Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

82. PENGURANGAN

Tolong vote sama komennya, dong. ಥ⁠_⁠ಥ
Aku lebih butuh banyak komen yang gak cuma minta aku update cepet. Huhuhu

Selamat membaca. ❤️
Dan semoga kalian nggak bakalan ikutan nangis kayak aku saat ngetik bagian cerita Arnando.

_____

Kami bertiga; gue, Setya dan Arnando kompak membatalkan rencana nonton film Sonic 2--yang tayangnya ternyata masih empat hari lagi--untuk nongkrong lagi di salah satu food court. Memilih posisi paling sepi yang mana tertutupi oleh pilar cukup lebar. Sekadar memesan es krim dan minuman, lalu memulai obrolan dengan gue yang punya sangat banyak pertanyaan untuk dilayangkan.

"Nah!" Gue duluan buka suara. "Elo udah putus sama Julian sejak awal tahun, tapi kenapa gak pernah cerita ke kita, Nand?" Tuntut gue nggak sabar.

Setya mendecak sampe urung menyuap Sundae yang dipesannya. "Itu 'kan hak dia untuk cerita atau nggak, Fer!"

Gue balas mendecak. "Iya, gue tau. Maksud gue, tuh ... seenggaknya Nando bisa curhat, 'kan? Karena gue yakin yang namanya putus tuh sakit," ungkap gue lantas melirik Nando yang sedari tadi cuma memainkan sedotan pada gelas cola dingin yang dia pesan.

Agak berat, Arnando menghela napas sebelum menatap gue dan Setya dengan sorot sendu. "Justru karena itu gue nggak pernah berani cerita ke siapa-siapa. Enggak ke kalian ataupun Arima dan Jofan, juga yang lain." Senyumnya tampak getir ketika berkata, "Karena sakit."

Melihat senyum pada sosok yang gue ketahui betul memiliki pribadi periang dan cukup berisik ini, sedikit seolah mampu menularkan sakit yang dirasakannya. Yakin, apa pun yang bakal Nando ceritakan bukanlah perihal enteng yang bisa diterima dengan mudah bahkan oleh dirinya sendiri.

"Apa yang terjadi sama kalian emangnya?" tanya gue lagi dengan nada lebih pelan. "Hubungan kalian udah jalan enam tahun 'kan, masa iya putus gitu aja?"

Nando menggeleng-gelengkan kepala, terlihat bingung serupa gue. "Gue juga masih suka bertanya-tanya tentang itu. Malah sampe detik ini." Lagi, dia menghela napas. "Lebih ke; kurang gue apa, sih?"

Gue dan Setya sontak terlonjak mendapati satu pemahaman dari ucapan Nando barusan.

"Berarti, Julian yang mutusin elo?" Satu kesimpulan Setya ambil yang langsung dibenarkan oleh anggukkan cowok berdarah Cina-Amerika-Indonesia-Turki di samping kami.

"Iya." Dapat gue lihat jelas gimana bibir Arnando bergetar sewaktu mengatakan, "He ... he already had somebody else. Somebody that, dunno, perhaps who can understand and love him more than me? Intinya begitulah. Gue juga bingung gimana cara bilangnya."

GIMANA, WOI? SI JULIAN APA, KATANYA? WAH, SIALAN! EMOSI GUE MULAI NGGAK BISA TERKONTROL, NIH!

"Si Anjing. Jadi dia selingkuh dari elo?" cetus gue sampe rasanya pengin meremukkan gelas yang gue pegang saking kesal. Kalo bisa sih gue lempar ke Singapura biar langsung mengenai si Julian dan kepala berotak gobloknya.

NGGAK TERIMA, ANJIR! MASA IYA SI NANDO DISELINGKUHIN? Diputusin, okelah. Mungkin mereka emang udah gak sejalan. INI DISELINGKUHIN? NGADA-NGADA ITU COWOK JELMAAN BATU SUNGAI!

Begitu anggukkan lainnya diberikan, baik gue ataupun Setya kompak berbagi sorot sengit berapi-api. MENDIDIH SUMPAH JIWA KAMI, NIH!

