Failing to Regret [SAGA POV]
Sejak dulu, gue selalu sadar bahwa gue memiliki sisi egois dan serakah yang sering kali sulit untuk diberi batasan. Berpikir, bila mana cepat atau lambat hal ini hanya akan merugikan diri gue bahkan orang-orang yang gue sayang. Lalu ketika akhirnya masa itu tiba, tanpa disangka-sangka, sosok yang paling dirugikan dan tersakiti atas sikap jelek gue ini nggak lain dan gak bukan justru adalah seseorang yang paling amat gue cintai.
"Kami mohon maaf dan sungguh sangat menyesal untuk menyampaikan berita ini pada Nyonya Desyana. Ini, terkait kondisi ibu Anda. Ibu Rusnita telah meninggal dunia pada pukul 17:34. Kami selaku pihak Rumah Sakit WBI turut berduka cita. Kami mohon doanya, dan pemakaman almarhumah ..."
Pada saat itu, perhatian gue berpusat pada Ryan yang seketika mematung dengan wajah pucatnya yang berkali lipat menjadi kian memucat. Dia tampak menahan napas, mendelik dengan kedua sorot mata nanar, gamang tak keruan. Menyusul bibirnya yang gemetaran, bersamaan dengan air mata yang berjatuhan serta suara isak tangis yang pelan. Yang lalu berangsur-angsur mengeras seiring jerit kedukaannya yang menggelegar. Mendengarnya menjeritkan kata 'Nenek' sambil jatuh ke pelukan sang Mamah. Meraung-raung bagai manusia paling frustrasi yang nggak kenal arah akibat dibutakan oleh sakit atas kehilangan.
Untuk pertama kali, gue menyaksikan bagaimana sosok yang amat gue sayangi, dilanda duka kesedihan mendalam sambil melampiaskan tangis nggak tertahan.
Ryan yang gue kenal sebagai cowok yang tegar dan nggak begitu cengeng, meratap sampai sedemikian memilukan.
Sedangkan yang bisa gue lakukan hanyalah diam memandangnya sambil menangis tanpa suara. Melihat bagaimana dia tersiksa oleh duka serta rasa sakit yang tercipta dikarenakan keserakahan gue.
Kenapa ini semua harus terjadi?
Apakah gue masih layak dicintai oleh Ryan setelah gue secara kurang ajar justru membuatnya ditinggalkan sosok yang paling dirinya sayang?
____
Gue nggak mampu menghilangkan bayang-bayang kesedihan yang Ryan dan Tante Desy tunjukkan, bahkan setelah kami pulang dari rumah sakit. Lebih menyesakkan lagi, sewaktu gue melihat Ryan menumpahkan lagi tangisnya untuk ke sekian kali begitu kami datang berziarah ke makam Nenek.
Sebelah tangan gue terkepal merasakan marah pada diri sendiri sebab gue nggak bisa untuk sekadar menenangkan duka yang melanda Ryan. Kemudian hanya sanggup mengucapkan maaf. Mengungkapkan penyesalan yang secara sungguh-sungguh gue rasakan akibat kehilangan yang ditanggung olehnya.
Masih, gara-gara keeegoisan gue.
Andai gue bisa lebih menahan diri. Jika aja saat itu gue nggak perlu berkunjung ke rumah Ryan atau mengajak kawan-kawan kami berkumpul di rumah, semuanya pasti nggak akan berakhir setragis ini, 'kan?
Gue betul-betul seorang egois yang bangsat yang nggak pantas dimaafkan.
"I think, it's better for me to go to UK after all. Gue akan kuliah di sana."
(Aku pikir, memang lebih baik aku pergi ke UK saja)
Ryan jelas terkejut dan terluka mendengar ucapan gue. Dia tampak bersiap merespons, tetapi nggak mengatakan apa pun pada akhirnya. Tahu-tahu mendekat untuk memeluk badan gue, kemudian melontarkan kalimat yang nggak pernah lelah disampaikannya untuk gue.
"Ini bukan salah elo, Bangsat. Tolong berhenti nyiksa diri lo dan diri kita. Gue mohon. Jangan begini."
Gue nggak menjawab. Hanya balas memeluk tubuhnya lembut seraya diam seribu bahasa. Membiarkan Ryan mengoceh panjang lebar, tanpa mampu meresapi satu kata pun yang disuarakannya. Sebab meski ingin disangkal seberapa keras, terlalu sulit untuk gue mencari alasan lain atas dosa yang telah gue perbuat.
Benar begitu, 'kan?
