Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

89. PERANTARAAN

Hi, guys~
Pertama-tama, aku mau nanya, nih!

Misalkan, ya. Bagian berisikan adegan intim antara Adam dan Nando ditulis lalu aku jadikan PDF. Kira-kira adakah dari kalian yang bersedia membeli?
Seumpama ada yang mau beli (minimal 20 orang), nanti bakal aku ketik dan jadikan. Kalaupun nggak ada, ya udah. Biarlah adegan itu tersimpan di dalam fantasi kecilku aja. Huehehe. <⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

Jika ada yang ingin kalian tanyakan terkait rencanaku yang ingin menuliskan kisah Adam dan Nando itu, bisa silakan ajukan di sini, ya.

Itu aja yang mau aku sampaikan.
Jangan lupa vote dan komen, ya.

SELAMAT MEMBACA! ♥️

__
___
____

Ketika Arnando mulai mengancingkan lagi kemejanya, saat itulah gue tersadar. Baru berhasil memahami apa yang terjadi di antara dirinya dan juga Adam.

Namun demi menghindari salah paham, lebih dulu gue menanyakan, "Jadi bener, elo sama Adam udah ...?" Menggantungkan tanya, memastikan kebenarannya.

Ditanggapi oleh anggukan kepala laun dari Nando. "Iya, Fer. Udah. Sampe gue nggak bisa tidur gara-gara itu." Dia menghela napas lesu. "And I feel bad about it even though I can't deny how it actually feels good."

Bentar, bentar. Maksudnya gimana, nih?

"Yang bener yang mana? Elo ngerasa nggak enak atau malah keenakan?"

"Dua-duanya! Gue ngerasa nggak enak sama Kak Adam karena gue justru keenakan sepanjang ngeseks sama dia."

Mendengar hal itu sontak aja gue memandangnya kesal. "Nand, gue tabok muka elo satu kali boleh, nggak?"

"Janganlah, Fer." Nando refleks mundur sedikit. "Cukup lubang pantat gue aja yang sakit. Please, gak usah elo tambahin luka juga ke muka gue."

Ucapannya membuat gue kesulitan berkata-kata selama seperkian detik hingga akhirnya gue nggak tahan untuk enggak membentaknya. "Anjir lo, ya! Kok bisa-bisanya elo malah ngentot sama Adam, sih? Kalian belum jadian, 'kan?"

"Belum. Ini terjadi karena gue mabuk dan kebawa nafsu saat deket-deket sama dia."

"Adam juga mabuk?"

"Yah, gue udah tinggal nama andaikan Kak Adam juga mabuk, kali. Kan dia harus nyetir."

"Jadi, dia nggak mabuk?" Sekali lagi gue bertanya.

"Nggak."

Gue mendelik lantaran heran. "Tapi dia bisa ngebalas ciuman elo. Berarti dia sadar, dong?"

Nando mengangguk. "Itulah yang bikin gue sedikit bingung sekaligus ragu. Dari awal, gue udah mencoba mencegah dia. Meski mabuk, gue toh nggak mabuk berat dan masih ada sisa kesadaran. Gue sempat minta Kak Adam buat nggak ngelanjutin apa pun hal yang pasti akan berakhir kami lakukan. Tapi dia ... dia malah mancing gue."

"Mancing?"

"Dia masukin tangan gue ke dalam celana dia dan di situ, dia ngaceng, Fer! Kan gue jadi mempertanyakan. Apakah dia benar-benar straight atau bisa jadi malah biseks seperti dugaan gue?" tuturnya menyambungkan cerita, lalu tampak menerawang. "Yah, emang itu yang awalnya gue pikirin. Karena gue sadar ada satu hal yang janggal selama dia nyentuh gue."

"Janggal gimana?"

"Kalo gue bilang gue nggak ada pengalaman dalam hal seks, apa elo bakal percaya?"

"Nggaklah, njir. Ngaco!" sahut gue atas pertanyaan aneh dari Nando yang jawabannya udah sangat jelas. "Ya kali, elo selama bertahun-tahun pacaran sama mantan lo, terus kalian gak pernah ngapa-ngapain. Walau mantan cowok lo bentukannya macam batu sungai, sih."

"And that's the point!" Nando menyatakan. "Ian meski tampangnya lempeng bahkan sering nampak macam cowok impoten, di atas ranjang, gaya bercintanya gue akui lumayan hebat."

"Lumayan?" desis gue mengomentari penuturannya.

Dia kelihatan jengah, lantas menjelaskan, "Malu sebetulnya gue bilangnya. But, yes. He's not actually that good. Bahkan meski kami udah berhubungan seks selama bertahun-tahun, Ian ini seolah nggak pernah mempelajari teknik kama sutra yang baru. Bisa dibilang kami malah lebih banyak ciuman daripada ngeseks."

Jelas aja gue tercengang nggak percaya mendapati segala penjelasannya. "Selama enam tahun kalian pacaran? Enam tahun lubang elo dihajar keluar-masuk sama dia?"

"Gue sama Ian baru mulai ngeseks sejak kami mulai masuk SMA, for your information."

Sumpah! Gue baru mengetahui fakta yang satu itu. Alhasil gue memberikan cengiran kikuk. "O-oh, iya, iya. Terus seingat gue, kalian pernah tuker posisi juga, 'kan?"

Nando mendelik. "Elo tau dari mana?"

"Saga yang bilang."

"Gue nggak ingat pernah ceritain itu ke Saga."

"Berarti Julian yang cerita."

Dia sekedar manggut-manggut kemudian mengungkapkan, "Iya. Gue dan Ian pernah tukar posisi. Mencoba berbagai variasi demi memenuhi rasa ingin tahu dari hasrat jiwa muda kami. Tapi ujung-ujungnya gue nggak sanggup. Karena gimana pun, gue tetap ngerasa lebih nyaman jadi bottom. Apalagi setiap Ian ada di bawah, dia keliatan kesakitan banget."

"Kontol elo berarti lebih gede dari dia?"

"Lebih panjang, iya punya gue. Untuk ukuran, Ian yang menang. Tapi punya Kak Adam jelas lebih gede dari punya Ian, sih."

Kalimat terakhir yang Nando ucapkan nyaris bikin gue menamparnya bolak-balik saking gregetan.