Pegangan Nando pada sedotan di gelasnya terasa kian gemetar. "Gue jahat nggak, sih? Jika berpikir bahwa yang seharusnya pantas ditinggalkan adalah dia? Setelah selama ini? Kesabaran dan kesetiaan yang gue beri ke Ian. Tapi kenapa gue masih aja kurang untuk dia? Why ..." Kedua matanya yang memerah memandang gue dan Setya bergiliran, seolah memintai pendapat kami. "Di Yogyakarta, nggak kehitung kali gue nolak ajakan nge-date cowok gay di sana. Nggak mau meladeni satu pun orang yang jelas mau PDKT sama gue. Tapi kenapa gitu, Ian gak bisa ngelakuin hal yang sama?"

"Duh, rasanya gue kepengin banget nonjok muka si kampret Julian," keluh gue bersungguh-sungguh.

Andai nggak ingat ada security, ingin rasanya gue ngegebrak meja ini sekarang.

Nando memaksakan senyuman dan merespons, "It's okay, Fer. Mungkin emang yang salah adalah gue."

"You can't just blaming yourself like that!" tandas Setya seraya memegangi pundak Nando, menatap cowok ini lekat-lekat. "Dia yang mutusin elo sekaligus selingkuh dari elo, masa iya ini salah elo, when obviously your ex is the asshole here. Screw him!" sambungnya dipenuhi ketegasan yang gue tanggapi anggukkan setuju.

Sedikit berhasil memunculkan senyum di bibir Nando yang wajahnya beneran tampak lesu. "Thank you, Set. Gue harap gue punya keberanian untuk bilang itu di depan mukanya."

Gue tersengih muak. "Bagusnya malah elo ludahin sekalian muka dia, Nand. Atau injek kontolnya, kek," timpal gue kemudian mendengkus keras. "Enak banget udah make elo bertahun-tahun, setelah nemu pengganti, elo dibuang gitu aja. Cowok setan!" maki gue betulan nggak terima sebagai sesama bottom.

Maksud gue, nih. Kurang kami apa, woi? Rela ngangkang, nungging, tengkurap, kesakitan dari berbagai posisi demi muasin dan manjain tubuh serta kontol cowok kami. Rela ngalah selalu nerima sodokan alih-alih nyodok karena takut bikin top gak nyaman kalo terus bertukar giliran. Lalu saat lubang kami mulai longgar dan mungkin dianggap nggak semenjepit dulu, lantas mereka seenaknya nyari pengganti gitu? COWOK JELMAAN KONTOL EMANG GAK TAU DIRI! Udah dipuasin sedemikian rupa ada aja nggak bersyukurnya.

"Emang top bajingan tuh ada aja, ya," celetuk Setya yang tau-tau udah aja menghabiskan segelas Sundae.

"Bajingan dan gampangan!" imbuh gue masih menggebu-gebu.

Melihat reaksi kami yang terlihat mendukung penuh dirinya membuat Nando melanjutkan cerita, "Kayaknya Ian emang udah ngerasain kekurangan dalam hubungan kami semenjak kami mulai LDR, sih."

Ada sensasi nggak nyaman yang gue rasakan gara-gara kata LDR yang Nando sebut-sebut. Lantaran gue sendiri juga tengah merasakan di posisi itu dengan si Bangsat.

"Kurang dalam hal?" Setya bertanya, mengharapkan penjelasan lebih.

"Semuanya?"

Nando kayak yang nggak yakin dengan jawabannya sendiri. Mungkin disebabkan seperti apa yang dia bilang: bahwa dia juga masih sering bertanya-tanya hingga sekarang.

"Terutama komunikasi di antara kami yang kalian tau sendiri gimana. Kesibukan bertambah, otomatis waktu ngobrol kami justru berkurang. Still, we try our best to be there for each other no matter what, yes. Mana gue udah bener-bener happy saat dia bilang bahwa dia mau ngenalin gue ke orang tuanya secara resmi. Sebagai pacar. Mau coming out, katanya. Like, finally, right?" Senyumnya merekah dengan binar yang berkaca-kaca sewaktu menyampaikan hal itu. "Akhirnya gue bela-belain datang ke Singapura, 'kan. Berniat ngasih surprise untuk Ian yang kebetulan juga lagi liburan bareng family dia di sana karena selama sebulan belakangan waktu itu komunikasi kami makin sedikit aja. Udah excited datangin apartemen tempatnya tinggal, ketemu sama Ian dan keluarganya sekaligus. But turns out, di sana dia malah udah coming out dengan ngenalin orang lain, as his boyfriend. That he already dated almost two month."

