Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

86. PENGABAIAN

INGAT, VOTE DAN KOMEN JANGAN LUPA, YA! <⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Selamat membaca ❤️

___
____
_____


juandasaga77:
Hey, Babe
Sorry about that
I swear nothing happened between me and him
He's just my friend and you already know that
Bahkan kami di kamar nggak cuma berdua kok
Hey, Ryan?
Please, answer my call!
Ryan?
I'm so sorry...
I'm really sorry. You hear me? Or read me. Whatever.
Hey?
I know you're there
Tolong, jawab telepon gue. Facetime gue.
Babe?
Babe?
Gue nggak bisa tidur kalo terus elo diemin gini
Ryan?
Gue mau ngejelasin, tapi gue males jelasin di sini!
I need to see your face!!
I miss you 💛
Gue khawatir sama elo
Hey?
Elo udah sahur?
Tante masak menu sahur apa hari ini?
Facetime gue kenapa belum juga elo angkat?
Baby, please. Don't do this to me!
I need you.
Babe?
Hey, are you okay?
Please stop ignoring me!
Ryan?
I miss you.
At least let me hear your voice.
I miss your smile.
I can't stop thinking about you..
Ryan?
Please!
Elo beneran bikin gue frustrasi, Sayang!
BEGO! PLEASE!
Apa susahnya sih elo angkat telepon gue dan balas chat ini?
Elo beneran mau tetap begini?
Okay, whatever!
I'm off now!

Selesai sampe situ aja. Rentetan chat dan teror telepon dari si Bangsat berakhir setelah puluhan kali dia mencoba. Sejak jam 2 tadi. Nggak lama sesudah gue memutuskan sambungan Facetime disusul mematikan iPad. Ada pula beberapa foto yang Saga kirimkan sebagai bukti terkait penjelasan dia. Dari mulai foto dia dan ketiga teman cowoknya (beneran bukan cuma Daniel). Fotonya yang tengah berbaring sembari menunggu balasan dari gue. Hingga fotonya yang duduk di depan MacBook ketika tengah menghubungi gue lewat Facetime. Yang mana, nggak bakal tersambung karena toh iPad gue mati.

Gue menghela napas lesu. Merasa ngantuk, lemas, pusing. Tapi kepengin tidur jam segini pun nanggung soalnya bentar lagi adzan Subuh pasti berkumandang. Alhasil, gue lebih memilih untuk membersihkan diri. Sholat Subuh bareng Mamah setelahnya, lantas kembali ke kamar. Berbaring meringkuk di kasur sembari memeluk sajadah. Merasakan kantuk yang nggak tertahan yang sedikit demi sedikit bikin gue menutup mata. Tertidur begitu aja.

.

"FERY!"

Panggilan cempreng dibarengi goyangan kencang yang gue rasakan spontan membuat gue terlonjak kaget. Sigap membangunkan badan dengan penglihatan yang masih samar-samar.

"Ya Allah. Daritadi mamah bangunin meuni baru melek! Kirain mamah teh kamu pingsan!" sergah Mamah dengan nada yang terdengar cemas.

Gue menggosok-gosok mata. "Apa, sih. Fery tidur baru sebentar udah dibangunin aja!" protes gue sambil menguap.

Hadeeeuh, masih ngantuk. Lanjut tidur lagi enak kali, ya.

"Sebentar apanya, Fery! Ini teh udah mau jam 8! Kamu emang nggak pengen berangkat kerja?"

Seketika kantuk gue nggak lagi tersisa. Digantikan panik yang semata-mata bikin gue bergegas untuk siap-siap. Koko, sarung, peci, semuanya gue lempar ke lantai sebelum membuka lemari dan mulai memilih setelan secara sembarang.

"Tuh, 'kan! Jadi keburu-buru!" Mamah menggeleng masygul seraya merapikan kekacauan yang gue ciptakan.

"Motor Fery minta tolong keluarin, Mah," pinta gue yang baru selesai memakai kaus.

"Udah mamah keluarin. Udah dipanasin juga. Helm, masker, jaket, tas, udah mamah siapin di depan," jelas Mamah sedikit menjadikan gue lega selagi bantu merapikan rambut. "Jangan lupa cuci muka. Iler sama belek kamu banyak, tuh."

Refleks gue mengusap-usap mulut sendiri. Bikin Mamah ketawa geli.

"Oh, iya. Mamah lupa." Mamah yang hendak keluar dan udah berdiri di ambang pintu kamar berbalik pada gue lagi. "Nak Saga ngehubungin mamah. Minta supaya kamu ngejawab chat dia ceunah." Hal yang Mamah beritahukan membuat gue mendelik kaget. "Ada apa gitu sampe Nak Saga tumben-tumbenan kontak mamah segala? Kalian lagi berantem, ya?"

Pertanyaan itu gue abaikan. Lebih memilih mengambil HP. Mengecek notifikasi dari layar yang ANJIR! KOK BANYAK BENER? Ada chat masuk dari Zyas, Setya, Dyas, Adam, hingga DM dari beberapa sepupu Saga serta DM lain yang dikirim oleh Saga sendiri. Kurang lebih semua isinya sama; tentang Saga yang meminta gue membalas chat-nya.

Dasar bangsat!

Mau nggak mau, DM dari Saga gue buka dengan agak kesal.

juandasaga77:
Kata Tante elo masih tidur
Kalo udah bangun, elo jangan lupa balas chat gue. Oke?
Kalo sempet, sebelum elo berangkat kerja, ayo kita Facetime!
Gue beneran kangen banget sama lo, Ryan!
Gara-gara elo semaleman gue nggak tidur sama sekali 😴
I miss you so much! I swear 💛
Atau kalo elo mau terus-terusan begini, jangan salahin gue kalo gue bakal terus ngegangguin elo!
Yang lain juga kalo perlu 😏
You'll see how serious I am with you, Baby.
Because I love you 💛

Mendapati semua chat darinya kali ini serta-merta menjadikan gue termenung. Tetapi tetap, gue belum siap menghadapi dia. Sebab rasa sesak dan sakit itu masih terasa sekeras apa pun gue coba menghalaunya.