"Bisa-bisanya elo ingat itu di saat-saat kayak gini!"

"Yang ngebahas ukuran kontol duluan siapa? Kan elo!"

Gue mendecak lalu menghela napas pasrah. "Ya udah, iya. Gue minta maaf karena malah salah fokus sama ukuran kontol kalian."

Nando tersenyum geli. "Gue maklum, kok. Itu terjadi karena elo segitu kangennya mau megang kontol Saga."

"Gak usah bawa-bawa kontol cowok gue ke dalam obrolan ini!" sungut gue memperingatkan, "Dan gak usah elo bayangin!"

Mendengar bentakan gue, Nando tampak tertegun sebentar di posisinya sebelum merespons. "Makin elo ngelarang, gue malah jadi kebayang, kali. Gue sama Saga 'kan sering pipis bareng selama kami satu SMP dulu, Fer."

Lagi, gue cuma bisa menghela napas pasrah, "Ya udah, deh. Selama kontol dia nggak bikin elo sange, nggak apa-apalah."

Dasar kontol! Mengganggu pembahasan penting yang sedang kami bicarakan aja. Kayak nggak bisa nongol di waktu lain.

"Kita balik ke topik soal pengalaman seks tadi aja, deh. Bisa, 'kan?"

Mengangguk setuju atas usulan itu. "Ya udah, iya. Silakan lanjut."

Mula-mula Nando terdiam sebelum mulai menuturkan, "Entahlah apakah Kak Adam ini straight atau biseks. Tapi satu hal yang gue yakini soal dia: pengalaman dia ngeseks dengan sesama laki-laki jelas di atas pengalaman yang Ian ataupun gue miliki. Bukan mau sok tau. Tapi gue bisa membedakan tangan dan sentuhan dari seorang cowok yang terbiasa menggerayangi tubuh cowok ataupun cewek lain. And I'm one hundred percent sure, he's got that called gay's hand in his touch. Dia bisa tau titik mana aja yang bisa membuat gue sebagai sesama cowok terangsang. Bahkan dia nggak keliatan ragu atau jijik sewaktu mulai nyiapin lubang gue yang mana Ian bahkan sulit lakukan selama berkali-kali melakukan percobaan first time sex kami dulu. And I bet, there's no way a straight man could do that."

Penjabaran panjang lebar yang Arnando Shen Michael sampaikan tadi sukses memunculkan berbagai kesimpulan ke kepala gue.

Berhubung gue berniat menjadi penyimak yang nggak asal bunyi aja ketika melontarkan pendapat. Secara hati-hati gue pun menyuarakan tanggapan. "Tapi bisa aja ... Adam punya cara nyentuh kayak gitu dari apa yang dia rasain sendiri, 'kan? Maksud gue, sebagai cowok yang mungkin sering digerayangi cewek yang dia ajak ngewe. Jadi bikin Adam mampu nyentuh elo di titik tertentu yang sama dengan titik di badan dia yang dibikin keenakan. Ngerti, nggak? Soalnya gue juga belajar hal itu selama gue dan Saga sering saling bersentuhan. Makin dilakuin, jadi makin tau."

Nando terlihat meresapi segala kalimat gue sebelum kembali bicara, "Awalnya, gue juga ada pikiran ke sana. Tapi bahkan Kak Adam bisa tau kapan dia harus lanjut dan berhenti selama nusuk gue."

"Mungkin Adam punya banyak pengalaman anal sama cewek-cewek yang dia ajak tidur?"

"Tapi gue cowok, Fer!" sergah Nando atas anggapan gue barusan. "Dan gue bisa bikin dia ngaceng sampe ejakulasi. Dia juga yang ngocokin gue sampe muncrat. Sambil nusuk keluar masuk. Apa sekarang elo mau bilang dia suka ngajak waria dan bencong ngeseks? Gitu?" cecarnya dengan nada yang kian melemah seiring bertambahnya kata yang diucapkan. "Atau mungkin, Kak Adam ngajak gue ngeseks karena dia tau gue nggak mungkin nolak. Sebagai seorang gay, bottom yang secara menyedihkan diputusin cowoknya yang selingkuh. Dan jelas dia bisa tau bahwa gue menaruh ketertarikan lebih ke dia. That's why--"

"Gue rasa, Adam nggak mungkin sebajingan itu, Nand." Gue menyela sambil sigap mendekati Nando, menepuk-nepuk bahunya sebab sadar perasaannya jadi bertambah kacau gara-gara gue. "Meski dia emang kadang ngeselin. Yakin deh, Adam nggak mungkin sejahat dan setega itu sama lo. Buktinya, dia nyariin elo sampe bela-belain nelpon gue jam 4 tadi. Pasti Adam khawatir sama lo," ungkap gue berusaha menghibur.

Namun Nando malah keliatan makin sedih. "Dia nyari gue mungkin karena mau ngambil dompet dia yang nggak sengaja gue bawa, Fer." Dia merogoh kantong belakang, mengeluarkan dompet kulit berwarna cokelat gelap. "Karena pusing, gue asal ngambil segala barang yang ada di lantai. Begitu turun dari Ojol dan jalan kemari, gue baru sadar dompet Kak Adam yang kebawa sama gue. Nih."

Penjelasan darinya bikin gue mendecak lelah. "Itu tandanya elo butuh mandi. Sana, elo mendingan mandi." Dompet Adam gue ambil dan letakkan ke kasur. "Biar nanti gue siapin baju ganti elo. Pinjem punya gue aja dulu. Soalnya baju lo bau alkohol semua." Sesudah itu gue berjalan ke lemari, mengambil salah satu handuk baru hadiah dari sepupu ceweknya Saga. "Nih, handuknya. Masih baru, loh."

Sedikit segan, Arnando menerima handuk dari gue. Kemudian dia menghela napas cukup panjang selagi menatap gue. "Andai nggak takut dibunuh Saga, kayaknya gue pengin daftar jadi selingkuhan elo, Fer. Habisnya elo baik dan perhatian banget."

"Gak usah ngaco!" Handuk di pegangan Nando spontan gue lemparkan ke muka dia usai mendengar kalimat super menggelikannya. "Kepala lo lama-lama gue kepret, ya."