"Of course not!" Vano menggeram sambil berkacak pinggang di hadapan gue. "IT'S NOT YOUR FUCKING FAULT, SAGA. FOR GOD'S SAKE! Stop being so gloomy and open your eyes. The more you try to blaming yourself, the more you hurt those people around you. Especially you're loved ones."
(Tentu saja tidak! INI BUKAN SALAHMU, SAGA! DEMI TUHAN! Berhenti jadi begitu muram dan bukalah matamu! Semakin kamu mencoba untuk menyalahkan dirimu sendiri, semakin kamu menyakiti orang-orang di sekitarmu. Terutama orang yang kamu sayangi)
Masih, gue nggak ada niatan untuk menyanggah. Terserah mereka mau bilang apa pada gue.
Melihat gue yang tetap bungkam, Vano mendengkus keras. Dia mengumpat, sesudah itu pergi dari hadapan gue. Meninggalkan gue dan Dyas yang sejak kedatangannya belum bicara sepatah kata pun.
Mau nggak mau, sosok kawan berkacamata ini gue lirik. "And how about you? Nggak punya ceramah yang mau elo sampein ke gue juga?"
Dyas menarik napas cukup dalam menangkap tanya sinis gue, lantas memilih berdiri. "Whichever decided you take, I respect it, Saga. I will, because we're friends. And I can't force you to change your mind. But let me ask you this." Dia memandang gue penuh kesungguhan. "Are you sure you won't regret it one day? All of your selfish decisions?" balasnya yang setelahnya perlahan berlalu. "At least, try to consider more of your lover's feeling. He's already suffering enough from his loss. Don't you care about him?"
(Keputusan mana pun yang kamu ambil, aku menghargainya, Saga. Aku akan, karena kita adalah teman. Dan aku tidak bisa memaksamu untuk berubah pikiran. Tapi biarkan aku bertanya ini.
Apa kau yakin kau tidak akan menyesalinya suatu hari nanti? Semua keputusan egoismu?
Setidaknya, cobalah lebih pertimbangkan perasaan kekasihmu. Dia sudah cukup menderita atas kehilangannya. Tidakkah kau peduli padanya?)
Kata-kata terakhirnya terngiang-ngiang di dalam kepala gue. Membuat gue menggigit bibir akibat menahan kesal. Penuh murka, gue mengambil remote AC yang kemudian gue lempar hingga membuat salah satu guci di ruangan ini jatuh dan pecah. Mengejutkan Yellow yang sontak berlari ketakutan, menjauh.
DAMN! Of course I care about him. Above all, I love him the most. I love him so much to the point I'm scared to hurt him. I don't want to see him cry. I don't want to see him experiencing other bad luck. And can only hoping ... I have enough power to protect him.
(SIAL! Tentu saja aku peduli padanya. Di atas itu semua, aku adalah orang yang paling mencintainya. Aku sangat cinta padanya sampai-sampai aku takut untuk menyakitinya. Aku tidak ingin melihatnya menangis terluka. Aku tidak mau melihatnya mengalami nasib sial lainnya. Dan hanya bisa berharap ... Aku memiliki cukup kekuatan untuk melindunginya.)
"Ryan, what should I do? Mom, I need you. I'm lost right now. Help me."
(Ryan, apa yang harus aku lakukan? Mom, aku membutuhkanmu. Aku tersesat saat ini. Tolong aku)
Satu lagi hari gue lalui bersama depresi. Menjadi manusia paling bodoh yang pernah terlahir di bumi.
___
Selesai berpamitan pada Tante Desy dan Ryan karena keputusan gue yang sudah bulat, cowok gue sayangnya masih tampak nggak puas. Jadi, dia mengajak gue berbicara empat mata. Di dalam kamarnya.
Sekarang.
"Elo beneran bakal pergi?" Ryan bertanya masih sambil menghadap pintu kamarnya yang baru saja dikunci. "Elo beneran bakalan pergi?" Tubuhnya menghadap gue, bertanya sekali lagi. "Elo ... mau pergi? Besok? Bukannya elo masih punya waktu beberapa bulan lagi di sini sampai hari kelulusan, terus kenapa ..." Dia mengulum bibir, mengepalkan sebelah tangan. "Kenapa elo nggak ngabisin lebih banyak waktu buat barengan sama gue ketimbang harus secepatnya pergi ke UK, Bangsat? Gue ... nggak sanggup kalo harus ngelepas elo sekarang."
Langkah gue maju untuk meraih tubuh Ryan yang semakin kurusan. Merangkulnya, lalu mengajaknya duduk di atas ranjangnya yang berantakan. Tepatnya, seluruh isi kamar yang berantakan. Sebab memang sekacau itu efek yang dirasakan Ryas begitu ditinggalkan Nenek pergi.