HP gue bawa ke depan untuk lantas dimasukkan ke dalam tas. Nggak lupa mencuci muka dari keran cuci piring di dapur. Lanjut mengelap wajah menggunakan jaket yang sesudahnya gue kenakan. Menyusul memakai masker serta helm. Bersiap berangkat menuju L-Laurens.

Harus fokus! Kuat! Pantang menjadi lembek macam agar-agar belum jadi--mengutip kata si Zyas, ya. Biarlah urusan bicara sama Saga diselesaikan nanti lagi. Yang harus gue pentingkan sekarang adalah bekerja. Karena tanpa bekerja, gue nggak bisa punya duit untuk beli takjil dan baju lebaran.

.

"Feryan, apa kamu sudah membalas chat dari Saga?"

BUSEEET! BAHKAN KAK JIMMY JUGA?

"Anak itu nggak henti-hentinya mengganggu kami. Meminta saya dan Adam bilang ke kamu untuk segera membalas chat dia," jelasnya diakhiri helaan napas lelah yang terang aja bikin gue meringis nggak enak.

Pantesan aja tumben-tumbenan Kak Jimmy mencegat gue di area parkiran. Ternyata dia menyambut gue cuma demi menyampaikan pesan super penting dari adik sepupunya. Bener-bener hobi ngerepotin orang itu cowok bangsat.

"Nggak usah terlalu dipikirin, Kak," ujar gue begitu turun dari motor yang baru selesai dikunci ganda. "Biar nanti sepulang kerja aja gue--"

"Sekarang, Feryan!" Kak Jimmy menyela, menegaskan, "Saga bilang, jika kamu belum membalas chat dia, saya belum boleh mengizinkan kamu bekerja."

"Hah?" Gue sontak memekik dan mendelik saking kaget atas titah sangat nggak masuk akal itu. "Te-terus nanti kerjaannya gimana?"

Kak Jimmy mengerling sekilas menuju bangunan kafe. "Sementara waktu, ya biar Adam aja yang mengerjakan. Dia juga sudah mulai bersih-bersih sejak tadi, kok."

Mana bisa begitu, Bambang! Masa iya gue dilarang bekerja hanya karena belum membalas chat Saga? Seenaknya aja itu cowok bangsul ngasih ancaman! Dipikirnya itu akan berhasil bikin gue mengalah? JANGAN HARAP!

"Nggak bisa gitu dong, Kak!" protes gue dengan suara pelan agar nggak menarik perhatian orang-orang. "Gue tau Saga emang adik sepupu Kak Jimmy sekaligus bos di sini, tapi nggak berarti kalian bisa mengatur gue dengan semena-mena begitu, 'kan? Karena selain berstatus sebagai pacar Saga, gue tetaplah pegawai di L-Laurens yang nggak mungkin leha-leha mengabaikan kerjaan hanya dikarenakan lagi ada sedikit permasalahan di antara kami. Iya, 'kan?"

Usai menyimak penuturan panjang lebar tadi, pria berusia 28 tahun di depan gue ini menganggukkan kepala. "Saya mengerti apa yang kamu maksud. Hanya ... anak itu." Dia menghela napas. "Kamu tau sendiri bagaimana sifat keras kepala Saga."

TAU BANGET, LAH!

Gue mendecak. "Kak Jimmy cukup nggak perlu ngeladenin dia. Kalo diturutin terus ya begitulah jadinya. Ngelunjak dia. Emang dasar adek kurang ajar."

Makian gue bikin Kak Jimmy ketawa. "Yah, begitulah watak pacar kamu."

Melihatnya, gue jadi ikutan nyengir. "Udah, biarin aja. Biar nanti gue yang ngurus dia," kata gue dan mulai bersiap melangkah ke dalam. "Kalo Kak Jimmy bisa mendengar permintaan Saga, berarti Kak Jimmy harus bisa ngebantu gue juga. Tolong, kasih gue waktu. Gue juga sama-sama adiknya Kak Jim, 'kan?"

Mendengarnya, Kak Jimmy mengangguk dua kali. "Baiklah. Jika itu yang kamu mau, saya mengerti." Pundak gue ditepuknya. "Sana, cepat masuk. Sebelum Adam makin mengacak-acak kerjaan kamu."

Gue tersenyum lalu membungkuk penuh hormat padanya. "Makasih banyak, Kak!"

Ini masih pagi, kampretnya si Bangsat udah nyari gara-gara aja. Padahal baru ada berjam-jam gue diamkan, tapi lagaknya udah macam cowok yang mau ditinggal berperang tanpa kabar. Coba bandingkan dengan diri gue yang waktu itu diabaikan oleh dia selama berbulan-bulan? Berhari-hari juga pernah! Selama itu pula gue tetap mengalah dan berusaha memberi rasa pengertian. Nggak macam dia yang sampe ngerepotin banyak orang demi memenangkan egonya sendiri.

Sedikit, gue puas, sih. Sadar bahwa akhirnya Saga bisa merasakan berada di posisi yang sama seperti gue dulu. Biar dia tersiksa oleh rasa kangen dan kepikiran dari terabaikan oleh gue. Hehehe. MAMAM!

.

Belum lama setelah kafe dibuka untuk mulai menerima pelanggan, gue dipanggil oleh Mbak Tiara yang mengatakan bahwa gue kedatangan tamu.

Temen paling cakep yang kemarin-kemarin buka bareng elo, katanya.

"Hai!" Sosok teman paling cakep yang Mbak Tiara maksud menyapa gue di mejanya.

