangis dan mogok ngetik. 😩😩😩
Happy reading! ❤️
___
____
_____
Secara susah payah gue menelan lebih dulu makanan yang tersisa di mulut. Memandang bergantian pada Virly, Kiel, serta para sepupu Saga yang lain yang juga tampak ingin mendengar jawaban gue. Lantas mengerling Oma yang keliatan ingin mengetahui respons gue juga, setelahnya beralih melirik si Bangsat yang sekadar diam memperhatikan. Mungkin dia nunggu juga?
Masalahnya, gimana cara gue ngejawabnya, anjir? Gue mustahil bisa membual demi cari muka atau sok berkata manis di hadapan keluarga besar Saga. Lagian ngada-ngada aja ini pertanyaan. Kenapa gue nggak ditanya soal; masakan mana yang lebih gue suka dari masakan Oma. Itu jelas lebih gampang dijabarkan. Tapi, ya udahlah. Mending dijawab apa adanya aja.
Akhirnya, gue mulai bersuara, "Emm, kayaknya ... saya nggak bisa milih. Maaf." Gue menghela napas panjang. "Yah, dua-duanya--masakan Oma dan Saga, saya sama-sama suka. Sama-sama enak juga. Tapi kalo urusan rasa--jujur nih, masih masakan Saga yang lebih enak bagi saya. Karena selama lebih dua tahun ini 'kan saya sering makan masakan dia. Jadi, maaf ya, Oma. Bukan bermaksud bilang masakan Oma nggak enak, tapi intinya Feryan lebih suka masakan Saga. Gitu aja. Tapi masakan Oma juga enak, kok. Feryan gak bohong," tutur gue panjang lebar menyampaikan jawaban yang kayaknya terkesan berbelit-belit.
KACAU! SEMOGA MEREKA NGGAK BAKAL MIKIR MACAM-MACAM ATAS JAWABAN GUE.
Namun anehnya, hampir semua orang di meja ini malah menampakkan senyuman sesudah mendengar penjelasan gue. Terlebih Oma dan Opa yang bahkan saling pandang sambil menunjukkan senyuman lebar.
"And just like Saga said, you're such an honest person," komentar Oma yang ditanggapi anggukkan kepala Opa.
"And we like it," imbuh Opa yang lalu melanjutkan lagi makannya.
"Another plus point for him." Ini Om Jeremy yang bilang.
Tante Cyntya mengacungkan dua jempolnya ke arah gue. "He's indeed such a lovely boy. Saga, I like him."
HAH? KENAPA? KOK MEREKA SEMUA JADI ... MUJI-MUJI GUE? IYA, 'KAN? ADA APA?
Tangan si Bangsat tiba-tiba dijatuhkan ke bahu gue sampe bikin gue berjengkit kaget. "I told you guys already. This boy is everything," ucapnya yang sekonyong-konyong mencubit pipi gue.
Tangannya refleks gue tepis. "Apa, sih! Pipi gue perih, woi!" protes gue pada Saga yang cuma senyam-senyum nggak acuh dan memilih lanjut makan.
"Terima kasih ya, Feryan."
Kepala gue sontak menoleh pada Oma yang mendadak berkata begitu. "Hah?" Gue kebingungan. "Buat apa, Oma?"
"Terima kasih, karena kamu sudah sangat menyayangi cucu oma dengan sepenuh hati," ujarnya disertai senyuman hangat yang seketika bikin gue merasa tersanjung.
Jadi, gue turut memberi Oma senyuman. Hanya senyum. Yang menandakan bahwa mencintai cucunya adalah salah satu hal paling berarti yang bisa gue lakukan.
.
"DORR!"
Sedikit, gue kaget. Disambut oleh pekikan lucu Ethan di depan pintu kamar mandi bersama Michael yang terlihat anteng digandeng olehnya. Di belakang mereka, sosok si Bangsat menemani sambil memasang senyuman geli.
"Ethan, ngagetin aja," desis gue berlagak shock lalu berjongkok di depannya.