Gue spontan mengepalkan tangan sekuat tenaga selagi menelan ludah secara susah payah saking nggak sanggup membayangkan perasaan Nando saat itu.

Nando menengadah sebentar sebelum meneruskan, "Gue, jauh-jauh datang ke sana. I just want to met my Ian. I miss him so much. Kangen ngeliat senyumnya, denger suaranya langsung. But sadly, the first words he said to me when we got to meet each other again is; you also can found somebody else started from now, Arnand." Setitik air mata akhirnya mengalir dari sepasang mata cakepnya yang udah sangat memerah. "He called me Arnand instead of Ash. That hurts me more than his word. Because I realize, I no longer have special place in his heart. And I feel so pathetic." Nando menggeleng masygul seraya memainkan jemarinya sendiri. "Cincin pemberian dia. Lagu-lagu dan puisi yang dia ciptakan untuk gue selama ini. Semua ungkapan cinta dan perhatiannya yang bikin gue sayang setengah mati ke Ian ... udah gak ada artinya lagi. Gak ada arti--ha!"

Selanjutnya, gue dan Setya sigap membawa Nando ke dalam rangkulan serta pelukan kami. Membiarkan dia menumpahkan tangisan di hadapan orang lain. Menjadikan diri kami sebagai tempatnya melampiaskan kesedihan. Setelah selama berbulan-bulan ini dia pasti cuma menanggungnya seorang diri. Sebagai seorang cowok yang tegar dan ceria. Yang mungkin dikiranya, dia mampu menyembuhkan lukanya sendirian. Padahal jelas sulit.

Bayangin. Elo menjalin hubungan selama bertahun-tahun sama cowok lo. Menentang norma, menerima segala kekurangan dan sisi buruknya karena elo cinta. Nyaris selalu bersama-sama ke mana-mana dari SMP sampe SMA. Jungkir balik berjuang berdua bareng anak lain di JAJAJA. Hanya untuk berakhir berpisah dengan cara yang nggak bisa diterima?

Lebih dari itu semua, gue nggak menyangka apabila Julian bisa dengan tega menyakiti seorang Arnando Shen Michael sedemikian parah. Gue pikir dia pendiam. Diam-diam akan selalu mencintai dan memuja Nando sebagai cowok yang pacar gue sendiri akui pengin dia jadiin cowoknya. Tapi kok bisa-bisanya si Julian mencampakkan Nando gitu aja? Mana diputusinnya setelah Nando bela-belain ngedatangin dia ke negara seberang, anjir!

COWOK KEPARAT!

.

Sepanjang duduk di boncengan motor gue yang Setya kemudikan sembari memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan, sedetik pun gue nggak mampu melupakan cerita pilu yang Nando tuturkan ke gue dan Setya. Berberat hati pamit untuk pulang karena hari ini gue dan Setya harus sama-sama membantu Mamah kami mempersiapkan menu dalam rangka syukuran menjelang ramadhan di rumah. Tanpa lupa berpesan pada Arnando bahwa kami siap menyimak apa pun curahan hati yang ingin dibagikannya lagi kapan aja.

Bahkan begitu udah sampe di rumah, gue masih nggak dapat menghilangkan perasaan sesak yang seakan turut menulari hati gue. Berhubung gue juga lagi banyak kekhawatiran terkait LDR yang dijalani. Ditambah cerita dari Nando barusan. Efeknya nggak main-main. TAMBAH BIKIN OVERTHINKING, WOI! GAK BECANDA GUE!

Padahal Julian Nando ini digelari pasangan panutan oleh kami semua bukan tanpa alasan. Mereka pacaran udah yang paling lama di antara kami. Walaupun kepribadian mereka sangat bertabrakan, tapi itu nggak jadi penghalang bagi hubungan mereka yang langgeng dan adem ayem. Tukeran cincin udah. Pamer kemesraan di medsos sering walau agak kucing-kucingan. Kompak selalu di band mereka. Apa-apa dibicarain berdua, kentara banget saling sayangnya. LALU DUAARRR! MEREKA TERNYATA MALAH PUTUS? Jofan, Ajay sama Arima bakalan kejang mendadak kalo mereka tau hal ini. Cowok gue juga yakin bakal kaget banget.