Gue tersenyum mendapati sosok Arnando yang duduk di kursi terdekat dari area dapur. "Nando? Elo mampir?"

"Iya." Dia mengangguk seraya mulai mengambil buku menu. "Mumpung gue masih di sini. Besok gue bakal mulai berangkat ke Jogya lagi soalnya."

"Oh." Penjelasan dia membuat gue mengembuskan napas lega. "Gue kira elo di sini karena Saga yang nyuruh."

"Itu juga, sih."

KAN! HADEEEUH! Itu cowok mau melibatkan berapa orang lagi untuk mengganggu gue seharian ini, sih? BANGSUL!

"Emangnya kalian lagi kenapa, sih? Keliatannya Saga khawatir banget sama elo, Fer. Chat dia masih belum elo bales juga?"

"Belum. Kan gue masih kerja."

Jawaban bernada ketus gue ditanggapi senyum maklum. "Gue sadar bukan hak gue untuk mencampuri urusan kalian. Tapi gue minta, tolong elo jangan bikin sahabat gue frustrasi terlalu lama, Fer. Kasian dia."

Gue mengerling Nando agak sebal. "Oh. Yang dianggap sahabat sama elo cuma dia, nih? Cukup tau ajalah gue."

Mendengar respons sok galak gue bikin Nando menyemburkan tawa kecil.

"Oh. You're already here."

Suara itu membuat gue refleks menoleh. Melihat Adam yang muncul dari area dapur hanya untuk menyapa Nando.

"Hai, Kak." Mana Nando dengan santai membalas juga lambaian tangan Adam.

Setelah Adam kembali lagi ke dapur, sontak aja gue memandang Nando dengan sorot mata yang dipenuhi pertanyaan.

Nando nyengir gugup sambil lanjut memilih-milih menu. "Gue juga janji sama Kak Adam mau mampir buat nyicipin masakannya di sini. Hehe."

Hmmm. Mencurigakan. Sayangnya, gue lagi nggak ada waktu untuk mengurusi persoalan orang lain mengingat gue sendiri sedang ada sedikit problem dengan pacar. Jadi, ya udahlah. Akan gue biarin aja untuk yang sekarang ini.

Mengabaikan pula momen ketika Adam dengan penuh perhatian menjelaskan satu per satu menu yang disajikan olehnya ke meja Nando. SECARA LANGSUNG TANPA BANTUAN PELAYAN, LOH! Melihat bagaimana Nando menyimak secara saksama tanpa melepas senyuman di bibirnya. Sesekali terlihat berbagi canda hingga terselip tawa di antara obrolan mereka. Berakhir dengan Adam yang kembali ke dapur sesudah mengacak-acak rambut Nando. Menjadikannya tampak tersipu selagi terus memperhatikan sosok tinggi Adam.

HMMMMM. SANGAT MENCURIGAKAN!

Nambah-nambahin beban pikiran gue aja itu dua orang!

.

"Jangan lupa, kamu balas chat Saga setelah ini, ya."

Itu adalah pesan yang disampaikan Kak Jimmy begitu jam kerja gue telah usai. Memanggil gue secara mendadak ke kantor cuma demi menunjukkan isi HP-nya yang dipenuhi oleh rangkaian teror dari sang adik sepupu. Membuktikan bahwa Saga betul-betul menunggu kabar dari gue.

Namun sejujurnya, gue lebih dari males untuk meladeni. Seolah-olah belum siap mendengar penjelasan berupa cerita terkait apa yang terjadi tadi malam. Ditertawakan oleh Daniel. Lebih parahnya, ternyata di sana ada dua teman Saga yang lain yang berada di sekitaran yang PASTI mengetahui--atau bahkan turut melihat--situasi memalukan yang gue ciptakan.

ARRRGGHHH! Malu gue, woi! ASLI MALU! Dipergoki dan diolok-olok oleh kawan-kawan kami di sini nggak ada apa-apanya dibanding ketauan sedang bertelanjang dada oleh teman baru pacar lo! Saat beberapa jam sebelumnya elo jelas-jelas merasa ada yang kurang di diri lo! Ditambah mereka pasti nggak kenal gue siapa juga 'kan.

KACAU, KACAU, KACAU! BODO AMAT SAMA SEMUANYA! Pokoknya, sesampenya di rumah, gue mau langsung tidur aja!

.

"Fery!"

Gue mengernyit heran karena tumben-tumbenan Mamah menyambut kedatangan gue di teras dengan senyum semringah macam orang baru menang arisan. Loh, iya. Apa jangan-jangan Mamah baru menang arisan? Tapi 'kan arisan ibu-ibu perumahan udah dikocok Sabtu lalu. Dan yang dapat katanya Bu Rika.

"Akhirnya anak mamah pulang!" kata Mamah yang bergegas menghampiri motor gue yang diberhentikan di halaman rumah seperti biasa, lantas memberikan tangannya sendiri untuk gue salami. "Fery pasti capek banget, ya. Buruan istirahat sana. Tidur di kamar," suruhnya seraya bantu melepaskan helm serta masker gue dengan hati-hati.

Mendengarnya, gue jadi nyengir senang lantaran berpikir bahwa Mamah sungguh perhatian dan pengertian terhadap kondisi anak semata wayangnya ini. Mungkin Mamah begini karena tau gue kurang tidur pagi ini.

Andai lagi nggak puasa, gue yakin Mamah bakalan menawarkan camilan dan makanan juga sekalian. Eits! Makruh! Gak usah mikirin makanan.

"Loh, Fery! Ngapain?" Mamah bertanya ketika melihat gue yang berjalan mendekati sofa, bersiap rebahan sambil main HP. "Kalo mau tidur, ke kamar aja sana. Biar lebih leluasa istirahatnya."

Bener juga, sih. Ya udahlah.

"Hari ini menu buka puasanya apa, Mah?" tanya gue seraya mengamit tas, bersiap berjalan ke kamar.