"I'm really sorry."
Ryan menggelengkan kepala. "Gue gak butuh sorry dari lo, Bangsat. Malahan asli, gue udah bosen banget nerima kata sorry itu. Berhenti minta maaf atas kesalahan yang gak elo lakuin. Gak ada satu pun yang nyalahin elo atas semua ini. Bahkan elo perlu tau, kami semua akan selalu maafin lo tanpa harus lo minta maaf kayak gini. Kami--"
"But I don't know how to forgive myself, Ryan."
(Tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk memaafkan diriku sendiri, Ryan!)
Ryan tercenung mendengar apa yang barusan gue katakan.
Gue memegang tangannya untuk diletakkan ke dada gue yang berdebar kencang akibat gelisah dan ketakutan. "The problem is in me. I ... My guilty just won't fade no matter how much I try to destroy it. Not now or maybe, not so fast." Kepala gue menunduk dalam. "All I need is time, Ryan. Gue butuh waktu untuk memulihkan diri dari perasaan bersalah ini. Agar gue bisa berhenti dihantui bayangan mengerikan tentang gue yang mungkin akan melakukan sesuatu yang lebih buruk. Terhadap elo, kehidupan lo. Dan kemungkinan jelek lainnya," ungkap gue dengan pandangan nanar.
(Masalahnya ada pada diriku. Aku ... perasaan bersalahku tidak ingin memudar tak peduli seberapa banyak aku coba untuk menghancurkannya. Tidak sekarang, atau mungkin, tidak begitu cepat. Aku butuh waktu, Ryan.)
"Tapi elo nggak begitu, Saga." Ryan menyentuh pipi gue. Meminta gue menatap matanya yang memperlihatkan ketulusan yang bagi gue menyakitkan. He's really too good for me. "Lagian, gue siap nerima risikonya, kok. Sejak awal juga gitu, 'kan? Gue nggak peduli mau elo--"
"BUT I CARE! Okay?" Bentakan gue sukses membungkam Ryan yang seketika menunjukkan raut muka muram. "Please, don't always easily give in to me. I don't want to be greedy more than I am now, Babe. I beg you. Let me through this until that time comes." Mohon gue sembari meremas tangannya.
(Tapi aku peduli, oke? Aku mohon, jangan selalu mudah mengalah padaku. Aku tidak mau menjadi serakah lebih dari apa yang kumiliki sekarang, Sayang. Aku memohon padamu. Biarkan aku melewati ini sampai waktunya tiba.)
Ryan mengerling ke arah lain. Meneguk ludah sebelum bertanya lirih, "Terus, berapa lama waktu yang elo butuhin itu? Dan gimana sama hubungan kita sekarang? Apakah ... elo bakalan mut--"
"No! Of course not!" Kedua belah pipinya gue pegangi. Membuat kami kembali bertemu tatap. "I won't leave you. I'll still love you even if we're far apart. I'll be your lover, always, but I can't standing by your side. I can't bother you everyday with everything like I used to be. Not now. But... I'm here. I know it's selfish but ..."
(Tidak! Tentu saja tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap mencintaimu bahkan jika kita berjauhan. Aku akan menjadi kekasihmu, selalu, tapi aku tidak bisa berdiri di sisimu. Aku tidak bisa mengganggumu setiap hari dengan segalanya seperti biasanya. Tidak sekarang. Tapi ... Aku di sini. Aku tahu ini egois, tapi ...)
"Oke. Gue paham, kok. Kalo emang itu yang lo mau, Saga," tukasnya pasrah.
Dia sungguh akan menyerah kali ini, 'kan?
"It's okay for you?"
Tanya gue Ryan balas melalui tamparan pelan di pipi. "Gue cinta sama lo, Bajingan. Jelas aja gue oke-oke aja. Emangnya elo bakalan berubah pikiran meski gue mohon-mohon? Nggak, 'kan?"
He know me too well. Always.
(Dia terlalu mengenalku. Selalu)
"You're right." Gue tersenyum timpang.
Ryan mengusap sebelah matanya yang mulai basah. "Jangan kelamaan. Jangan terlalu lama ninggalin gue. Meski gue maunya, elo jangan pergi sama sekali. Karena gue gak sanggup ngelewatin hari-hari gue tanpa lo. Setelah Nenek pergi, satu-satunya orang yang paling gue butuhin adalah lo, Saga. Tapi kenapa--"
"Ssst! Hey, listen!" Gue memotong ucapannya lantas duduk berlutut di bawah untuk menghadapnya secara bersungguh-sungguh. "Jika gue udah siap, kalau udah waktunya, gue pasti akan ngehubungin elo, Ryan. So please, biarin gue. Maaf. I love you and ... jaga diri lo baik-baik selama kita berjauhan. Ya? Elo bisa janji 'kan sama gue?"