Nando tertawa. Mulai berdiri dari ranjang. Ketika hendak melangkah keluar, lebih dulu dia berbalik menghadap gue lagi. "Makasih ya, Fer. Maaf gue jadi ngeganggu dan ngerepotin elo. Untuk sekarang, cuma elo yang bisa gue percaya dan ajak cerita berhubung elo juga kenal Kak Adam. Dan elo juga udah coming out ke Mamah lo yang sangat terbuka pikirannya. Makanya selama di sini, gue jadi ngerasa aman."

Ungakapan itu gue balas dengan senyuman serta tepukan pelan ke lengannya. "Selama itu bisa ngebantu elo. Gue nggak keberatan, Nand. Karena elo adalah temen gue."

Dia nyengir. "Thanks, Fer. Gue mandi dulu, ya."

Begitu Nando berjalan keluar menuju ke kamar mandi, gue ikut keluar dari kamar. Melangkah ke dapur di mana Mamah terlihat sedang mengirisi bawang serta cabe. Cahaya kecil rice cooker di dekat kulkas masih berwarna merah. Pertanda nasi belum matang. Padahal gue udah lapar.

"Gimana keadaan Nak Nando?" Mamah bertanya saat akhirnya menyadari keberadaan gue yang berdiri diam di ambang pintu dapur.

"Gitulah, Mah." Gue menjawab begini lantaran bingung harus gimana menjelaskan kondisi Nando yang sebenarnya. "Tapi udah mendingan, kok. Sekarang dia lagi mandi," kata gue yang lalu menghampiri kulkas. Mengambil satu botol Mogu-Mogu untuk diminum sebagai pengganjal lapar.

"Dia sama Nak Adam lagi kenapa? Mamah meuni kepo, ih." Bahu gue sekonyong-konyong disenggol oleh Mamah sampe bikin isi Mogu-Mogu yang sedang gue teguk hampir tumpah. "Mereka teh pacaran apa gimana?"

Gue mendecak seraya mengusap mulut. "Nggak, Mah. Nando sama Adam gak pacaran."

Mengetahui hal itu, anehnya Mamah keliatan nggak senang. "Padahal mereka teh cocok. Lebih cocok malah dibanding Nando sewaktu masih pacaran sama Julian."

Komentar itu membuat mengernyit. "Menurut Mamah gitu?"

"Asli. Gak bohong mamah mah."

"Menurut Mamah, Fery sama Saga cocok, nggak?"

Mamah memukul pelan punggung gue mendapati tanya iseng yang gue lontarkan. "Kalo nggak cocok, ngapain atuh mamah kasih restu? Ada-ada aja pertanyaan kamu, tuh."

Gue terkekeh, sesudah itu bertanya lagi. "Di antara, Fery sama Saga, Vano sama Setya, Arima-Jofan, dan Nando-Adam. Mana pasangan yang menurut Mamah paling serasi?"

Kali ini Mamah tampak berpikir. "Hmmm. Yang paling serasi mah jelas, mamah sama Gong Yoo. Dia bisa melindungi mamah dari kejaran zombi. Bisa jadi goblin juga. Udah mah ganteng. Kaya. Paket komplit pokoknya!"

Sedangkan gue sukses dibikin tersengih mendapati jawaban super ngawur dipenuhi khayalan tingkat tinggi Mamah tadi.

"Yee, si Mamah nggak nyambung!" Gantian, bahu Mamah gue senggol sampe membuat Mamah bergeser ke dekat tempat cuci piring. "Hobi aja nonton drama Turki, ngarepin jodohnya malah laki Korea."

Mamah memperdengarkan decakan sok heran menangkap komentar gue. "Jangan salah, ya. Walau sekarang mamah suka drama Turki, tapi mamah masih belum bisa ngelupain oppa-oppa Korea ganteng favorit Mamah!"

Gue mendengkus. "Mulai ganjennya!"

"Ih, nggak apa-apa atuh. Masih mending ngehalu daripada jadi pelakor," desis Mamah yang setelah itu lanjut memotong-motong bawang.

Sementara gue melangkah meninggalkan dapur masih sembari membawa Mogu-Mogu. Kembali ke kamar hendak menyiapkan setelan ganti yang akan gue pinjamkan untuk Nando. Salah satu kaus Balenciaga hadiah dari Tante Diana gue ambil. Disusul satu sempak yang baru Sabtu lalu gue beli dan belum dipakai. Beserta satu kolor dan juga celana santainya. Lagian mau gue kasih celana Levis pun, ukuran pinggang gue dan Nando berbeda dua nomor. Bakal kesempitan yang ada jika dia make celana punya gue.

Selesai menaruh semua pakaian ganti untuk Nando ke kasur, gue keluar dari kamar lagi. Berniat menaruh kembali Mogu-Mogu rasa melon yang tinggal setengah di tangan gue ke dalam kulkas, sewaktu suara ketukan di pintu membuat laju kaki gue berubah arah.

"Siapa yang bertamu pagi-pagi begini coba?" gumam gue.

Kuncian gue buka, disusul menarik daun pintu ke dalam. Hanya untuk dibuat terkesiap mendapati sosok siapa yang berdiri di hadapan gue.

"Hai, Fer." Adam menyapa gue dengan raut gelisah di wajahnya.

"A-Adam? Elo kenapa di sini?" Anjir, suara gua kentara banget gugupnya lagi.

"Nando ada di dalem, 'kan?"

Tanya balasan yang Adam ajukan terang aja bikin gue agak kaget. "Hah? Nando? Nggak ada, kok." Tentu aja gue harus berdusta demi melindungi keberadaan sahabat gue yang masih belum ingin menemui dirinya.

"Terus, ini sepatu siapa?" Adam menunjuk ke bawah, pada sepasang sepatu milik Nando yang tergeletak di sana.

HADEEUH! GOBLOK! SEPATUNYA PAKE DITINGGAL DI LUAR SEGALA LAGI SI NANDO, NIH!

"Please, Fer. Let me talk to him."

Permintaan itu gue abaikan. "Kalo elo mau minta dompet elo balik, biar gue ambilin."

"I don't care about that!" sergah Adam tampak bersungguh-sungguh. "All I want is talk to Nando. Cuma itu. Dia di mana?"

Gue menggelengkan kepala. "Nando kayaknya masih belum siap bicara sama elo, Dam."