"Capcay sayur, bakwan jagung, sama telur balado."

"Sambelnya?"

"Iya, nanti dibikinin. Udah, sana!" Mamah mendorong badan gue.

"Tapi Fery belum sholat, Mah."

"Udah, sana! Masuk ke kamar. Gantung jaket sama tas kamu, tuh!" sergah Mamah mengingatkan.

Gue sekadar nyengir. Tambah merasa senang. Berpikiran bahwa segitunya si Mamah kepengin anaknya cepat-cepat istirahat. Haaah. Enaknya jadi anak tunggal tuh gini, ya. Kasih sayang yang gue dapat nggak dibagi ke siapa-siapa. Hehehe.

Pintu kamar gue buka. Langsung aja melangkah mendekati kapstok di dekat lemari.

"Akhirnya elo pulang juga!"

Tas yang hendak gue gantungkan terjatuh seketika sesudah mendengar suara yang amat gue kenali itu. Lirik kanan dan kiri, lalu refleks berdiri di pojokan. Memandang ke sekeliling kamar dengan sorot takut bercampur waspada. Kayaknya gara-gara ngantuk dan kebanyakan mikirin Saga bikin otak gue memunculkan halusinasi serupa suara dia, nih.

Seenggaknya itu yang gue pikirkan sebelum menemukan layar iPad yang tahu-tahu udah menyala. Disandarkan ke dinding kamar, tepat mengarah ke depan, yang mana menampilkan sosok si Bangsat yang sedang duduk. Menatap tepat ke layar dari sesi Facetime yang entah sejak kapan dimulai. Mendatangkan satu kesimpulan mengesalkan yang membawa langkah gue menuju pintu.

"MAMAH! DASAR PENGKHIANAT!"

Setelah berteriak begitu dan membuat Mamah yang tengah menguping sigap melarikan diri dari dekat pintu, gue kembali ke dalam. Melepaskan jaket untuk gue gantungkan ke kapstok disusul tas yang barusan dijatuhkan. Berusaha keras mengabaikan tatapan mata Saga yang seakan mengikuti setiap gerak-gerik gue.

Kalo begini caranya, gue mustahil bisa menghindar lagi, 'kan? Dasar si Bangsat dan segala taktik liciknya. Asli nggak nyangka gue dia bakal meminta bantuan Mamah hanya demi mendapatkan lagi perhatian gue.

"So, how's your day?"

Gue menghela napas panjang. Masih belum siap berbalik badan untuk berhadapan dengan Saga. Mendingan gue pura-pura main HP aja kali, ya.

"Hey, Babe. I beg you. Please, stop ignoring me."

JANGAN DIDENGERIN, FERYAN! Anggap aja itu bisikan setan!

"Babe, look at me."

Berlagak tuli aja. Biar dia capek, terus mutusin sambungan Facetime sendiri.

"I'm gonna cry if you keep ignoring me like that."

"Gak usah lebay!" omel gue yang sigap berbalik badan demi meladeni dia.

SIAL! Paling lemah gue kalo Saga udah bawa-bawa soal nangis!

Tuh, lihat. Dia langsung nyengir puas. "Kena juga lo."

Gue melotot berang. Merasa bodoh sebab bisa dengan mudah terjebak lagi. "Dasar an--licik lo!"

Aduh, andai lagi nggak puasa. Bisa lebih bebas dan lepas deh gue ngatain itu cowok.

Dia tersenyum. "Gue nggak licik. Cuma lagi caper aja ke cowok gue."

Mendengarnya, gue tersengih. Berjalan mendekati kasur untuk mau nggak mau menghadap layar berisikan sosok Saga. "Gue lagi males ngomong sama elolah, Bangsat. Mau tidur gue."

"Ya udah, silakan elo tidur." Dia merespons santai, sengaja banget nggak acuh terhadap nada jutek gue. "Asalkan sambungan ini jangan dimatiin. Soalnya gue kangen ngeliat muka lo. Nanti setelah puas, gue akan nyusul tidur di sini. Sejak tadi malam gue masih belum tidur karena kepikiran elo terus."

"Ya, siapa suruh elo nggak tidur!"

"Gue nggak bisa tidur nyenyak sebelum bisa ngeliat muka lo. Apalagi mulai minggu ini gue akan banyak kegiatan di kampus. Makin sibuk. So, gue nggak mau menyiakan-nyiakan kesempatan selagi gue bisa ngeliat elo."

Gue sekadar diam saking bingung ingin berkomentar apa atas pengakuan super noraknya barusan.

"Itu juga alasan kenapa kemarin malam, Daniel, Max dan Aaron ada di sini bareng gue. Kami lagi ada diskusi terkait tugas kelompok yang dikerjakan di dalam MacBook gue. Sampe kemudian, ajakan FaceTime elo datang dan dijawab dengan lancang oleh Daniel yang kebetulan kebagian tugas untuk ngetik," sambungnya menjelaskan.

Kali ini, gue bersuara untuk mengadukan hal yang sejak malam tadi mengganggu gue. "Dia ngetawain gue."

Saga mengangguk. "Iya. Dan gue udah ngomelin dia, kok. Next time, I promise, nggak akan ada kejadian begitu lagi. Dan saran gue, sebelum elo ngajak gue Facetime, lain kali elo minimal chat gue dulu. Oke?"

Gantian, gue yang mengangguk. iPad gue ambil untuk lantas gue pangku. Menaruh HP di pegangan ke kasur. Bersiap mengobrol secara benar dengan cowok gue ini.

Lebih dulu, gue berdeham sebelum bertanya, "Daniel ada bilang apa?"

Dia mengernyit. "Bilang apa? What do you mean?"

Lah, ini orang malahan nggak paham.