"DORR!"

"Jembut kodok!" latah gue, terlonjak hebat sampe bikin kunci motor yang dipegang terlempar gara-gara dikagetkan oleh Mamah secara cempreng dari belakang.

"Ih, jorok!" tegur Mamah dengan cengiran usil. "Dari tadi bengong ternyata lagi mikirin jembut, ya! Meuni fulgar!"

Alhasil gue memandangnya sebal. Hadeeuh, si Mamah! Bisa-bisanya malah mikirin itu setelah tadi hampir bikin jantung anak semata wayangnya ini melayang ke Mars.

"Habisnya Mamah ngagetin Fery segala!" ujar gue sembari mengambil kunci dari lantai. "Fery kaget, refleks latah jadinya. Mamah juga kalo latah suka nyebut kontol."

Celetukan gue spontan membuat Mamah mendelik jengah. "Ih, fitnah! Enak aja! Kamu mereun itu mah!" Lalu berbisik. "Oh! Bu Farida yang suka latah begitu mah. Asli. Mamah sering denger, loh. Malahan semua jenis kontol dia sebutin. Meuni malu-maluin pisan."

Kontan aja gue ngakak mendengarnya. Tapi gue jelas paham maksud Mamah, sih. Sejak dulu Bu Farida emang begitu. Almarhumah Nenek aja mengakui bahwa latah Bu Farida suka bikin dia malu sendiri.

Reda dari tawa, gue menaruh kunci motor ke gantungan di dinding, sesudah itu duduk ke sofa.

Begitu teringat lagi mengenai cerita dari Nando, lantas bertanya, "Mamah ingat sama temen-temen SMP Saga, 'kan? Ajay, Nando, dan semuanya?"

Mamah tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Inget atuh! Kan mereka juga temen Fery. Walau Mamah gak sering-sering ketemu mereka, sih. Gimana kabarnya ya anak-anak itu sekarang?"

Alih-alih menjawab pertanyaan itu, gue lebih memilih melayangkan tanya lain. "Mamah tau Nando sama Julian, 'kan? Yang waktu itu pernah Mamah pergokin pake cincin couple samaan kayak Fery dan Saga?"

"Inget, inget!" Nada menjawab Mamah terdengar lebih antusias. "Mereka ge aslinya pacaran, 'kan? Udah tau mamah mah!"

Dugaan itu gue benarkan. "Mereka udah pacaran sejak SMP, Mah."

Mamah mendelik nggak percaya. "Asli? Langgeng pisan, ya," komentarnya takjub.

"Tapi mereka udah putus."

"Hah?" Kedua bola mata Mamah semakin melebar disertai ekspresi kaget luar biasa.

"Barusan Fery habis ketemu sama Nando. Dia cerita, ternyata mereka udah putus sejak awal tahun ini."

"Loh, kok? Kenapa? Naha?"

"Julian selingkuh, katanya."

Ekspresi Mamah berubah muram kini. "Ya Allah. Meuni karunya atuh Nak Arnando-nya. Padahal dia keliatan baik dan asik pisan anaknya."

"Iya, 'kan! Mamah juga mikir gitu! Fery kesel banget sampe rasanya mau ngehajar si Julian, Mah!" sahut gue nggak santai karena semua orang jelas bakal menyayangkan hal itu. Bawaannya emosi. "Dasar anjing, setan, babi, goblok gak ada otak, monyet autis, taik kambing buluk, bakteri me--"

"Udah, udah!" Mamah memutus rentetan makian yang gue lontarkan sambil melotot sok kesal. "Tuman, ah. Kalo ngatain orang teh semua yang jelek-jelek kamu sebut."

"Dia pantas digituin."

"Nak Nando atuh yang lebih pantes gituin mantannya mah. Fery jangan ikutan. Nanti malah kepengaruh. Gak bagus. Besok mau mulai puasa, jangan nimbun perasaan jelek dalam hati. Gak baik. Bismillah aja. Sebagai temen, doain semoga Nak Nando bakalan dapat kebahagiaannya lagi. Segera."