Mendengar respon gue membuat Adam terlihat sedih. "I know it. Dia pasti benci sama gue 'kan sekarang?"

"Hah?"

"This is my fault. Seharusnya, gue bisa kontrol diri gue saat berada di dekatnya, tapi gue ... nggak bisa. I can't. When I'm with him, I can't hold myself for not touching him." Adam meracau yang semata-mata menjadikan gue semakin kebingungan.

"Elo ini lagi ngebacot soal apa, sih?" sewot gue menanyakan. "Sejak awal gue udah bilang sama elo ya, Dam. Kalo elo cuma mau mainin perasaan Nando, gue nggak--"

"That's not my intention!" tukas Adam dengan ekspresi frustrasi. "Since the beginning, I don't want to hurt his feeling. At all! Dan gue di sini mau bicarain hal itu sama dia. Supaya Nando tau yang sebenarnya."

Gue mengernyit. "Tau soal?"

"That having sex with him wasn't a mistake that I made as a straight man."

Kalimat cukup panjang yang diucapkannya dalam aksen British itu sedikit sulit untuk gue tangkap sepenuhnya. "Hah?" Alhasil gue masih belum mengerti apa maksud dia.

"Fer, gue boleh pinjem ... gak jadi."

Suara Nando yang terdengar dari balik punggung gue makin mempersulit posisi gue. Adam udah tau dia di sini. Tapi Nando masih nggak mau ditemui atau bicara dengan Adam. Dengan gue yang bingung harus memihak dan membantu yang mana. Nando sahabat gue, dan Adam adalah calon sepupu ipar gue. Mana mereka keliatan sama-sama bingung dengan situasi yang terjadi. Ikutan pusing gue jadinya.

"Nando!"

Sigap gue menahan tubuh Adam yang berniat masuk ke dalam untuk menyusul Nando. "Heh, bentar! Mau main terabas aja lo. Ini rumah gue, ya."

Omelan gue memunculkan erang putus asa dari mulut Adam. "Please, Fer. I need to talk to him."

Haduh, mana dia memohon dengan tatapan yang sangat menyedihkan begitu. Nggak tega gue ngeliatnya.

"Biarin aja atuh, Fery." Mamah tiba-tiba bersuara di belakang gue sembari membukakan pintu dengan lebih lebar. "Kasian Nak Adamnya."

Karena bujukan dari Mamah yang bersikeras menyuruh gue bantu mendamaikan Nando dan Adam, alhasil gue berada di sini sekarang. Berdiri di depan pintu kamar sendiri. Mengetuk-ngetuk sebelum gue membukanya dari sini.

Gue memunculkan kepala. Mendapati Nando yang tengah duduk di sisi ranjang sembari memegangi HP-nya.

"Nand, Adam bilang dia mau ngomong sama elo," bisik gue memberitahu.

Ditanggapi oleh Nando yang menganggukkan kepala tanda menyetujui.

"Kami masuk, ya," ujar gue yang lekas melangkah masuk diikuti oleh Adam yang segera aja berlutut di hadapan Nando dengan raut cemas.

"Are you okay, Nand? I'm so sorry for what I've done to you," ucap Adam dengan ekspresi kalut. "I ... it's really not your fault." Dia tampak ingin sekali menyentuh Nando, tapi nggak berani. Jadi dia sekadar meletakkan tangan pada tepian kasur di kanan-kiri kaki Nando.

"But I kiss you first."

"Yes!" Adam nggak menyangkal pernyataan itu, dan dia berkata. "But I want us to do more, that's why it's happened."

"Bilang sama gue, Kak. Apakah elo--"

"I'm gay, Nand!" Bukan hanya Nando yang terkejutkan oleh pengakuan itu, tetapi juga gue. "Not a bi or a straight. A gay."

APA MAKSUD? DIA NGOMONG APA BARUSAN, WOI? INI COWOK PASTI LAGI NGADI-NGADI!

Secara cepat gue menyambar, "Tapi selama ini elo selalu godain cewek-cewek dan main sama cewek setiap--"

"That's completely a lie and just a kamuflage! For me!" Adam menyela perkataan gue dengan kedua mata yang memejam seolah malu atas apa yang dirinya sendiri ungkapkan. "I told and shown lot of lies all this time, so that no one will know. Especially my family." Perlahan, kedua matanya membuka. "Or at least, that's what I thought before Saga coming out to our entire family and makes me feel so stupid." Dia menyeringai sinis bagai tengah menertawakan diri sendiri. Sesudah itu menatap Nando yang juga tengah memandanginya sedari tadi. "You know what? You remind me of myself, Nando. The first time I saw you and heard your story about your ex boyfriend. I feel like, I saw myself inside you."

Ragu-ragu, Adam menyentuh jari kelingking Nando sebelum lanjut berbicara, "I once also had a boyfriend which I've been dating for years. I love him so much. I trust him. I gave my everything for him. Only him. But behind me, he's cheating. Not only cheating, but also he's slept with plenty of guy without I even notice. When someone told me the truth 'bout him, I deny. I can't believe it because I thought, I know him more than anyone else. But turns out, I'm wrong." Nando memegangi jemari Adam kali ini. "Pada akhirnya gue mergokin dia lagi having fun bareng cowok lain. Ada dua orang pula. Hahaha!" Suara tawa yang cukup lantang itu bahkan nggak mampu menutupi betapa besar rasa sakit yang dia rasakan. Terlihat sangat jelas. "And honestly, that's really painful. To see it with my own eyes how someone that I love the most ... could did that to me."

Adam gue pandangi dengan sorot prihatin. Merasa kasihan padanya. Tidak menyangka bahwa di balik sosoknya yang gampang tersenyum itu, dia memendam luka yang cukup dalam dari kisah cintanya yang baru aja gue ketahui. Tadi.

"Itu kapan? Selama elo di UK?" tanya gue lantas memutuskan duduk di samping Nando.

Adam tersenyum masam sembari mengangguk nanar. "Yes. Selama gue kuliah di sana. Bahkan gue bertahan stay di UK selama hampir setahun demi dia. Mengabaikan ajakan pulang Mas Jim, Bunda, Oma dan semuanya. Hanya demi dia. Karena gue secinta itu sama dia. Tapi nyatanya? Gue nggak lebih dari badut yang dijadikan bahan mainannya."

