8. PERPISAHAN
Iya, tau. Kalian pasti ada feeling nggak enak cuma ngeliat dari judulnya aja. Dan biar aku kasih tau, feeling kalian emang bener, kok. Ehehehe
Semoga bab ini nggak mengecewakan penantian kalian. Jadi, sebagai penulis yang nggak sempurna dan sangat penuh kekurangan ini, aku minta maaf karena cuma ini yang bisa aku berikan untuk kalian. Sementara ini.
Tetap, semoga kalian bisa menikmatinya dan masih bersedia meninggalkan vote serta komen tanpa keberatan.
Last, happy reading! ♥️
_____
"Fery, ini pesenan buat Bu Nurmala. Rumahnya di blok E nomor 22 itu, ya. Sama ini, di komplek seberang. Namanya teh, Bu Lela. Gang Mawar nomor 3A ceunah."
Gue menerima dua paket kosmetik pesanan dari dua orang yang namanya Mamah sebutkan tadi. Meletakannya secara hati-hati ke dalam jok motor yang udah gue ganjal pakai spons, setelah itu gue memakai masker.
"Ya udah, Mah. Kalo gitu Fery anterin pesenan dulu, ya. Assalamu'alaikum." Tangan Mamah gue cium sebelum berbalik pergi.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati naik motornya. Jangan ngelamun, Fery!"
Pesan Mamah itu selalu gue tanggapi melalui anggukkan, akan tetapi praktiknya nggak selalu sesuai dengan tindakan. Sebab sulit bagi gue untuk nggak melamun selama berkendara menggunakan sepeda motor yang pemiliknya selalu gue ingat dan rindukan setiap saat.
Juanda Andromano Saga Fransiskus.
Gimana kabar lo sekarang? Elo lagi ngapain? Di UK sana, elo nggak selingkuh dari gue, 'kan? Apakah elo juga kangen ke gue? Apakah elo juga mikirin gue setiap waktu seperti gue yang gak pernah lupa mikirin diri lo?
Teringat, beberapa bulan yang lalu, pada masa di mana Saga berpamitan untuk pergi di hadapan gue dan Mamah. Sambil lagi dan lagi, tanpa ada habisnya meminta maaf atas dosa yang sebetulnya nggak dia perbuat. Karena dia mengira ...
...kepergian almarhumah Nenek merupakan kesalahannya.
Akhir Mei tahun 2020 lalu, gue, Saga, Om Julius, Mamah serta Nenek secara serempak dilarikan ke rumah sakit untuk melakukan isolasi mandiri. Semuanya bermula dari Om Julius yang menampakkan gejala positif covid pada pagi di hari pertama gue menginap yang seketika menimbulkan panik masal.
Antara gue, Saga, keluarga gue hingga kawan-kawan kami yang sehari sebelumnya juga berkumpul bersama-sama.
Sesuai dugaan, kami semua dinyatakan positif covid walaupun hasil tesnya keluar di hari yang berbeda-beda. Dari Om Julius, Saga, menyusul Mamah, lalu gue dan terakhir Nenek ... yang kondisinya serta-merta drop dan membuatnya harus dilarikan ke ICU.
Bisa bayangin gimana kacaunya kondisi gue saat itu?
Lagi isolasi bareng Mamah dan yang lain, tapi gue nggak bisa ngejenguk Nenek barang sebentar pun hanya untuk memastikan keadaannya. Cuma mampu mendengar dan menyimak laporan mengenai hasil perawatan Nenek yang memiliki kondisi yang jauh lebih parah dari dugaan kami semua. Sekalipun Om Julius memohon kepada para dokter untuk melakukan perawatan maksimal, tetap aja nggak sanggup menolong Nenek dari rasa sakit yang dia derita.
Seorang diri.
Pada hari kedua sejak Nenek dilarikan ke ICU, gue dan Mamah diberi kabar bahwa beliau nggak bisa diselamatkan.