Nasehat itu tetap nggak mampu melenyapkan amarah gue yang lanjut menjelaskan, "Mau nggak ikutan kesel juga gimana sih, Mah? Dia yang udah secakep; sabar; baik; asik; pintar dan semenarik itu seenaknya aja diselingkuhin sama jelmaan siput gila? Terus diputusin habis Nando bela-belain nyamperin Julian ke Singapura coba!"

Kali ini Mamah mulai menunjukkan gelagat nggak suka. Mendecak, kemudian berkacak pinggang seraya mendesis sinis. "Aduh, naha mamah jadi ikutan greget, ya. Kalo anak mamah yang digituin, asa pengin nimpuk si Julian pake durian sama kulit-kulitnya."

"Nah, tuh. Mamah ngerti!"

Malah bagusnya kepala itu cowok dihantam pakai batu meteor sekalian. Enek gue sumpah.

"Moga aja Nak Nando nggak bakal terlalu berlarut-larut, ya," harap Mamah disertai senyum simpul. "Percaya aja. Orang baik ditakdirkan untuk bersama dengan yang baik juga. Artinya, dia tinggalin sama Julian karena Tuhan mungkin aja udah nyiapin sosok yang lebih segala-galanya untuk Nak Nando. Aamiin," sambungnya yang gue aminkan keras-keras dari hati yang terdalam.

Namun, inti cerita yang hendak gue sampaikan nggak hanya seputar topik Julian dan Nando yang putus hubungan, sih.

Ragu-ragu, gue kembali bicara, "Jujur aja, Fery jadi takut, Mah."

"Takut kenapa?" tanya Mamah yang urung kembali ke dapur demi menghadap gue lagi.

"Soalnya 'kan Fery sama Saga juga lagi LDR. Siapa yang tau kalo nanti di sana Saga--"

"IH! GAK BOLEH GITU! PAMALI!" Mamah menyela sambil memelototi gue. "Jangan suka mikir yang jelek-jelek, dibilangin. Nggak baik, Fery. Atuh ai kamu."

Gue menghela napas lesu. "Fery kepikiran aja, Mah. Nando sama Julian yang udah pacaran selama itu aja akhirnya bisa putus, gimana Fery sama Saga? Nando yang udah secakep itu aja masih diselingkuhin, gimana Fery? Iya, 'kan?" ungkap gue berterus terang.

Demi apa, pemikiran jelek itu beneran nggak mampu meninggalkan kepala gue sedari tadi. Payah emang. Ngeselin. Nyiptain masalah bagi diri sendiri aja.

Tiba-tiba Mamah menunjuk muka gue dengan sorot geli. "Aduh, anak mamah mulai insinyur, yah."

"INSEKYUR!" koreksi gue kepalang ngegas saking dibikin makin gregetan.

"Iya, itu maksudnya. Maaf atuh, da mamah gak becus bahasa Inggris kayak kamu."

Hadeeeuh. Gini amat gue punya Mamah. Orang lagi ngomong serius malah dibecandain. Huh, hah!

"Serius, Mamah! Anak Mamah tuh lagi overthinking."

"Aduh, apa lagi itu artinya? Nambah-nambahin kamus pusing mamah aja kamu mah."

Gue mengacak-acak rambut lantaran frustrasi sebelum menerangkan, "Intinya, Fery lagi banyak pikiran gara-gara ... ya, kepikiran. Karena cerita Nando tadi. Gitu, Mah! Masa iya Mamah gak ngerti?" Berakhir merungut yang menjadikan Mamah terkekeh.

Wanita yang melahirkan gue 18 tahun lalu ini lantas duduk di samping gue. Memberi usapan lembut ke kepala, menenangkan. "Mamah cuma bisa bilang, nggak usah terlalu dipusingin. Da beda orang, beda nasib, 'kan. Nando di mata Fery, mungkin dia punya apa yang Fery gak punya secara materi atau fisik. Tapi Fery di mata Nando, bisa jadi Nando juga berpikir bahwa Fery punya hal yang nggak Nando punya. Yaitu pacar yang akan selalu setia ke Fery apa pun yang terjadi. Nak Saga ini," tuturnya yang membuat gue menoleh, melihat senyum hangat di bibir Mamah yang lalu mencubit gemas pipi gue. "Anak mamah punya sisi baik dan menarik juga, kok. Jangan suka kebanyakan insikur sama opertingting makanya. Ya?"