Jawaban itu gue balas dengan pernyataan yang gue ketahui. "Kak Jim bilang elo punya banyak mantan."

"Hoo." Adam menaikkan kedua bahunya. "Itu bualan aja, kok. Meski gue emang ada mantan cewek, nggak beda kayak Saga. Tapi mantan gue nggak sebanyak dia. Dan mantan yang gue pacarin juga seorang lesbian. Orang pertama yang tau tentang diri gue yang sebenarnya. Yang bantu menutupi orientasi seksual gue selama kami duduk di masa SMA selama hampir dua tahun," jelasnya tanpa melepas senyuman seakan dia sejak lama emang ingin menceritakan hal ini. "Tapi gue selalu ngaku sama orang rumah bahwa gue sering gonta-ganti cewek. Berhubung muka gue juga disebut-sebut sebagai muka playboy. Apa salahnya jika sebutan itu gue manfaatkan, 'kan?"

"So that means, he's your first love? Your ex boyfriend?" Gantian Nando yang bertanya. Menjadikan genggaman di antara dia dan Adam kian erat.

"Sadly, yes." Adam menggeleng masygul. "Sometimes I feel like an idiot. To having my first love with such a scumbag like him."

"Me too. I keep thinking about how stupid I was to fall in love with Ian. And I still can't forget about him no matter how much I try." Nando menarik napas panjang sebelum meneruskan, "At least, before I met you."

Mendapati ungkapan itu, serta merta wajah Adam tampak berseri. Kedua tangan Nando langsung aja digenggam olehnya. "That's okay. We both still need time to known each other better though. No need to hurry." Tersenyum, dia menyambungkan, "I'm not going anywhere. I'll wait. Until we're ready to start a new journey. Together."

Nando balas tersenyum seraya mengangguk. "I hope it won't take too long."

.

"Sekarang gue jadi kepikiran, Dam."

Ucapan gue bikin Adam urung menyuap makanan ke mulutnya. "Apa?"

Gue menunjuk Adam menggunakan sendok di pegangan. "Waktu itu elo pernah ngetes gue, 'kan. Saat awal-awal elo datang ke sini. Mengetes kepantasan gue sebagai pacar adik sepupu kesayangan lo," kata gue membeberkan. "Apa itu elo lakuin karena elo curiga gue bakal bersikap kayak mantan lo? Yang gampang kegoda sama cowok lain?"

Lebih dulu Adam menelan makanannya sebelum menjawab. "Padahal gue pikir elo udah lupa."

Minta dilemparin sambel muka ini bule!

"Mana bisa gue lupa, kampret!" sembur gue diakhiri dengkusan.

Nando yang mendengar obrolan kami jadi bertanya-tanya. "Kalian lagi bicara apa?"

"Nak Adam ini dulu pernah iseng sama Fery." Mamah bantu menjelaskan, "Sering ngegodain Fery. Ngeganggu Fery di tempat kerja. Sampe pernah ikut ngintilin Nak Saga juga sewaktu Nak Saga niat ngapelin Fery ke sini. Kayak sengaja banget mau mancing-mancing Fery terus. Yang ternyata, itu dilakuin karena Adam mau ngetes Fery, katanya. Menguji kesetiaan dan kepantasan Fery sebagai pacar Nak Saga."

Gue lalu menambahkan, "Dan perlu elo tau, Nand, cara dia ngetes gue tuh asli kayak tai banget. Ngeselin. Gue sampe dibikin dia nangis waktu itu."

Spontan aja Nando menatap Adam dengan sorot kecewa. "Kok elo jahat banget, Kak?"

Dikatain begitu bikin Adam terlihat kikuk di posisinya. "Iya. Waktu itu gue akui gue emang jahat banget. Tapi gue nggak bisa nggak mikirin kemungkinan jelek yang akan terjadi pada hubungan yang Saga jalani. Mengingat gimana mantan gue yang keliatan manis dan baik di depan aja diam-diam bisa selingkuh."

"Masalahnya, Adam. Elo pikir gue punya modal apa sampe bisa selingkuh sama cowok lain?" balas gue seraya mendelik ke arah Adam yang tadi menuturkan isi pikirannya terkait hubungan gue dan Saga.

"Selingkuh itu bukan cuma soal hati dan menjalin hubungan istimewa di belakang pasangan kita kali, Fer."

Mendapati penuturan Nando menyadarkan gue akan sesuatu. "Enak aja!" Gue mendecak sebal. "Gue nggak semurahan itu, ya. Mantan elo sih saking aja punya lubang yang gampang gatel."

"Ih, Fery!" Mamah menegur. "Lagi pada sarapan juga ngomongin yang begitu. Jorok, ah."

Gue sekadar nyengir setelah diomeli oleh Mamah. Lanjut memakan sarapan di piring gue dengan lauk telur dadar dan tumis oyong campur bayam. Bersama Adam dan Nando yang dilarang pulang oleh Mamah jika nggak mau ikut sarapan dengan kami.

"Your ex must be so ungrateful," celetuk Nando pada Adam yang kini memandangnya penuh tanya.

"Why?"

Nando tersenyum. "Because for me, you're actually so good."

Pujian itu serta-merta membikin Adam nyaris tersedak. Dengan gue yang menyaksikan sampe nyaris aja kehilangan nafsu makan.

"Stop flirting in front of my food, you monkey!" protes gue kepalang jengkel karena dua makhluk ini mendadak dikelilingi aura bucin yang nggak sedap dilihat. "Mending kalian cepetan makannya, terus minggat dari rumah gue."

"Ih, Fery!" Lagi-lagi Mamah menegur gue. "Gak sopan ngusir-ngusir tamu."

"Iri dia, Tan." Nando meledek. "Soalnya lagi gak bisa mesra-mesraan. Pacarnya jauh, sih."

"Hahaha!"

BUSEEET! GUE JADI DIKETAWAIN,DONG!

"Bacot lo! Masih PDKT-an aja udah sombong!" sungut gue sambil memelototi Nando yang malah cekikikan.

"Nggak apalah baru PDKT, yang penting deket." Lalu secara sengaja, Nando menyandarkan kepala ke pundak Adam.

Pelototan gue jadi makin kesumat. "Awas aja, bakal gue aduin ke cowok gue nanti."