Jadi, gue membeberkan, "Ya, itu. Setelah ngeliat bentukan gue yang telanjang dada begitu. Apa dia ... nggak curiga? Mikir macem-macem soal gue?"

Kernyitan di dahi Saga keliatan makin dalam. "Curiga kenapa?" Dia kayak yang bingung sendiri. "Cowok telanjang dada sambil ngobrol bareng teman sesama cowoknya udah hal yang biasa, 'kan? Kecuali elo cewek, nunjukin badan telanjang lo, jelas terbaca bahwa elo ada niatan ngajak gue video call sex." Lalu dia menyeringai. "Oh. Atau tadi malem elo ada niat ke sana juga?"

"Nggak ada!"

"Terus, kenapa elo gak pake baju?"

Terpaksa, gue harus berdusta menanggapi pertanyaan darinya. "Gue ketiduran di lantai. Bangun-bangun gue langsung keinget buat ngehubungin elo. Tapinya nggak inget buat make baju dulu."

"Ngapain elo tidur di lantai?"

"Kacapekan. Pulang taraweh, gue mau rebahan dulu di lantai. Biar adem. Tapi malah ketiduran."

Senyum gelinya tersungging gitu aja menangkap penjelasan gue. "I see. You're so stupid."

"Iya. Pacar lo emang bego! Makanya gue juga sampe dijadiin bahan tertawaan sama si Daniel."

Ucapan gue sukses melunturkan senyum si Bangsat. "Jadi elo marah gara-gara itu?"

"Gue 'kan malu, Bangsat! Kepikiran. Ngerasa gak enak aja."

"Kenapa mesti begitu? Itu bukan masalah besar, kok."

"Tapi badan gue jelek!" sergah gue tetap bersikeras dengan prasangka sendiri. "Itu pasti alasan kenapa si Daniel sampe ngetawain gue. Dibanding dia, elo dan temen-temen elo di sana, badan kerempeng gue jelas bakal dianggap jelek sama dia."

"What? No!" Si Bangsat menggeleng-gelengkan kepala. "Daniel nggak bilang apa pun soal itu, oke? Elo jangan berprasangka buruk begitu. Daniel is a nice guy."

HALAH, BACOT! PAKE SEGALA MUJI-MUJI ITU BULE LAGI INI COWOK KAMPRET!

Gue mendengkus kesal. "Oh, siap. Sekarang elo ngebelain dia. Males gue udah!"

"Why? Gue di sini cuma menjelaskan, oke? Daniel temen gue, jadi jelas gue membela dia. Daripada elo malah salah paham."

"Ya udah, iya. Suka-suka elo aja. Capek gue. Gue mau tidur sekarang. Sambungannya bakal gue matiin."

"Wait, no!" Saga melarang, bikin gue urung menekan tombol merah di layar. "Kan gue udah bilang, silakan elo tidur. Tapi Facetime gak usah dimatiin."

"Tapi gue lagi males ngeliat muka elo."

Pengakuan gue bikin Saga mendelik heran. "Wha--why? Kenapa lagi emangnya?"

Gue menghela napas lelah karena benar-benar merasa udah nggak ada tenaga tersisa untuk melanjutkan obrolan ini. Apalagi gara-gara topik terkait Daniel tadi. Bawaannya meradang melulu gue, nih. Persetan sama semuanya udah.

"Daripada elo buang-buang waktu buat ngajak ngobrol gue. Mendingan elo ... ngapain, kek. Ngajak Daniel jalan. Lanjutin tugas kalian. Apa pun itulah," ujar gue melontarkan segala hal yang memenuhi isi kepala.

Anehnya, cowok gue justru tersenyum girang. "Wait, Ryan. Jangan bilang, elo cemburu ke Daniel?"

"Nggak ada! Gak usah ngaco!"

Penyangkalan dari gue makin-makin bikin senyumnya mengembang. "Okay, so you're really jealous. Thank God, my boyfriend is jealous."

APANYA YANG HARUS DISYUKURI DARI JEALOUS GUE, ANJIR?

"Elo minta gue hajar, ya?" Gue menunjuk keaal mukanya yang ada di layar. "Kenapa elo malah keliatan seneng begitu!" sungut gue dengan emosi yang kian menjadi-jadi.

Dia nyengir. "Ya, gue senenglah. Karena dengan elo cemburu ke gue sampe ngambek dan mengabaikan gue, itu tandanya elo nggak mau kehilangan gue. Bahwa elo masih secinta itu ke gue."

Bentar, bentar! Ini orang lagi ngomongin apa, sih? Kok malah tambah greget gue dibuatnya.

"Bacot lo ngawur! Ya, jelaslah gue masih cinta. Apa yang lagi elo pikirin, sih?"

Perlahan, cengirannya berubah menjadi senyum getir. "Gue pikir, elo mengabaikan gue karena mulai bosan sama gue."

Seketika gue ternganga. "Hah?"

Saga mengembuskan napas panjang di kejauhan sana. "I know it'll sounds silly, but I'm scared. Gue takut ada masa di mana akhirnya elo akan bosan gue hubungi setiap hari via Facetime begini. Cuma bisa chatting tanpa ketemuan. Saling curhat lewat layar, selalu berjauhan. Saat sadar gue sebagai pacar belum bisa ngasih yang terbaik buat lo. That's why ... I'm scared. I'm sorry."

Ungkapan penuh kejujuran yang disampaikan Saga dengan sorot gusar barusan serta-merta menjadikan gue terperangah. Sama sekali nggak terduga oleh gue jikalau dia bisa punya pemikiran semacam itu. Karena di sini, bukankah gue yang lebih pantas punya pikiran macam itu? Tapi kenapa ... dia ...