Jawaban nggak langsung diberikan. Ryan memandang gue cukup lama, setelahnya menganggukkan kepala patuh. "Gue janji. Dan gue juga cinta sama lo."
Gue lega mendengarnya.
"I know. And I'm thankful for that," bisik gue yang lalu mulai mengajaknya bercumbu.
(Aku tau. Dan aku berterima kasih untuk itu.)
Bertindihan di atas ranjang yang semakin kami buat berantakan. Menyentuh setiap titik di badan cowok yang paling gue kasihi seakan-akan nggak ada lagi hari esok. Yang mana pada kenyataannya, mulai besok sampai waktu yang nggak diketahui, kami nggak akan bisa melakukan hal ini lagi.
Di sela-sela desahan tertahannya, Ryan bertanya parau, "Apakah ini bakal jadi pengalaman ngeseks terakhir kita?"
Gue menggeleng yakin, lantas mencium bibirnya. "No. It won't. There will be another time, but still, you have to wait. Okay?" Menyusul mencium keningnya. Merasakan pelukan Ryan di tubuh gue kian erat. Seolah dia ingin gue terus menempel dengannya.
(Tidak. Tidak akan. Nanti akan ada waktu lainnya, tapi tetap, kamu harus menunggu. Oke?)
Nggak ingin gue pergi ke mana-mana.
Maaf, Sayang. Gue nggak bisa begitu. Maaf.
___
"Feryan isn't coming?"
(Feryan tidak datang?)
Daddy gue tatap secara malas seraya mulai memakai tas ransel. "He better not."
(Lebih baik dia tidak.)
"And you're not gonna stop from leaving him? Leaving me?"
(Dan kau tidak akan berhenti dari pergi meninggalkannya? Meninggalkan aku?)
Mau ditanyai seberapa sering pun, jawaban gue tetap akan sama, Dad. What do you expect?
Gelengan gue tunjukkan untuknya. "I'm not, Dad. There's nothing to stop me."
(Aku tidak akan, Yah. Tak ada yang bisa menghentikanku.)
"But we need you, Son."
(Tapi kami butuh kamu, Nak.)
Napas gue embuskan dengan frustrasi. "And I need time. Please understand, Dad." Sedikit sulit, gue tetap memberikan Daddy pelukan singkat. Karena jika terlalu lama, gue cuma akan memperlihatkan sisi cengeng. "Goodbye. I love you, Dad."
(Dan aku butuh waktu. Tolong mengertilah, Yah.)
"I love you too, Son." Punggung gue ditepuk-tepuk. "Please take care. If you feel like want to go back here, just tell me. Okay?"
(Jaga dirimu. Jika kamu merasa ingin kembali ke sini, bilang saja padaku. Oke?)
Gue memberinya seringaian sinis untuk ucapan menyebalkannya tadi. "Yeah, you wish."
Sebelah tangan gue lambaikan. Sedikit berharap Ryan juga berada di sini. Akan tetapi, mengingat akan jadi bagaimana kami bereaksi, dia yang nggak datang kemari memanglah keputusan terbaik.
See you again, my country, my love, everything. Let me take my time as much as I can.
___
"Welcome to UK, Saga!"
(Selamat datang ke UK, Saga!)
Jess menyambut kedatangan gue di bandara Heathrow ini penuh suka cita seakan-akan gue baru pertama kali mengunjungi tanah kelahiran gue ini. Dia memberi pelukan hangat berlebihan yang cukup mengganggu. Bahkan nggak lupa mendaratkan ciuman juga ke bibir. EW! Disgusting. Untung gue pake masker. Lagi, apa dia nggak memahami arti social distancing?
"Can you stop doing that? I hate it, Jess!" Tubuhnya gue dorong menjauh. "Where's my taxy? I need rest."
(Bisakah kamu berhenti melakukan itu? Aku membencinya, Jess.
Mana taksiku? Aku butuh istirahat.)
Tanpa diminta, Jess bantu menarik koper milik gue. "Who need taxy if I can drive you? Come!"
(Siapa yang butuh taksi jika aku bisa menyupir untukmu? Ayo.)
Sigh. Whatever. Jet lag ini bagai nyaris membunuh gue. Terbang menggunakan pesawat lebih dari 15 jam setelah sekian lama benar-benar menguras tenaga.
Selama berkendara dengan Jess Harrald McLauren, sesuai dugaan, dia nggak bisa menutup mulut.
"So, you're gonna stay at my place, right?"