"No, please don't!" Adam berkata dengan nada panik seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Membuat gue, Mamah dan Nando memandangnya cukup kaget saking kerasnya suara yang diperdengarkan.

Mendapati reaksi kami, Adam meringis. "Kalo gue boleh minta, tolong banget, jangan pernah kasih tau masalah ini ke siapa-siapa. Terutama Saga selaku keluarga gue," pintanya dan menyatukan kedua telapak tangan di depan muka. "Biar nanti, gue mengaku sendiri ke dia. Dan ke seluruh keluarga besar Fransiskus juga saat waktunya tiba. Ya?"

"Ya udah, kalo emang itu yang Nak Adam mau." Mamah nggak perlu berpikir lama untuk memenuhi permintaan tadi.

Gue pun menganggukkan kepala. "Iya. Gue dan Mamah siap menjaga rahasia, kok."

Adam mengembuskan napas lega. "Thank you." Dia tersenyum, lalu mengerling pada Nando yang langsung aja memberinya senyuman balasan.

Di depan mereka, gue memperhatikan sebagai saksi. Melihat bagaimana dua orang yang sama-sama memiliki pengalaman patah hati yang pahit dipersatukan takdir. Dan apa pun yang akan terjadi ke depannya, gue cuma berharap Adam dan Nando akan bisa saling memulihkan luka.

__

Cuti telah usai, cuti telah usai. Hore, hore, saatnya balik kerja! Dan berhubung ini adalah hari pertama kembali bekerja, dengan penuh semangat gue berangkat dari jam 6 pagi menuju ke L-Laurens hanya supaya gue bisa secepatnya bersih-bersih di sana.

Mengenakan helm baru hadiah dari Adam; tas mahal pemberian Kak Jimmy; sepatu kado dari Yuri; dan jaket abu-abu dari Dyas. Menaiki motor milik gue yang cicilannya udah berhasil dilunasi. Melewati satu per satu rumah tetangga di komplek perumahan ini selagi menyapa orang-orang yang gue kenal dan temui tanpa lupa tersenyum--padahal gue pake masker.

Teringat pesan yang si Bangsat kirimkan dan masuk sejak jam 4 pagi tadi di iMessage gue.

Saga 😺 :
Semangat, Babe!
Jangan lupa sarapan 💛

Mengingat pula obrolan yang kami bahas tadi malam tentang Mbak Tiara. Yang lagi-lagi, ditanggapi dengan santai oleh Saga. Berkata bahwa semua akan baik-baik aja. Nggak ada yang perlu gue khawatirkan dan segala hal yang tampak enteng bagi dia lainnya.

Sedangkan gue sepanjang duduk di boncengan motor nggak mampu mengenyahkan perasaan gamang. Semakin dekat jarak gue menuju L-Laurens, makin deg-degan pula rasanya debaran di jantung gue. Bertanya-tanya sendiri; apa yang harus dilakukan bila gue dan Mbak Tiara bertatap muka? Apa yang mesti gue katakan padanya? Dan lain-lainnya.

Hingga ketika gue tiba di parkiran L-Laurens, mendapati hanya mobil Kak Jimmy yang terlihat di sini, bikin gue serta-merta mengembuskan napas lega. Berpikir bahwa gue bisa segera bekerja tanpa perlu mencemaskan Mbak Tiara sehubungan dengan dirinya yang belum datang.

Namun, suara klakson yang terdengar kemudian membuat gue refleks menoleh. Melihat motor Honda Beat Street hitam yang dikendarai oleh sosok yang belum siap gue jumpai tengah mendekat kemari. Parkir tepat di samping motor Honda Beat biru putih gue yang masih diduduki.

"Pagi, Fer!" Mbak Tiara menyapa sesudah melepaskan helmnya.

"H-hai, Mbak. Pagi." Berbeda dengan Mbak Tiara yang tampak santai, gue jelas aja gugup nggak keruan. Bingung harus bereaksi gimana bila topik mengenai hubungan gue dan Saga mulai dipertanyakan olehnya.

Sekonyong-konyong Mbak Tiara menyodorkan tangan kanannya ke arah gue. "Mohon maaf lahir dan batin ya, Fer. Kita belum sempet salaman, 'kan."

"O-oh, iya." Sedikit sungkan, gue membalas ajakan bersalaman Mbak Tiara. "Gue juga ya, Mbak. Minta maaf kalo ada salah." Ragu-ragu, gue lalu memberanikan diri untuk berkata, "Emm, Mbak. Soal pertanyaan Mbak waktu itu--"

"Nggak usah dibahas, Fer! Nggak apa-apa," tukas Mbak Tiara seraya mengibaskan tangannya.

"Eh?"

Dia tersenyum. "Bos Saga udah ngejelasin semuanya ke gue."

Mengetahui itu, terang aja gue memekik. "Hah? Kok Saga?"

"Iya." Mbak Tiara mengangguk. "Dia nge-DM gue langsung dan ngejelasin semuanya. Makanya elo gak perlu repot-repot ngejelasin ulang."

Tunggu dulu. Gimana? Kenapa gue baru tau? "Kapan itu, Mbak?"

"Dari waktu itu gue ngirimin elo chat WA. Nggak lama, bos Saga nge-DM gue di IG."

Penjelasan itu semakin membuat gue tercengang sejadi-jadinya. "Anjir, itu orang! Masalahnya, dia nggak ada bilang apa-apa ke gue, Mbak."

Mbak Tiara keliatan menahan tawa. "Iya. Bos Saga juga yang nyuruh gue untuk nggak bilang apa-apa ke elo. Katanya, nanti kalo kita mulai ketemu gue baru boleh ngasih tau elo, Fer."

Seketika gue meradang. "Dasar cowok anjing!"

Kali ini Mbak Tiara gak mampu lagi menahan tawanya. "Nggak apa-apa, Fer. Lagipula, gue sadar toh di sini gue cuma pegawai. Ditambah kalian berdua sama-sama orang baik. Jadinya yah, nggak ada masalahlah bagi gue. Tau kalian pacaran atau nggak pun gak ada bedanya buat gue."

Penuturan itu sukses meluruhkan rasa kesal gue terhadap si Bangsat. Untuk lalu menanyakan hal yang sangat ingin gue ketahui. "Emangnya, sejak kapan Mbak Tiara tau?"