Melihat reaksi gue, anak kedua Tante Cyntya ini cengengesan. "Mas Kiel yang nyuruh. Maaf udah bikin Om Feryan kaget," ungkapnya tanpa lupa membungkukkan badan.
WOI, MAU GUE KARUNGIN! GEMES!
Kedua pipinya pun sontak gue tepuk-tepuk gemas. "Gak perlu minta maaf, kok. Om seneng dikagetin begitu. Biar surprise," dalih gue dan nyengir pada keponakan cowok gue ini. Alhasil, bocah berusia 7 tahun ini ikut nyengir juga.
Sumpah manis banget. Walau nggak heran, sih. Toh Om Yudha--selaku ayahnya juga sosok pria yang ganteng sehubungan beliau merupakan bule blesteran Indonesia-Belanda. Tante Cyntya pun cantiknya gak usah diragukan lagi.
"Udah selesai mandinya, 'kan? Ayo, kita ke depan!" ajak Saga yang lantas menggendong Michael. "Yang lain udah nunggu. Mereka mau nantangin elo."
Gue mengernyit nggak paham dan mendongak penuh tanya ke arahnya. "Nantangin? Ngapain?"
.
DEFEAT
Alucard gue langsung tewas dibantai habis oleh Gusion meski gue udah mati-matian membantu Virly dan Angela miliknya untuk melawan Gusion yang dibantu Saber. Itu hero yang dipakai oleh Kak Kiel dan Kak Biel. (Gue manggil mereka Kakak karena ternyata usia mereka 6 tahun lebih tua)
Padahal si Alucard ini katanya punya skin yang harganya setara HP Xiaomi RAM 3GB, tapi tetep aja kalo gue yang make nggak berguna.
"Damn, you're so weak," komentar Virly jelas kecewa.
Sementara si kembar terlihat senang sebab udah berhasil mengalahkan kami. Mana cepet banget lagi kalahnya.
Gue memberi Virly sorot menyesal. "Kan udah gue bilang gue gak bisa main game. Boro-boro Mobile Legend, deh. Gue ngelawan temen main lempar pisau aja selalu kalah di Hago."
Banyak suara tertawa bersahutan seusai kalimat itu gue utarakan.
"Bahkan di Hago aja elo kalah?" tanya Kak Kiel dengan raut nggak percaya yang nyebelin.
"Beneran payah berarti," sambung Leon seraya mengambil HP miliknya yang gue pakai untuk menerima tantangan mabar Mobile Legend.
Yah, gue nggak bakal menyangkal hal itu, deh. Beda sama mereka yang menurut penjelasan Saga--sebelum kami memulai sesi mabar tadi, emang sering sama-sama online buat mabar. Bahkan katanya Om Fandy dan adik-adik si kembar lainnya pada ikutan. Kebetulan sehobi, sih. Sama kayak Vano dan Setya, lah. Satu hobi nge-game, ya nyambung dan imbang aja setiap main bareng.
"Kalo urusan game, dia emang payah. Tapi coba kalian ajak dia ngobrol dengan topik One Piece, nyambung pasti sampe 10 kali Natalan," ungkap si Bangsat yang spontan bikin Kiel mendelik antusias ke arah gue.
"Oh, iya. Elo suka sama One Piece 'kan, Fer? Gue juga Nakama, loh!"
Pengakuan Kak Kiel membuat gue balik menatapnya girang. "Serius?"
ASIK! KETEMU SESAMA NAKAMA LAIN!
"Geez. Wibu!" Virly memilih cabut dari obrolan perwibuan kami.
"Padahal elo juga suka Haikyuu!" Sahutan Leon sekadar dibalas acungan jari tengah oleh Virly.
"Virly juga wibu?" Gue bertanya lagi seraya melihat Virly yang sekarang bergabung duduk dengan Layla, Angela dan Queena.
"Dia wibu jalur penyembah cowok suka olahraga. Husbunya TACHIBANA MAKOTO!" sorak Kak Gazbiel heboh sampe bikin anak-anak yang sedang mengejar Yellow menoleh semua ke posisi kami.