Nenek gue meninggal dunia tanpa ditemani sosok anak ataupun cucu di sampingnya. Bahkan ketika akhirnya Nenek dikebumikan pun, gue dan Mamah sama sekali nggak bisa turut mengantar. Sekadar mampu menangis, meratapi kehilangan kami yang rasa sakitnya jauh lebih memilukan ketimbang virus yang sedang mengisi tubuh kami pada hari itu.
Gue menyalahkan keadaan, diri sendiri, hingga peraturan rumah sakit yang sebegitu kejamnya nggak bisa mengizinkan kami melihat Nenek meski cuma barang sebentar. Mamah yang meraung-raung sampai nyaris bersujud pun nggak mendapatkan kemudahan sama sekali.
Nenek yang pergi tanpa sanggup kami temani meninggalkan penyesalan yang masih membekas bahkan hingga detik ini. Bagi diri gue pribadi.
Sekalipun kami udah berziarah ke makam Nenek sepulangnya dari rumah sakit. Walaupun gue udah meminta maaf sampai ngabisin air mata dan netesin ingus gak guna ... masih, rasa sakitnya nggak kunjung habis.
JELAS MUSTAHIL INI BISA TEROBATI DENGAN MUDAH, YA SETAN! MUSTAHIL!
Nenek adalah sosok yang selama ini mengisi kehidupan serta hari-hari gue. Senantiasa merawat, menyayangi dan memberikan perhatian tanpa pamrih. Gue maunya, seenggaknya, gue bisa nguatin Nenek sewaktu dia sakit. Bilang bahwa gue sayang ke dia meski untuk yang terakhir kali. Membisikkan kata maaf ke Nenek sebab jelas gue ada banyak salah. Meminta supaya Nenek bertahan lebih lama agar bisa terus menghiasi hari-hari gue seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, mengapa nasib justru nggak mendukung harapan gue sedikit pun?
Takdir hidup betul-betul kejam terhadap gue.
Namun, dibanding perpisahan abadi yang gue dan Nenek alami, kejadian yang berlangsung pada hari-hari berikutnya antara gue dan si Bangsat jauh lebih melelahkan sekaligus menguras emosi.
"If only ... kalo aja elo dan gue gak pernah saling kenal, gue yakin Nenek pasti masih akan hidup sampai sekarang. Maaf, karena kecerobohan dan keegoisan gue sampe bikin elo harus mengalami banyak hal menyakitkan. Maaf, Ryan. I'm ... really sorry."
Saga mengucapkan itu tepat di depan wajah gue. Sambil menangis dengan suaranya yang parau, seakan-akan memelas meminta belas ampunan padahal gue nggak pernah sekali pun ada pemikiran tentang menyalahkan dia.
Bangsatnya gue menyimpulkan bahwa ini semua salahnya sebab dia yang merasa telah memulai segalanya. Dari sejak mengajak Om berkunjung ke rumah gue, menyusul mengajak kawan-kawan kami berkumpul di rumahnya. Sedangkan siapa yang tau, tanpa dia melakukan itu pun, bisa jadi cepat atau lambat virus tetap akan menjangkiti kami, 'kan? Toh, penyebarannya sering nggak keduga-duga.
Tetapi toh, gue dan yang lain nggak ada satu pun yang berhasil menyadarkan Saga mengenai hal itu. Dia tetap bersikeras menyalahkan diri sendiri. Mulai menjaga jarak dari gue dan yang lain atas dasar perasaan berdosa, lalu sekonyong-konyong mengumumkan bahwa dia telah berubah pikiran.
Bahwa dia ... berniat melanjutkan untuk tetap kuliah ke UK.
Bahwa dia lebih memilih pergi meninggalkan gue lantaran udah nggak sanggup dihantui rasa bersalah.
Dia melarikan diri saking nggak sanggup mencari cara lain demi memaafkan dirinya sendiri.
Sementara di lain sisi, nggak ada satu hal pun yang mampu gue lakukan untuk menahannya. Terlebih, itu murni keputusan yang diambilnya sendiri. Om Julius aja bercerita dan turut meminta maaf sebab dia nggak bisa membuat putranya tetap tinggal.