"Sejak dua minggu gue mulai kerja di sini."

Mata gue mendelik gak percaya. "Udah selama itu?"

Perempuan penyuka kucing ini nyengir. "Iya. Curiga sih udah sejak awal karena kedekatan kalian keliatan nggak wajar. Tapi gue berpikir positif ajalah ya, berhubung elo sama Bos Saga udah berteman sejak SMA 'kan. Sampe satu waktu, gue ngeliat elo sama Bos Saga ciuman. Di kantornya. Waktu itu pintunya kebuka sedikit, jadi gue gak sengaja ngintip. Sorry ya, Fer," ungkapnya menceritakan yang semata-mata menjadikan gue jengah sendiri.

"Gue yang seharusnya minta maaf, Mbak. Karena udah bikin Mbak ngeliat hal ... kayak gitu."

"Gak masalah, Fer." Tangannya bergerak-gerak santai seolah meminta gue supaya nggak perlu malu. "Malahan gue salut sama kalian berdua. Terutama elo. Yang nggak ada gengsinya sama sekali kerja dan jadi bawahan cowok lo. Dan Bos Saga juga mendukung penuh elo dengan pekerjaan lo yang begini. Kalo gue jadi elo, kayaknya gue bakalan malu, Fer. Mental gue nggak sekuat itu."

Sanjungan yang Mbak Tiara sampaikan memunculkan perasaan lega dalam diri gue. Bikin gue akhirnya bisa menunjukkan senyuman padanya.

"Namanya orang cari pengalaman, Mbak. Kerjaan apa aja dijabanin. Segini pun gue keterima kerja karena kebetulan ada keterampilan dalam hal bersih-bersih. Andai nggak ada, kayaknya gue bakal nganggur sampe sekarang. Toh meski gue pacar Saga, dianya tetap nggak akan mau punya pegawai gak berguna," ujar gue disertai selorohan yang bikin Mbak Tiara terkekeh.

"Langgeng terus buat kalian berdua, deh. Kompak selalu."

Gue nyengir. "Iya, Mbak. Makasih buat doanya. Dan makasih karena Mbak nggak menghakimi gue ataupun Saga."

Mbak Tiara menghela napas seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Gue bukan Tuhan yang berhak menghakimi kalian, Fer. Kita sesama manusia. Apa salahnya saling pengertian ke satu sama lain, 'kan?"

Mendengarnya, gue nggak bisa untuk nggak setuju. Sadar terlalu muluk apabila gue mengharapkan agar semua orang dapat menerima hubungan yang gue dan Saga jalani, akan tetapi setiap kali dipertemukan dengan mereka yang berusaha mengerti situasi kami alih-alih menghakimi, gue sungguh mensyukurinya lebih dari apa pun. Menjadikan gue kian antusias menantikan setiap cerita yang akan terjadi dalam kisah asmara yang gue miliki.

Melewati bulan kelahiran gue dengan bekerja sambil sesekali menghabiskan waktu bersama kawan-kawan dan Mamah. Tiada hari tanpa Facetime dengan Saga tentunya. Lalu menuju akhir bulan Mei, gue dan seluruh pihak yang menjadi bagian dari L-Laurens menghadiri pernikahan Kak Mala. Dengan Kak Ersa yang membawakan standee Cha Eun Woo untuk Kak Mala selaku sesama penggemar K-Pop dan Drama Korea.

Sebagai hadiah kejutan pernikahan untuk Kak Mala, Saga memberikan cuti selama satu bulan penuh sepanjang Juni. Membiarkan Kak Mala dan sang suami menghabiskan bulan madu dengan setengah biaya yang siap ditanggung oleh cowok gue selaku atasannya. Bikin Kak Mala menangis terharu. Nggak menyangka bahwa meskipun sedang jauh, ternyata sang bos masih begitu peduli dan memperhatikannya. Bahkan suami Kak Mala juga mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada Saga ketika kami melakukan Facetime demi berbicara dengan mereka.

Bukan tanpa alasan Saga memberikan hadiah itu kepada Kak Mala. Sebab ada persetujuan yang disepakati oleh Kak Mala dan Saga sejak awal ketika Kak Mala mulai melamar bekerja. Tentang Kak Mala yang akan tetap menjadi pegawai di L-Laurens sekalipun dia telah menikah. Ditambah Kak Mala juga mengaku akan menunda untuk memiliki keturunan karena ingin menyiapkan lebih banyak tabungan masa depan. Perencanaan matang yang dimiliki oleh Kak Mala serta sang suami bikin Saga salut. Makanya, segala hadiah itu dipersembahkan khusus untuk mereka. Yang mana itu pun tentu dilakukan dengan campur tangan dari gue selaku pihak yang akan bekerja penuh selama menggantikan Kak Mala yang cuti nanti.

Bulan Juni, sesuai dugaan, terasa amat melelahkan. Bekerja selama lebih dari 12 jam dari pagi hingga malam mulai Senin hingga Jumat. Ditambah Sabtu juga ketika gue mau ambil lemburan--lumayan buat nambah uang jajan. Pada pertengahan Juni, gue mentraktir Arima makan di Warunk UpNormal berhubung dia tengah berulang tahun--soalnya kado ultah dari dia tahun ini untuk gue adalah satu kardus Indomie. Nggak lupa mengajak serta Jofan, Nando, Ajay dan Setya. Zyas dan Dyas nggak bisa ikut karena dapat tugas untuk membantu Om David di klinik.

Mendekati akhir Juni, gue mengirimkan hadiah ulang tahun untuk Tante Cyntya. Berupa buket bunga serta kalung berlian. Melakukan Facetime bertiga dengan Saga pada malam harinya, secara kompak menyanyikan lagu happy birthday teruntuk Tante terkasih kami ditemani tepuk tangan dari Om Yudha, Virly, Ethan dan Mikhael.