"Agak-agak lain emang isi di pikiran elo tuh, ya. Yang ada gue, nih! Gue yang seharusnya punya pikiran macam itu!" Gejolak perasaan gue yang kian meledak-ledak jadi balas berkata secara terus terang, "Punya cowok cakep, ganteng, tinggi, pintar, berbakat, ahli dalam banyak hal macam elo. Gue yakin, di luar sana elo bisa ngegaet siapa aja meski tanpa pacaran sama mereka. Dan kalo itu terjadi pun rasanya itu hal yang ... terbilang wajar. Saga akhirnya selingkuh dari Feryan. Hahahaha!" Gue tertawa sinis dengan kedua mata yang tahu-tahu terasa perih. "Ya iyalah jelas akhirnya elo bosen ke gue. Karena gue jelek, kurus, hitam, nggak seksi, nggak punya kelebihan apa pun dan ... gue payah."

Sesaknya gila-gilaan, anjrit! Memendam beban perasaan tentang nggak pantas dicintai siapa pun kayak gini. Asli payah. Sialan. Bego. Nggak ada harganya.

"Wha--elo ini lagi bicara apa, sih?" Selalu, Saga pasti tampak nggak suka setiap gue mulai menjelekkan diri sendiri. "Dari mana asalnya sampe elo bisa mikir begitu?"

"Dari diri gue sendiri! Karena gue sadar diri!" jawab gue dengan nada yang semakin keras. Napas mulai nggak beraturan dan tangan yang gemetaran, ketika menyambungkan, "Akhir-akhir ini gue lagi sering insecure. Sejak dengar kabar putusnya Nando yang diselingkuhin Julian, bawaannya gue mikir yang jelek-jelek terus, Bangsat. Ditambah gue selama berbulan-bulan ini ngeliat melulu kedekatan elo sama si Daniel. Setiap ngeliat dia, gue selalu berpikir kalo nanti elo sama dia pasti bakalan punya hubungan lebih. Karena dilihat dari sisi mana pun, Daniel lebih pantas jadi pacar elo dibanding gue. Karena gue ... gue juga takut." Akhirnya, tangisan gue pecah juga. "Gue takut elo nanti bakal bosen sama gue yang begini. Nggak ada apa pun yang bisa gue kasih ke elo. Makanya ..."

"Oh God. What should I do?" Si Bangsat terlihat panik di posisinya. "Kalo elo nangis begitu, elo bikin gue jadi pengen pulang, Ryan. Hey, please stop crying, okay? Loot at me."

Gue menurut. Memandang pada layar masih dengan air mata menggenang lantas memberitahu, "Tadi malem, gue mimpi elo mutusin gue."

"That's awful." Dia tiba-tiba menunjukan senyuman hangat. "But that's just a dream. Gue juga berkali-kali mimpi buruk selama di sini. Lebih buruk dari mimpi lo. Gue pernah mimpi gue meninggal dan harus ninggalin elo sendirian."

Gara-gara ucapannya, gue jadi terisak-isak. Dasar sialan. Udah tau gue lagi sedih, malah tambah dibikin nyesek dikarenakan cerita mimpi buruknya. Dibayangin gimana pun itu jelas sangat menyakitkan.

"Ssstt. Stop crying, Baby." Dia mendekatkan tangan ke layar seolah mencoba mengusap air mata gue. "Hey, Ryan. Listen to me. We both are the same. Gue punya kelebihan, elo juga punya. Begitu pun sebaliknya."

"Gak usah ngaco!" sahut gue nggak setuju. "Emangnya kelebihan apa yang gue punya?"

"Kelebihan elo adalah bisa bikin gue bucin setengah mati."

Gue spontan mencibir, "Basi!"

Asli, jawaban Saga sama sekali nggak berkesan lagi saking seringnya gue mendengar penjabaran serupa dari orang-orang.

"Tapi itu serius, Ryan. I swear." Dia menghela napas panjang. Tercenung sebentar, sebelum mulai berbicara lagi, "Kalo emang sejak awal gue nyari pacar yang cakep, seksi, putih, dan semua hal yang elo pikir gak diri lo miliki, kayaknya dari dulu gue udah nyari yang lain, deh. Ngapain gue buang-buang waktu pacaran sama elo kalo gue bisa dapat yang lebih? Iya, 'kan?"

Fakta yang diutarakan oleh Saga itu sialnya nggak mampu gue tampik meski gue sangat ingin.

Cowok gue ini tersenyum. "Elo juga cowok yang baik. Salah satu cowok paliiiing baik, tulus, manis, menggemaskan yang pernah gue kenal dan temui. Dan salah satu sisi diri elo yang paling gue sukai, adalah kesabaran elo yang luar biasa. Selama menjalani hidup, meladeni orang-orang di sekitar elo, cara elo menghadapi gue. Semuanya." Dia meneruskan. "Di luar sana, mungkin ada banyak orang yang lebih cakep dari elo. Gue nggak akan menyangkal hal itu. Tapi, selama nyaris 20 tahun gue hidup di dunia, gue belum pernah bertemu orang yang seperti elo. Dan elo harus tau hal itu."

Sebuah rasa lega yang menyenangkan mendadak memenuhi hati gue sesudah mendengarkan seluruh penuturan Saga. Berhasil menghentikan gue dari tangis. Berpikir bahwa mungkin semua kejelekan yang menghantui minda gue nggak seharusnya terlalu dibawa perasaan.

"Oh. Antara gue dan Daniel, kami nggak punya hubungan apa pun. Gue berani sumpah. Tapi kalo emang kedekatan kami bikin elo merasa kurang senang, gue siap menjaga jarak di antara kami, kok."

Yah, rasa senang gue menjadi sedikit berkurang dikarenakan perkataannya barusan. Soalnya gue masih teringat ucapan Arima tempo hari.

"Terus nanti elo diam-diam tambah lengket sama dia. Gak rela gue, ya!"