Gue bilang, "Nggak apa-apa kok, Om."
Sambil nangis melihat foto punggung Saga yang berhasil Om Julius abadikan pada hari di mana dia berangkat ke UK.
Meninggalkan gue di sini tanpa mendapatkan kabar apa pun dari si Bangsat. NGGAK ADA SAMA SEKALI.
Sesuai dengan pesan terakhir yang dia sampaikan pada gue. Tentang dia yang masih butuh waktu. Katanya, "Jika gue udah siap, kalau udah waktunya, gue pasti akan ngehubungin elo, Ryan. So please, biarin gue. Maaf. I love you and ... jaga diri lo baik-baik selama kita berjauhan. Ya? Elo bisa janji 'kan sama gue?"
Selama itu pula, gue memegang janji kami sebaik-baiknya. Membiarkan dia bergelut dengan waktu yang dia butuhkan hingga tiba masa dia akan datang kembali menyapa gue. Apa pun permintaan darinya, semua rela gue lakukan sebab gue percaya dan cinta mampus ke dia, toh. Yang jadi masalah itu cuma ...
"BERAPA LAMA LAGI WAKTU YANG ELO BUTUHIN SIH, BANGSAT? CAPEK GUE NAHAN KANGEN, NAHAN SANGE, NAHAN SEDIH, NAHAN EMOSI, SEMUANYA! CUMA GARA-GARA ELO DOANG!" jerit gue murka masih sembari berkendara. Mengabaikan pandangan heran orang-orang yang berlalu-lalang di sekitaran.
BODO AMAT! Gue mau ngamuk, ya!
Udah segala cara gue lakuin, tepatnya, kawan-kawan kami lakuin demi menarik perhatian si Bangsat. Dari mulai bilang gue sakit parah--aslinya gue cuma batuk pilek doang, yang mana gak direspons dong. Disusul ngasih tau bahwa gue bokek parah, dan hasilnya Om Julius ngasih modal usaha buat gue dan Mamah bertahan di masa pandemi ini. Terus segala ngadu bahwa gue ke mana-mana susah jadi kasihanilah gue yang sering kecapeam, lalu sebagai gantinya gue jadi dikasih motor milik si Bangsat. Sampe kami kehabisan ide lantas nekat memanfaatkan sosok Benjo dengan ekspektasi bisa bikin Saga cemburu.
Hasilnya apa? KAGAK ADA, COI. Boro-boro cemburu, dia ngasih balasan ke grup chat pun gak pernah satu kali pun sejak tiba di UK.
Itu cowok emang beneran minta dihajar ginjalnya. Arrrrghhh! Stres gue.
Tck. Capek 'kan gue jadinya. Setiap detik, menit, jam, hari, ini aja yang gue pikirin. Gak ada habisnya bener.
Napas gue tarik-embuskan secara perlahan tapi pasti seraya mengeratkan pegangan pada setir motor yang mendadak mulai kehilangan keseimbangan disebabkan gue yang menjadi kian galau. Dan ini semua terjadi disebabkan oleh satu sosok manusia bangsat.
Cowok yang paling gue sayang dan rindukan. Saga.
"Mau sampe kapan elo bakalan nyiksa gue kayak gini, cowok setan?" maki gue sembari menangis terisak-isak.
Kampret!
Pandangan gue jadi buram 'kan.
Sebelah tangan gue gunakan untuk mengusap air mata yang seakan nggak ada bosannya terbuang cuma demi menangisi si Bangsat yang entah lagi ngapain di luar negeri sana sekarang. Setelahnya, beralih memegangi cincin kalung yang gak pernah sekali pun gue lepaskan. Demi menguatkan serta meyakinkan diri bahwa Saga pasti akan kembali.
"Elo ... masih sayang 'kan sama gue? Masih cinta 'kan sama gue?" bisik gue pada udara kosong sambil agak menerawang. "Hubungan kita ini ... sampe kapan bakalan bertahan dengan elo yang gak kunjung ngasih kabar? Seenggaknya, say hi, kek. Bilang elo lagi sange, kek. Apa kek." Tangisan gue kembali pecah.