"Berisik, Biel!" omel Yuri sambil mendelik. Katanya dia lagi bikin konsep konten baru selaku seorang Vtuber.
"Oh, iya. Elo 'kan juga wibu, Ri. Tapi dia susah diajak hype One Piece, sih. Lebih seneng nonton anime yang cepet tamat." Kak Kiel menjelaskan yang cuma dibalas pendelikan oleh Yuri, masih merasa terganggu. "Tokoh favorit lo di One Piece siapa, ngomong-ngomong? Fer?"
Oh. Dia nanya. "Nami," jawab gue lalu menambahkan, "Tadinya Ace, sih. Tapi dia udah gugur dan gak pernah muncul lagi di--"
"SAGA, LET ME HAVE YOUR BOYFRIEND, PLEASE!" Kak Kiel mendadak menerjang badan gue dan menyuarakan pekikan heboh barusan. "Gue butuh pendamping hidup sesama pecinta Portgas D. Ace."
Akibat shock, gue terlalu lamban untuk mencerna situasi saat ini sampai Saga tau-tau menarik paksa cowok berambut pirang kecokelatan ini menjauh.
"YOU, STAY AWAY FROM HIM! RIGHT NOW!"
"Laporin ke Kak Erica. Kak Kiel ada niat mau punya cowok!" seru Leon sambil mengarahkan kameranya ke arah kami.
NGAPAIN SIH INI ORANG! Eh, sebentar.
"Erica itu siapa?" tanya gue yang udah aja berada di rangkulan si Bangsat.
"Ceweknya Kiel, Erica Narumi."
Jawaban dari Biel mengejutkan gue. LOH, JADI KIEL UDAH PUNYA CEWEK?
"Ci Erika punya akun YouTube pake nama itu. Cek aja. Banyak kok video mereka berdua," imbuh Saga menjelaskan yang sekadar gue respons anggukkan.
"Jangan lupa subscribe channel YouTube kami juga. KielBiel." Mendadak si kembar promosi di hadapan gue tanpa lupa menyertakan gambaran channel YouTube mereka dari HP masing-masing.
Subscriber-nya udah 600 ribu lebih? GILA!
"Kill Bill!" celetuk Yuri sambil menendang bokong kedua kakaknya yang terus bikin dia terganggu. "And I'm gonna kill you both for sure kalo kalian mau terus berisik!" amuknya dengan pelototan garang.
Kiel dan Biel cuma cengar-cengir. "Kami tunggu elo bikin channel mukbang, Fer. Siap subscribe!" ujar mereka kompak lagi.
"AKU JUGA SIAP SUBSCRIBE!" Queena berteriak dari kejauhan, nimbrung.
Yakin bener mereka kalo gue bakal bikin channel mukbang. Nonton aja gue udah jarang, jangankan bikin channel sendiri.
"Atau mungkin, kamu sama Saga bisa bikin vlog bucin aja? Kalo emang gak bisa bikin channel mukbang." Queena yang sekonyong-konyong bergabung dengan kami mengutarakan saran yang agak membuat gue mendelik heran.
Eh, gimana? Gue disuruh ngapain?
"Kids!"
Belum selesai gue mencerna maksud perkataan Queena, seruan dari Tante Cyntya mengalihkan seluruh perhatian orang-orang di sekitar gue yang lalu sigap beranjak dan berlarian.
"Oh. Udah mau berangkat?"
Tanya yang Leon desiskan bikin gue bertanya pula pada Saga. "Ke mana?"
"Belanja!" Kak Kiel yang menjawab.
"Gue ikut?" sekali lagi gue bertanya.
"Wajib ikutlah! Elo'kan udah kita anggap sepupu ipar!" respons Kak Kiel sambil melangkah mundur menjauh lalu berbicara lagi, "By the way, Feryan. Gue nanti bakalan follow akun Instagram lo, ya. Jangan lupa follback."
Kak Biel menyambungkan, "Sejak lama sebenarnya kita udah mau follow, tapi dilarang melulu sama cowok lo yang posesif itu." Dengan sengaja Saga ditunjuk. Yang lalu mendapat balasan sebuah jari tengah.