Gue jadi ketawa dikarenakan kalimat yang salah diucapkan Mamah lagi. Tapi akhirnya cuma bisa mengangguk, kemudian nyengir. "Iya, Mah. Makasih."

Mamah mencium pipi gue, selepas itu menepuknya. "Udahan bengongnya. Buruan ganti baju, terus bantuin mamah di dapur. Katanya kamu mau dibikinin tumpeng mini sama bekakak."

Segera gue berdiri mendapati titah itu. "Siap, Mah."

Setelah berganti baju, lebih dulu gue mengirim chat pada Saga sebelum keluar dari kamar.

Pulang taraweh nanti malem, kita Facetime, skuy!
Gue kangen sama lo. 🙈
Puasa tahun ini kita jauhan, sih. 🥴

Gue tersenyum, lekas melangkah menuju ke dapur. Mempersiapkan penyambutan bulan ramadhan kedua tanpa kehadiran Nenek di rumah, juga tanpa ditemani oleh cowok gue lantaran kami sedang berjauhan. Sepi, sih. Tapi gue tetap bersyukur karena seenggaknya gue masih memiliki Mamah yang selalu berada di sisi gue.

.

"Elo besok puasa, 'kan?" Saga bertanya sesudah mengenakan earphone.

Bikin gue ikutan memakai airpods sembari mengangguk. "Iya."

"Senin masuk shift pagi, 'kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Puasa juga?"

Gue mendengkus mendapati tanya nggak berbobot itu. "Ya, iyalah, Bangsat! Pake segala ditanya."

Mentang-mentang gue kerja, terus gue nggak bakal puasa gitu?

Dia manggut-manggut. "Berarti elo akan absen makan siang selama sebulan ke depan?"

"Ya, kali gue puasa tetep makan siang. Lama-lama gue hajar juga lo, ya."

Menangkap reaksi marah gue, Saga tertawa puas. Dia lalu berdeham sambil menatap lebih dekat ke layar untuk berbisik, "That means, elo juga nggak akan bisa coli siang lagi, ya. Karena lagi puasa."

Hmmm. Hawanya mulai ada yang mancing obrolan kotor, nih. Oke. Bakal gue ladeni, kok.

"Kenapa?" Dengan sengaja gue berpura-pura nggak mengerti. "Elo bakal kangen coli bareng sama gue, hah? Kalo malem gue tetap bisa coli, 'kan. Ditemenin sama elo juga bisa."

Setiap coli sambil ngajak Saga Facetime, biasanya gue bakal kabur ke rumah kami dulu, sih. Soalnya jika melakukan di rumah Mamah, terlalu nggak aman. Selain takut bakal dipergoki, gue curiga Mamah sewaktu-waktu bisa menguping. Kan gak lucu semisal gue lagi mendesah, tapi di balik pintu Mamah turut mendengarkan. Ngeri.

Sayangnya ya itu, karena gue orangnya penakut dan di rumah kami gue selalu sendirian--ditambah faktor lingkungan rumah di sana yang jauh dari tetangga, paling bisanya gue coli sama si Bangsat siang-siang doang--saat gue ada jadwal masuk shift siang.

Saga tersenyum. "Tapi kalo malem, bukannya elo akan kecapekan? Harus taraweh. Shift siang, elo pulang makin malem juga. Setelah seharian puasa pula. Ya, 'kan?"

Duh, perhatian banget cowok bangsat ini. Lagi ada maunya pun, masih sempat-sempatnya mikirin kondisi gue.

Mendengarnya, gue jadi nyengir. "Gue tetep bisa luangin waktu, kok. Itu juga kalo jadwal sehari-hari kita nggak bentrok."

"Oke!" Sekonyong-konyong si Bangsat mencopot earphone disusul meloloskan kaus yang dia kenakan. "Kita coli bareng sebelum besok elo mulai puasa, skuy! Tante udah tidur, 'kan?" ajaknya yang lalu memasang kembali earphone.

"Udah kayaknya." Gue turun dari ranjang untuk mengunci pintu lebih dulu sebelum kembali ke ranjang. "Dia tidur cepet karena harus nyiapin menu sahur nanti. CCTV di kamar lo?"

Gantian, gue membuka baju koko yang tengah dipakai. Melemparnya secara sembarang ke lantai menyusul sarung yang juga gue lepas. Menyisakan hanya kolor dan sempak yang membalut paha.