Lalu pada awal Juli, gue gantian memberikan hadiah ulang tahun teruntuk Om Julius. Baru sanggup memberi beliau kado tahun ini berhubung gue udah punya penghasilan sendiri. Membelikan Om jas, kemeja beserta dasinya yang bantu dipilihkan oleh Saga. Yang berkali-kali mengingatkan gue untuk nggak terlalu menghamburkan uang demi sang ayah. Sebab si Om mau itu barang murah atau mahal bakal tetap dipake asal bikin nyaman, katanya. Berakhir kena omel oleh Om Julius karena gue dianggap buang-buang uang. Om bilang, daripada membelikan dirinya kado, lebih baik uang itu gue simpan. Dan memperingatkan gue untuk nggak membelikannya hadiah lagi kapan-kapan.

Lantas mengadu pada si Bangsat yang dengan entengnya merespons. "Gak usah didengerin. Tahun depan, kita harus tetap ngasih Daddy hadiah. Bukan cuma elo yang selalu kena omel Daddy setiap hari ulang tahunnya tiba, kok."

Dasar anak kurang ajar.

Pada tanggal 7 Juli selaku hari lahir sang Mommy, seperti tahun-tahun sebelumnya, Saga bakal mengunggah story berupa dia yang sedang makan sandwich berisi sayuran--menu yang terakhir kali Tante Laura buatkan untuknya. Berlanjut pada besoknya, gue dan kawan-kawan lain kompak men-tag Vano di berbagai story dan kiriman pada hari ulang tahunnya yang ke-19. Menyambut kedatangan dia kembali ke Indonesia dua minggu kemudian di rumah gue dan Saga.

Nggak ada lokasi lain yang bisa dijadikan tempat kami berkumpul secara leluasa selain di sini soalnya. Mana Vano datangnya pun secara sembunyi-sembunyi. Dia udah bosan karena selalu dipersulit setiap ingin pergi main, katanya. Alhasil Vano memilih kabur dibantu oleh Kak Armet yang beralasan ingin mengajak dia berbelanja. Tapi ujung-ujungnya si Vano dibawa kemari sementara Kak Armet lanjut mengurusi persiapan acara pertunangannya yang akan diadakan Sabtu depan.

"Here. Present for you, Feri. Happy birthday."

Siapa yang bulan ini berulang tahun, siapa juga yang dikasih kado.

"Makasih." Gue menerimanya. "Padahal gue belum nyiapin kado buat lo."

"Gue nggak butuh juga kado dari elo. That's okay," ujar Vano menyebalkan diikuti suara ketawa tertahan dari pacarnya dan si kembar.

Bule kambing songong emang.

"Kado buat aku sama Dyas mana?" tanya Zyas penuh harap.

Cowok paling muda sekaligus paling tinggi di sini menggelengkan kepala. "Gak ada. Ulang tahun kalian udah lewat lebih dari tiga bulan yang lalu."

"Tapi ulang tahun pacar kamu juga udah lewat lebih tiga bulan lalu!" kata Zyas nggak terima.

Setya yang sedari tadi duduk di atas pangkuan paha kanannya ditatap penuh cinta oleh Vano. "Kalo Febri pengecualian, lah. I'll give everything for him not only on his birthday."

HADEUUUH BACOT! IYA, DEH! YANG AKHIRNYA BISA LEPAS KANGEN!

Begitu acara kumpul kami selesai pun, Vano dan Setya memesan Gocar untuk pergi bersama ke tempat mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu berdua. Sementara Zyas dan Dyas pulang menggunakan mobil yang membawa serta gue dan Setya ke sini. Sedangkan gue masih di rumah, belum ingin pulang.

Menempelkan foto hasil dari jepretan kamera polaroid hadiah dari Vano. Menambahkan satu lagi memori pada deretan momen demi momen yang gue lalui. Sayangnya, momen menyenangkan yang hari ini gue lewati terasa kurang tanpa kehadiran si Bangsat di antara kami berlima.

Menilik satu per satu foto yang gue, Saga, Setya, Vano, Dyas dan Zyas selalu abadikan setiap kami tengah bersama. Acara kumpul lebaran 2020 di rumah si Bangsat. Pesta penyambutan gue yang baru pulang dari rumah sakit. Foto terakhir kami sebagai murid SMA. Perayaan ulang tahun gue yang ke-18. Hari kelulusan. Kami berenam di depan bangunan L-Laurens yang belum jadi. Momen lainnya ada, tapi tanpa kehadiran Vano karena dia udah harus berangkat ke Amerika. Lalu sekarang, giliran Vano pulang, cowok gue yang nggak ada.

"Kalo begini terus, kapan kita berenam bisa kumpul sama-sama lagi?" gumam gue bertanya pada udara kosong, menerawang.

Gue menghela napas panjang, lalu terkesiap. Seketika merasakan sensasi merinding di sekujur badan ketika indra penciuman gue mendadak membaui aroma parfum dari seseorang yang sedang gue pikirkan.

Haduh, gila! Saking kangennya gue ke si Bangsat, halusinasi ini bikin gue seolah bisa mencium wangi dia.

Mungkin ini pertanda bahwa gue harus segera pulang. Siapa tau di dalam rumah ini ada jin yang bisa menyerupai wujud Saga sampe meniru aroma badannya juga.

ANJRIT! TAKUT, WOI! DASAR PIKIRAN GOBLOK NGGAK BISA DIATUR!

"ARRRGHH! PERGI LO, SETAN!" jerit gue histeris sewaktu merasakan sentuhan yang melingkari perut gue secara tiba-tiba. Napas gue ngos-ngosan dengan debaran nggak santai di jantung.

TOLONG, TOLONG, TOLONG, JANGAN GANGGU! GUE MASIH BELUM SIAP BERTATAP MUKA DENGAN MAKHLUK ASTRAL!

"Baru juga gue pulang, masa iya elo mau nyuruh gue pergi lagi?"

Suara yang amat gue kenali yang diperdengarkan tepat di dekat telinga membuat gue sigap berbalik. Hanya untuk dibikin melotot nggak percaya, memandangi sosok yang amat gue rindukan yang entah bagaimana caranya udah aja berdiri di hadapan gue. Memasang senyuman menawan yang rasanya udah lama banget nggak gue lihat secara langsung. Mendatangkan perasaan terharu yang seketika mengantarkan perih ke kedua mata gue.

"Hi, Babe. I'm home!"

___TBC

Hayoo, siapa yang nggak sabar pengin ngeliat kemesraan SagaRyan lagi? Hihihi.

Sampe ketemu lagi di BAB berikutnya, ya. (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com