"Takut kalah saing emang."
"Iyalah. Kita 'kan lebih ganteng dari dia."
Melihat adik sepupunya siap melawan, mereka tertawa-tawa kemudian berbalik untuk berlari sekencang-kencangnya.
"Padahal gue juga nggak melulu tertarik ke cowok ganteng," cakap gue lebih kepada diri sendiri.
Sayangnya, seseorang jelas nggak senang mendengar hal itu.
"Jadi menurut lo, mereka emang lebih ganteng dari gue?"
Gue mengerling si Bangsat malas. "Mau bohong juga gimana, Saga. Emang mereka lebih ganteng," cecar gue berterus terang, lantas melirik Leon yang baru selesai membereskan barang-barangnya melenggang di depan kami. "Bahkan Leon juga lebih ganteng dari elo, tuh."
"NANI?" Leon berjengkit menangkap komentar gue, setelah itu berbalik secepat kilat sambil mengangkat sebelah telapak tangan. "Tolong kalian tidak usah membawa-bawa nama saya dalam prahara rumah tangga kalian, ya. Saya tidak tertarik. Bye."
Dan begitulah, Leon pun buru-buru menghilang dari pandangan kami. Meski tatapan sengit Saga masih mengikuti setiap pergerakan cowok yang menurut gue mirip Oh Sehun EXO itu--seolah-olah gue bakal direbut oleh dia kapan aja.
"Aku mau nebeng di mobil Saga, dong. Boleh, ya?"
Lah, ternyata si Queena masih ada di sini. Gue kira dia udah duluan pergi ke depan.
"Get lost, Queen!" sembur si Bangsat menumpahkan kekesalannya pada Queena yang sontak cemberut. "Gak ada yang boleh semobil sama gue dan Ryan. Udah cukup kalian banyak ngeganggu dia hari ini."
Gadis yang memiliki tahi lalat di bawah mata kirinya itu mendengkus. "Geez, dasar pelit. Ya udah, deh. Aku nebeng Mas Jimmy aja," ujarnya yang sesudah itu berlalu pergi dengan langkah menghentak.
Gue sekadar menggeleng masygul lantas menyeret Saga pergi. "Ayo, buruan. Nanti kita ditinggal sama yang lain."
"Tapi gue lebih ganteng, 'kan?"
"TCK! BROOK YANG LEBIH GANTENG!"
"WHAT? Dia 'kan cuma tengkorak hidup!"
"Habisnya elo kebanyakan bacot! Udah, buruan!"
.
Senyum gue nggak kunjung luntur lantaran tengah membaca rentetan DM dari para sepupu Saga yang meminta gue mengikuti balik akun Instagram mereka. Bahkan beberapa udah ada aja yang menyebut nama akun gue di IG story mereka--disusul mengirim DM lagi yang meminta gue me-repost. Ada yang meminta juga nomor WA gue sekalian. Bahkan alamat rumah pun nggak ketinggalan. Jaga-jaga katanya siapa tau nanti mereka mau mampir atau ngirimin gue kado. Kan katanya 6 bulan lagi gue ultah. Konyol banget.
Urusan membalas DM gue akhiri dulu, untuk kemudian mengajak si Bangsat yang tengah mengemudi mengobrol. "Keluarga elo, bener-bener orang yang baik, ya."
"Hmm?" Saga yang sedari tadi gue anggurin menoleh ke gue dengan agak kaget. "Kenapa?"
"Keluarga lo, Saga." Gue jadi terkekeh mendapati reaksi sok linglungnya. "Gue pikir yah ... cuma Om Julius aja orang baik dari keluarga Fransiskus. Lo taulah, pikiran jelek gue. Nganggap bahwa ayah lo satu-satunya orang baik di keluarga besarnya--soalnya 'kan ayah lo baiknya emang kebangetan. Karena gue yang belum pernah ketemu mereka. Elo jarang ngomongin mereka. Jadi gue kira, hubungan elo sama mereka kurang baik. Apalagi Kak Jimmy dan Adam juga sifatnya agak begitu."