"CCTV aman. Udah gue minta pihak security matiin sepanjang hari ini." Layar menampilkan sosok Saga yang telah menurunkan celana sampai ke tengah paha.

TANPA SEMPAK! Emang dia udah ngerencanain ini sejak awal berarti. Dasar cowok mesum.

"Buka semuanya, Sayang," pintanya seraya menggosok-gosok Minions yang udah setengah menegang. "Gue kangen ngeliat badan telanjang lo. Let me see it."

"Iya, iya!" Gue mendecak risih, setelah itu turut membuka kolor dan sempak. "Nih, udah."

Telanjang total. Bersandar ke ujung ranjang dengan kaki mengangkang, mempertontonkan seluruh kepolosan tubuh gue pada Saga yang menatap gue penuh gelora dari sana.

"Jembut elo dicukur, ya?"

"Dikit," jawab gue sambil mulai meraba-raba Banana hingga ke area bulu-bulu kemaluan gue. "Mata lo jeli ya kalo urusannya sama jembut gue."

Dia menyipitkan mata. "I can see it clearly. Even I can tell how much you want me to touch your little hole. Let me see it."

Mau nggak mau, layar iPad gue dorong makin ke depan. Menempatkannya di posisi yang memperlihatkan badan gue dari bagian terbawah menuju ke atas.

"And you getting turned on just by me looking at you. Ryan, you're so naughty."

"Bacot!" sungut gue sembari membasahi Banana yang udah ngaceng total dengan air ludah. "Elo juga sama aja."

"Iya." Minions yang udah tegak ereksinya dielus-elus naik-turun dengan ekspresi Saga yang super seksi abis. "Minions gue kangen dijilatin sama elo soalnya."

Ah, gila! Makin-makin nggak tahan gue jadinya. Mendambakan aroma Minions yang bakal gue hisap penuh nafsu andai ada di depan mulut. Menjilatinya dari pangkal menuju ke ujung selagi memainkan puting dada si Bangsat. Enaknya nggak ada lawan.

"Hey, Saga?" panggil gue yang lalu menurunkan jemari ke lubang bawah sementara satu tangan gue tetap melakukan gerakan mengocok. Perlahan tapi pasti.

"Yes, I'm here." Di sana, Saga juga tampak mempercepat tempo kocokannya.

Memperhatikan jemari tangan kiri itu mengusap perinci batang kelelakian dia yang gagah. Mengacung tinggi seolah mengundang tangan gue untuk menyentuhnya. Merasakan hangatnya yang udah lama nggak gue jamah.

"Jangan kedip, ya," desis gue dan meringis.

Karena jauh, tangan gue lebih memilih untuk menyentuh area yang lebih mudah dijangkau. Lubang anal gue sendiri. Memasukkan jari tengah sedikit demi sedikit tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Beradu mata yang sama-sama dipenuhi nafsu.

"I'm watching, Baby. I'm always watching."

Suara Saga yang tertangkap jelas dari airpods bagai mantra yang semakin menaikkan gairah gue. Membuat gue memasukkan jari kedua, meloloskan desahan lirih.

Gue menggigit bibir. "Hhh~ ahh. Saga!" Jari gue masukan semakin dalam.

"Yes, I'm here. Keep going," bisik Saga yang masih aktif menggerakkan tangan pada ereksinya sendiri.

"Akh!" Gue memekik, sedikit terlonjak saat akhirnya berhasil menyodok titik prostat gue sendiri.

"Yes!" Saga menjilat bibirnya dengan sorot bergelora, tampak siap menerjam gue meski sadar kami sedang nggak sekamar. "You find it. Your sweet spot. Is it good?"

"It's good!" erang gue makin keenakan. Menusuk titik yang sama berulang-ulang selagi berkhayal.

"But it feels more good if I'm the one who touch it. Right?"

Berkhayal jika sosok cowok gue berada di sini. Membayangkan dia yang tengah menyalurkan kenikmatan ini.

"Yes!" Jemari gue bergerak kian cepat. "Saga, sentuh gue! Aaah!"

"Imagine, babe!" Suaranya terdengar semakin berat disebabkan napasnya yang menggebu. "My finger inside. My tongue on your chest, neck, lips. Everywhere. I touch every single inch of your body, Baby. And I want to bite your nipple so bad! You're so sexy! Aah, I love you so much."