Cara apa lagi yang harus gue lakuin supaya bisa menyadarkan elo bahwa ini semua bukanlah salah lo, Saga? Coba bilang. Jangan cuma diam. Batin gue merengek.
Ketika gue berniat menghapus lagi air mata lantaran gak tahan jadi pusat perhatian--ditambah pandangan juga jadi makin burem, suara ponsel yang berdering dari dalam kantung celana justru mengalihkan fokus gue.
Gue meneguk ludah. Deg-degan nggak keruan sebab penasaran.
Apakah ini telepon dari Saga? Jelas bukanlah, ya. Tapi kalo iya darinya, gimana? Sia-sia banget kalo sampe nggak diangkat.
Aduh, bingung gue.
Angkat, nggak?
Angkat ... nggak?
Perlu diangkat atau ngg ... DINN!
Gue terlonjak hebat lalu refleks berbelok ke kiri karena tadi nyaris aja menabrak mobil penyedia gas LPG yang sedang parkir di depan sebuah ruko. Huh! Hampir aja gue nabrak ... DINN!!!
Oh, Nenek.
BRAKK!!
Tubuh gue terpental cukup kuat dari atas motor ke samping kanan, lalu berakhir tergeletak secara kasar di jalanan dipenuhi rasa sakit yang terasa di berbagai titik di badan. Mendengar suara orang-orang yang saling menjerit, dibarengi suara langkah kaki yang sepertinya mulai mendekat kemari, juga dering ponsel yang masih nggak berhenti berbunyi.
Namun, yang gue bisa lakukan hanya berbaring di jalanan keras ini. Membaui aroma darah. Merasakan nyeri di kaki, kepala, hingga tangan. Kemudian meringis tertahan tanpa mampu bergerak barang sejengkal pun. Cuma bisa memandangi langit mendung yang semakin lama tampak makin menggelap.
Ah, gue takut. Gue nggak mau menutup mata, tapi rasanya sulit berusaha terus membukanya. Gue ... nggak mau pergi. Tolong, biarin gue tetap sadarkan diri.
"Nek, jangan bawa Fery pergi. Seenggaknya, sebelum Fery bisa ketemu Saga lagi."
---Bersambung
Sebelum kalian mengeluhkan protes dan marah-marah, biar sekali lagi aku ingatkan bahwa aku merupakan penulis yang sangat gak sempurna bin kurang wawasan yang nggak becus menuliskan adegan rumit. Jadi, satu-satunya solusi yang bisa aku ambil adalah dengan cara melakukan time skip pada konflik cerita ini.
Maaf, adegan di rumah sakit saat mereka melakukan pemeriksaan dan diisolasi gak sanggup aku tulis sebab kepalaku keburu migrain bahkan sekadar membayangkannya. 😭
Iya, aku emang payah. MAAF.
Andaikan kondisi covid ini terjadi di latar 2021, aku masih sedikit bisa bikinnya. Sayangnya, karena yang terjadi pada cerita SBKB#2 sekarang adalah di latar 2020, jujur aja aku kewalahan. Tapi perlu diketahui, mau ini di-time skip ataupun nggak, isi konfliknya tetap akan terjadi dengan alur yang seperti ini, ya. Nenek meninggal. Saga kabur ke UK. Lalu Ryan kecelakaan. Semua udah dibuat sesuai rancangan, cuma eksekusinya aja yang beda-beda soale aku gak becus merangkainya. Hiks 😥😥😥
Sekali lagi, aku minta maaf.
Dan bila berkenan, tolong tinggalkan kesan, komentar serta kritik saran kalian untuk kisah SagaRyan yang sedang menggalau ini. ♥️
Sampai jumpa pada bab berikutnya~ 🥰
TERIMA KASIH BAGI YANG MASIH SETIA MENANTIKAN KISAH MEREKA. I LOVE YOU BANYAK-BANYAK. 😘🥰😍🤩♥️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com