Mendengar penuturan gue, senyumnya mengembang dengan bangga. "Well, pada akhirnya elo bisa menilai sendiri, 'kan? Kalau keluarga McLauren terdiri dari orang-orang sadis, maka keluarga besar Fransiskus adalah kebalikannya. Meski gue akui, ada beberapa dari kami yang sifatnya gak baik-baik amat, but if it's about family, we're always gonna love them as much as we could. Sejak Mommy nggak ada, malah Tante Cyntya lah yang sebetulnya menggantikan posisi Mommy. Seenggaknya sampai Tante akhirnya hamil anak keduanya."
Gue sedikit membelalakkan mata mengetahui hal itu. "Jadi, sebelumnya Tante Tya pernah tinggal di sini?"
Angukkan diberikan. "Iya. Itulah kenapa, bisa dibilang, Tantelah orang yang paling nggak sabar mau ketemu sama elo. Sejak dulu. Sejak pertama kali gue ngasih tau mereka bahwa gue udah punya pacar, di perayaan Natal kami di tahun awal kita pacaran. "
"Lo langsung ngasih tau tentang gue gitu?"
"Yes, but no? Gue hanya bilang bahwa gue punya pacar. That I now have a lover. But I didn't mention about the gender though. Waktu itu masih Daddy seorang yang tau faktanya. Barulah ketika kita semua terjebak untuk stay at home because of covid, dan komunikasi di antara kami terjalin lebih sering dari biasanya, I'll start to tell them everything. About you, about us." Dia bercerita sambil sesekali melirik gue dan melanjutkan, "Andaikan waktu itu nggak ada larangan dari gue, Tante Cyntya tadinya mau langsung terbang ke sini. Mau ketemu sama lo. She said, "I wonder what kind of person he is? That can makes my boy sound so happy everytime he talks about him." Something like that."
Mendengarnya, paras gue jadi mendadak menghangat gitu aja. "Bacot!" sungut gue jengah selagi melayangkan pukulan laun padanya.
"Hey! I'm serious, Babe! Gue gak bohong."
Namun, melihat keseriusan dari caranya berkisah, gue nggak memiliki pilihan selain untuk percaya. Toh gue telah melihat sendiri bagaimana orang-orang dari keluarga si Bangsat menyambut hingga memperlakukan gue. Sekalipun mereka tau gue seorang gay, bahwa gue sebagai cowok yang biasa-biasa aja ini berpacaran juga dengan anggota keluarga cowok mereka yang sungguh luar biasa berbeda dari gue, gak ada segurat pun ketidak-sukaan mereka tujukan terhadap gue.
Jadi, gue menghela napas lega. Merasa beruntung sekaligus bersyukur menyadari gue bisa berada di titik ini.
"Thank you."
"For what?" balas si Bangsat atas ucapan terima kasih gue yang terkesan tiba-tiba.
Gue nyengir padanya. "Makasih. Karena berkat elo, sebagian banyak rasa takut gue udah lenyap gitu aja. Karena keluarga lo. Kebaikan mereka. Sifat ramah dan penyayang mereka. Intinya, gue bersyukur. Dan rasa syukur ini gue tujukan paling banyak ke elo. Sebab elo yang bikin ini semua terjadi."
Dia turut nyengir seraya mengusap-usap puncak kepala gue. "My pleasure. I'm happy to introduce you to all of them."
Lalu cengiran gue sedikit demi sedikit raib mengingat ada hal lain yang harus gue sampaikan. Mula-mula, gue menarik napas sebelum ragu-ragu berujar, "Dan maaf, karena gue juga nggak bisa berbuat apa-apa untuk menghilangkan rasa sedih lo."
Dia mengernyit. "What are you talking about?"
"Tentang mommy elo."
Dapat gue lihat, pegangan Saga di kemudi mengencang.
Jadi, gue sigap memegangi lengannya. "Gue paham kok perasaan lo gimana berada di tengah-tengah ini semua sedangkan elo sendiri masih merasa ada sesuatu yang kurang."