Dapat gue rasakan semua itu dengan cukup jelas. Bagaimana jari Saga mengacak-acak liang anal gue. Mengalirkan serangan nikmat di dalam sana. Sekaligus menjalarkan sentuhan memabukkan ke sekujur badan gue. Ciuman, rabaan, jilatan, kecupan hingga gigitan yang dia berikan. Ke telinga, ke puting dada bahkan sisi paha.

"Saga! Haaah!"

Begitu aja, dan gue berhasil muncrat. Napas gue terengah-engah masih sambil memandangi Saga yang kini tampak mendekati puncak ejakulasinya juga.

"Oh, shit! Ryan! I'm--"

Selalu, setiap si Bangsat muncrat, gue nggak bakal bisa mengabaikan ekspresi menggoda di wajahnya. Gimana dia mengigit bibir, memejamkan sebelah mata, sambil berusaha mengatur napasnya yang naik turun selagi menggosok-gosok Minions untuk mengeluarkan sisa spermanya. Mana ganteng banget lagi. Andai bisa masuk ke layar, bakal gue dudukin tuh kontol terus gue ajak main jungkat-jungkit.

"That was the best," komentar Saga usai membersihkan seluruh sperma yang mengotori badannya.

"What?" tanya gue yang juga baru selesai membuang tisu ke tempat sampah.

"Your face. Just now! Saat elo muncrat tadi." Dia menunjuk kemari dengan senyuman lebar yang menawan. "It gives me chills and so satisfying to watch. Untung nggak lupa gue screen record."

Gue mendelik jengah. "Dasar bangsat mesum!"

Dia memutar bola. "Ngaca, Sayang. Gue yakin elo juga punya banyak foto bugil gue di HP lo," balasnya yang bikin gue spontan ngakak karena nggak bisa membantahnya.

"Kayaknya gue malah lebih banyak ngoleksi foto bugil elo daripada foto lo yang normal."

Pengakuan gue menjadikan dia nyengir dengan bangga. "Nggak kaget kok gue. Lagian gue tau segila apa elo sama badan seksi gue." Lalu secara sengaja, dia berpose memamerkan otot tangannya yang pengin banget gue peluk dari sini.

Mana bentukan tangannya keliatan tambah kencang dan kuat. Otot perutnya pun makin berbentuk dengan punggung lebarnya yang semakin templokable. Manfaat dari rajin nge-gym di rumah Granny.

Menyadari bahwa cowok gue aura menggodanya mustahil dapat diabaikan. Oleh gue selaku pacarnya. Ataupun orang-orang yang ditemui Saga di kesehariannya selama di sana. Dan gue yakin, beberapa dari mereka berharap bisa memiliki sosok si Bangsat juga.

Semisal nanti Saga digoda oleh cowok lain di UK, apakah dia akan melupakan gue lalu memilih sosok baru yang memikat hatinya di sana, ya? Seperti Julian yang akhirnya memilih meninggalkan Arnando.

Oh, iya. Ngomongin soal mereka, gue baru teringat lagi.

"Heh, Bangsat."

"Hmmm?" Si Bangsat urung meneguk air dari botolnya mendengar panggilan gue.

"Gue lupa mau ngasih tau elo."

"Apa?"

"Soal Nando sama Julian," ucap gue mulai memberitahu.

"What's with them?" tanya si Bangsat kemudian meminum airnya.

"Mereka ... udah putus. Elo udah--"

"Uhuk!" Suara tersedak hebat yang Saga perdengarkan memutus perkataan gue begitu aja. Kedua matanya yang terlihat memerah mendelik dengan shock. "What the fu--what?"

Reaksi yang si Bangsat tunjukkan betul-betul sesuai ekspektasi gue. Nah sekarang, gimana cara gue menjabarkan kisah putus dua sosok sahabat yang gue tau amat penting baginya itu?

___See you again at 83

Alasan Feryan merasa insecure dan overthinking. Arnando Shen Michael yang semenawan ini aja diselingkuhin dan diputusin, loh. 💔







Doakan semoga Arnando akan ketemu dengan sosok yang lebih baik untuknya. ❤️ Yang mana, udah aku siapin, kok. Santai aja wkwkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com