Si Bangsat tercengang nggak percaya mendapati tuduhan gue. "What? No! Lagian ... damn!" Dia tampak mengacak-acak rambut secara frustrasi. "Padahal gue berharap gue bisa menyimpan rahasia ini lebih lama lagi, tapi ngeliat elo yang malah sampe nangis-nangis gini, demi Tuhan gue nggak tega. I'm so sorry karena gue baru bilang ini sama elo. But ... they're all already know that I'm gay. Temen-temen baru gue di sini."

Kali ini, gue yang sukses dibuat tercengang hebat. "Hah?"

APA MAKSUD? GIMANA? DIA APA, KATANYA?

Saga lalu menjelaskan, "Sejak hari Valentine. Karena gue dapat banyak ajakan nge-date, party yang mana nyaris bikin gue kuwalahan untuk menolak. So, satu-satunya solusi yang gue ambil adalah dengan cara coming out. Bahwa gue gay dan gue udah punya pacar di negara asal gue yang mana gue nggak mau mengkhianati perasaannya. Perasaan elo. Nggak lupa, gue juga ngasih tau ke mereka bahwa wujud sosok pacar gue itu bisa ditemukan dari postingan dan highlight Instagram gue. Dan mereka, sesuai dugaan, bisa langsung menebak bahwa elolah sosok pacar yang sangat gue cintai. You." Dia menunjuk gue sambil mengedipkan mata.

PADAHAL DI SINI GUE MASIH BERUSAHA MENCERNA SETIAP KALIMAT YANG DIUCAPKANNYA, ANJIR!

"Dan Daniel ... sebetulnya tadi malam--but first promise me you won't get mad--well, dia sengaja nerima ajakan Facetime elo karena dia ... penasaran. Dengan sosok cowok gue. Yaitu elo." Si Bangsat jelas keliatan menahan tawa di seberang sana yang sontak gue hadiahi pelototan geram. "That's why, dia ketawa. Karena ya, tadi malem dia berpikir jika elo mau ngajakin gue ... you know."

Mendengarnya semata-mata mendatangkan sensasi panas ke pipi gue. "BANGSAT!"

ASLI BANGSAT BANGET! Ternyata begitu toh ceritanya. Dasar cowok sialan!

"I'm so sorry, okay?" Saga menyatukan kedua telapak tangan di depan muka, terlihat betul-betul menyesal. "Tadinya gue mau menyimpan ini seterusnya dari elo karena gue pikir elo nggak pernah mempermasalahkan kedekatan antara gue dan Daniel. Semuanya. Elo selalu keliatan maklum dan kalem-kalem aja. Makanya gue pikir elo nggak peduli."

"Mana ada gue nggak peduli!" Layar iPad nyaris aja gue gebuk saking gregetan. "Gue kesel dan selalu gerah, ya. Tapi gue nggak pernah ngomong karena nggak mau sampe dianggap lebay, posesif terus bikin elo ilfil sama gue."

"Sejak kapan itu?"

"YA, SEJAK AWAL ELO BIKIN STORY BARENG DANIEL! RANGKULAN! SENYUM BERDUA! TAIK BANGET!"

Udah nggak bisa menjaga puasa lagi gue, nih. Dibikin emosi, nangis, kesal, campur aduk gak keruan. Gini amat nasib punya cowok bangsat yang demen mempermainkan perasaan gue.

"Udah selama itu? Wow." Dia tampak takjub sendiri. "Dan gue baru tau."

"Iya. Selamat karena sekarang elo udah tau."

"Seharusnya elo bilang sejak awal. Supaya gue nggak bikin elo gerah selama berbulan-bulan."

Ucapannya itu membuat gue mendecak pasrah. "Ya udahlah, mau gimana lagi? Udah terlanjur. Lagian, kalo emang elo sama Daniel cuma sebatas teman, dan dia juga udah tau bahwa elo gay dan udah punya gue, nggak apa-apalah. Kayak gue sama Setya aja gimana. Kami temen, akrab, tapi ya sadar ada batasan masing-masing yang mustahil bisa diterjang. Elo sama Daniel juga boleh begitu. Asal nanti elo nggak bakal suka aja ke dia," ungkap gue secara berani. Sebab merasa udah nggak perlu terlalu mengkhawatirkan apa pun lagi.

"Nggak akan." Dia tersenyum yakin. "Daniel bukan tipe gue. Dan dia cowok straight. Lagi berusaha mati-matian ngedapatin hatinya Emily. Salah satu cewek yang ada di kelompok kami."

"Yang pirang keriting itu, ya?"

Lagi, dia keliatan takjub. "Elo bahkan hapal. Padahal gue kayaknya jarang cerita."

"Gue hapal semua-muanya karena gue sering kepoin akun mereka. Tapi sialnya, sebagian akunnya malah digembok. Meski tetap bakal gue pantau terus, sih. Mastiin elo nggak bakal macam-macam selama di sana."

Pengakuan gue makin membuat si Bangsat tersenyum semringah "Seneng banget gue dengernya. Oh, Baby. I love you so much." Bahkan dia nggak ketinggalan melayangkan ciuman ke sini.

Bikin senyumannya menular pada gue. "Gue juga seneng karena elo selalu bucin ke gue begini. Makasih, Saga."

"Nah. I'm the one who should say thanks to you. Thank you for always loving me this much, my stupid Feryan."

Cukup lama, kami sekadar saling berpandangan dari layar gadget masing-masing sesudahnya. Mengagumi satu sama lain. Makin menyadari seberapa besar rasa sayang yang sesungguhnya cowok ini miliki. Perasaan cinta darinya untuk gue yang bahkan bisa jadi melebihi apa yang mampu gue perkirakan. Mencipta keyakinan mengenai gue yang udah sepatutnya mempercayai dia sepenuhnya. Setelah semua ungkapan dan penjelasan darinya gue dengar. Apa pun yang terjadi ke depannya, nggak ada lagi hal yang harus gue takutkan. Benar begitu, 'kan?