Menangkap kalimat gue, Saga tampak menghela napas cukup berat. Dia menggelengkan kepala secara nanar. "That's okay. Gue udah biasa melewati momen seperti ini, kok. Walau yah, perasaan sedih itu selalu ada. I think, it's because I'm just too weak?"
Tangannya gemetaran. Matanya udah aja memerah. Gue tau nggak semestinya topik ini dibicarakan. Tapi sisi lain diri gue meyakinkan bahwa ini perlu dilakukan.
Gantian, gue yang menggelengkan kepala. "Nggak. Itu karena elo sangat sayang ke mommy lo. Dan itu wajar."
Helaan napas sekali lagi Saga ambil. Kali ini, terasa lebih berat. Dia menggigit bibirnya sendiri sembari melirik gue sekilas dengan kedua matanya yang semakin memerah akibat menahan tangis. "So, it's normal, right?" tanyanya dengan suara yang udah aja parau.
"Iya." Gue memberinya anggukkan lembut. "Jadi ... elo kalo emang mau nangis juga nggak apa-apa. Gue di sini."
Nggak lama setelahnya, mobil segera ditepikan oleh Saga menuju ke jalan di dekat POM bensin yang kebetulan kami lewati. Membiarkan mobil-mobil lain mendahului kami. Mengabaikan suara klakson yang diperdengarkan entah oleh mobil siapa. Fokus gue kini hanya pada Saga. Yang telah melepaskan pegangannya dari kemudi sebab tangannya gemetaran hebat. Dan air matanya setetes demi setetes berjatuhan membasahi pipi.
"Is it really okay?" tanyanya sekali lagi sembari menatap gue dengan sorot penuh luka.
Dan sekali lagi, gue mengangguk seraya merentangkan tangan. "It's okay. Come here."
Kemudian Saga menjatuhkan kepalanya ke dada gue. Perlahan, guncangan dan gemetaran di sekujur badannya kian kencang seiring dengan isak tangisnya yang mulai terdengar. Tersedu-sedu selagi memeluk erat tubuh gue. Dengan gue yang nggak henti mengusap-usap kepalanya.
"I wish ... Mommy is here with us," ungkapnya di tengah-tengah isakan.
Isakan paling memilukan yang pernah gue dengar dari seorang bangsat Juanda Andromano Saga Fransiskus. Isak penuh kerinduan, kehilangan, sakit, terluka, bercampur amarah dan kecewa. Atas keadaan, ketidak-adilan serta mungkin kedukaan yang dialami olehnya. Yang nggak kunjung meninggalkan perasaannya.
HP si Bangsat tiba-tiba berdering yang spontan gue ambil dan angkat. Ini dari Om Julius.
"Halo, Saga? Why did you stop your car?"
"Halo, Om? Ini Feryan," balas gue sambil masih terus mengelus-elus kepala cowok gue. "Maaf, nanti Saga sama Feryan nyusul, ya. Saga ... dia lagi butuh waktu buat menenangkan diri."
Mendengar jawaban gue, pun gue yakin Om mampu menangkap suara tangis putra semata wayangnya, membuatnya diam cukup lama. Lantas memperdengarkan embusan napas panjang. "Baiklah, om mengerti. Om titip Saga ya, Feryan. Terima kasih."
Sambungan dimatikan. HP gue taruh ke tempat semula. Lanjut memeluk si Bangsat yang masih terus menangis. Membiarkan dia meluapkan segala kesedihan yang membelenggunya.
Haaah. Setelah semua kebahagiaan yang dia peruntukkan ke gue hari ini. Jelas gue turut dilanda perih melihatnya menangis sememilukan ini. Tapi nggak apa-apa. Karena gue ada di sini.
Tuhan, tolong biarkan hamba terus menemani cowok ini dalam setiap suka dan duka yang melandanya. Walau hamba sadar sebentar lagi jarak akan mulai menghalangi ikatan di antara kami, hamba harap, itu nggak akan menjadi pemecah dari hubungan ini. Sebab gue ingin selalu menyatu dengannya. Cinta, jiwa, raga, semua yang ada dalam dirinya.
Hanya Saga.
___see you again at next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com