Oh, bentar. Gue jadi teringat sesuatu.

"Saga, gue mau nanya sesuatu sama lo."

"Hmm. Apa?"

Agak ragu dan malu-malu, gue menanyakan, "Apa menurut elo, gue butuh perawatan?"

Cowok gue keliatan bingung di tempatnya. "Perawatan? Buat apa?"

Gue mendecak sebelum menjawab, "Ya, supaya gue bisa keliatan lebih cakep, lah. Jadi saat kita sebelahan, gue sebagai cowok lo, nggak bakal terlalu kebanting sama kecakepan elo."

"What? No way!" Saga langsung nggak menyetujui secara telak. "Enak aja elo mau keliatan tambah cakep. Yang ada nanti di sana elo hanya akan memunculkan para pesaing untuk gue. Saat kita lagi berjauhan? Jangan harap." Kemudian dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil menggeleng-geleng masygul. "Elo masih punya muka begitu aja bisa bikin gue dan Benjo tertarik ke elo. Apalagi kalo elo berubah cakep? Ngebayanginnya aja gue udah pusing. Mendingan elo tetap keliatan jelek dan apa adanya demi mencegah ketertarikan orang-orang ke elo."

Sumpah, nggak bisa berkata-kata gue seusai menangkap sudut pandangnya yang sangat agak lain itu. Sampe nggak tau harus merespons gimana nih gue.

"Antara seneng dan kesel gue dengernya, Bangsat. Emang dasar kurang ajar lo, ya." Hanya itu yang mampu gue sampaikan sebagai balasan.

Sedangkan di sana, dia nyengir puas karena gue nggak membantah sedikit pun. "Tapi kalo elo mau merawat diri demi kebaikan dan kesehatan tubuh, sepenuhnya gue akan dukung dan setuju, kok. Nggak semata-mata demi jadi cakep dan kinclong macam Zyas atau Setya, cukup merawat diri elo dari dalam. Elo memperbaiki diri tanpa perlu orang lain ikut melihat. Something like that. Elo paham maksud gue, 'kan?"

"Iyalah, gue paham! Biar cepet!" sembur gue males berdebat. "Tapi elo nggak adil! Di sana elo sering nge-gym, muka lo makin cakep, body tambah bagus. Sedangkan gue di sini nggak boleh. Bener-bener licik lo!" Gue menudingnya dengan sengit.

"Hey, Babe. Gue begini supaya gue makin gampang bikin elo tergoda. Biar elo nggak mudah berpaling mata dari melihat body cowok lebih cakep di luar sana. Selain body gue." Lantas dengan sengaja, dia memamerkan otot lengannya yang tampak makin menggiurkan untuk gue pegang.

Hadeeuh, godaan puasa gini amat, sih. Mana bentukan itu otot kayak yang lebih nikmat dari ayam bakar yang sering dimasak sang empu pemilik tangan.

"Awas, puasa elo batal!"

Paras gue sontak merona digoda begitu olehnya. "Bacot! Elo yang mancing, ya!"

Selanjutnya, gue dan Saga ketawa barengan. Telah saling berdamai dengan kegundahan dan kecemasan yang sama-sama kami rasakan.

"So, elo udah tenang, 'kan? Jangan mikir yang jelek-jelek lagi, oke? Percaya sama gue, di sini gue akan selalu setia ke elo."

Gue menganggukkan kepala tanpa ragu. "Iya, Bangsat. Elo juga. Di sini gue juga nggak pernah tertarik melirik cowok lain untuk dijadiin pengganti elo, kok. Tenang aja."

"That's good." Dia tersenyum. "Now, tell me. How's your day?"

Salah satu bagian paling menyenangkan dari momen LDR kami adalah ini. Saat Saga mulai menanyakan bagaimana hari gue. Begitu pun sebaliknya. Selalu setiap kami mulai mengobrol. Yang mana jelas, akan gue ceritakan dengan penuh antusiasme.

"Hari gue dimulai jelas dengan membaca semua teror chat dari elo ya, Bangsat. Ditambah chat titipan pesan dari elo ke Zyas, Dyas, Setya, Mamah, Kak Jim, Adam, semuanya. Gila lo, ya. Masa iya elo ngerepotin semua orang cuma demi ..."

Selama gue bercerita, si Bangsat pasti akan mendengarkan secara bersungguh-sungguh. Memperlihatkan bermacam ekspresi yang seolah mewakili reaksinya untuk masing-masing sudut kisah yang gue tuturkan. Sekali lagi, menyadarkan gue tentang; Oh. Ternyata cowok ini secinta itu sama gue, ya.

Memunculkan perasaan bersalah yang bikin gue berhenti sebentar dari menceritakan hari gue untuk berkata, "Sorry, karena gue udah mengabaikan elo nyaris seharian."

Hanya senyuman maklum yang diberikan oleh Saga atas kalimat gue tadi. Dia mengangguk penuh pengertian, lalu bertanya dengan ekspresi serius, "Lanjut aja. So, ada apa sama Adam dan Nando?"

___TBC

MOHON MAAF ADEGAN DI BAB INI AGAK MENYE DAN DRAMA, YA. Seharusnya adegan ini aku tunda untuk dituliskan di bab yang cukup fatal. Sayangnya, jempolku udah terlalu lelah untuk menuliskan kisah gratisan ini dari menjadikannya lebih panjang lagi.

Mau cepet-cepet aku tamatin. Karena jempolku butuh pensiun. Huhuhu. 😭

Tapi tamatnya entah kapan, sih. Karena masih ada beberapa cerita dan konflik dari tokoh serta pasangan lain yang belum aku jabarkan. 😅

Mohon sabar aja.
Itu juga kalo kalian mau tetap setia menunggu kelanjutannya. Ehehe.

Trims sudah membaca, ya. ❤️
Sampai jumpa lagi pada bab selanjutnya. (⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com