(Jadi, kamu akan tinggal di tempatku, kan?)
"No, thanks."
(Tidak, terima kasih.)
"Come on, Saga. I need you there."
(Ayolah, Saga. Aku butuh kamu di sana.)
"I don't care."
(Aku tidak peduli.)
Dia mendecak, tapi belum puas bicara. "So, how's Feryan doing there? Did you guys break up before you come here?"
(Jadi, bagaimana kabar Feryan? Apakah kalian sudah putus sebelum kamu datang ke sini?)
Kali ini gue nggak mampu membendung kesal. "You need to shut your damn mouth, Jess."
(Kamu perlu menutup mulut sialanmu itu, Jess.)
"Aww, why? So, you break up with him?" Kedua matanya menyipit penuh keusilan.
(Yah, kenapa? Jadi, kamu putus dengannya?)
Mengingat sebutan Ryan untuknya, pemuda ini memang cocok dicap sebagai bule sialan. Oh wait. Ryan juga beberapa kali menyebut gue dengan sebutan tadi.
Akhirnya, gue memberi jawaban final. "Never. We will never break up because I still love him." Pandangan gue terarah pada wallpaper HP yang menampilkan foto wajah Ryan yang sedang tertawa. "Even I love him more now. I miss him."
(Tidak pernah. Kami tidak akan pernah putus karena aku masih mencintainya.
Bahkan aku jadi bertambah cinta dia sekarang. Aku rindu padanya.)
Jess menggerutu. "Geez. So boring! Why don't you guys just break up, so I can have a bigger chance."
(Geez. Membosankan sekali. Kenapa sih kalian tidak putus saja supaya aku punya kesempatan lebih besar?)
___
"But if you guys didn't break up, why doesn't he try to contact you even once?"
(Tapi jika kalian tidak putus, kenapa dia tidak mencoba menghubungi kamu bahkan sekali saja?)
Pemuda ini nggak ada bosannya mengganggu gue seperti selalu, huh.
"Because I asked him to," ujar gue sesuai fakta seraya lanjut memeriksa formulir pendaftaran kampus.
(Karena aku yang meminta.)
"Why?"
Gue menoleh pada Jess hanya untuk memberinya tatapan sinis. "Talking one more time, and I'm gonna kick you out from here."
(Bicara sekali lagi, dan aku akan menendangmu keluar dari sini.)
Jess bergulingan di atas kasur gue. "Come on, Saga. I'm curious."
(Ayolah, Saga. Aku penasaran.)
"There's nothing you need to know, Jess. Just get out. Or I'm gonna call Granny about how you keep disturbing me like this."
(Tidak ada hal yang perlu kau ketahui, Jess. Pergilah sana. Atau aku akan memanggil Nenek tentang bagaimana kau terus menggangguku begini.)
"Ugh. You are such a dick."
(Ugh. Dasar brengsek.)
"And you need a mirror."
(Dan kamu butuh cermin.)
Tanpa sadar, gue tersenyum. Keributan semacam ini semata-mata bikin gue teringat pada Ryan. Gue rindu cara dia memaki dan memandang kesal gue. Bagaimana dia mengatakan bacot, setan, terutama ... bangsat. Kepada gue.
Ah, damn. I miss him so much. I wonder. Does he also thinking about me right now? I'm sure, he's fine even without me there, right?
(Ah, sial. Aku sangat merindukannya. Aku mengira-ngira. Apakah dia juga memikirkan aku juga saat ini? Aku yakin, dia baik-baik saja bahkan tanpa aku di sana, 'kan?
I hopefully he does.
(Aku sungguh berharap dia begitu.)
___
"And you guys won't having any video call meeting too? Don't you miss him?"
(Dan kalian tidak akan melakukan pertemuan lewat panggilan video juga? Tidakkah kamu rindu dia?)
Wajah Jess yang mendadak muncul ketika gue tengah melihat grup chat sungguh menambah perasaan sebal. "I miss him indeed."
(Aku rindu dia memang.)
Lalu memilih menaruh HP. Untuk sekarang, mau Ryan sedang jalan bersama Benjo atau siapa pun, gue nggak akan peduli dulu. Gue yakin ini cuma akal-akalan mereka aja untuk menarik perhatian gue. Bagusnya, gue bisa sekalian membantu kesulitan mereka di sana juga, sih. Great
"So?" Jess masih aja bertanya sambil duduk di meja belajar gue.
Lama-lama gue betulan bisa habis kesabaran. Membantingnya ke lantai mungkin bagus. Well, nevermind. That's too extreme. Bagaimanapun juga dia tetap sepupu gue.
Jadi, gue sekadar mendorongnya hingga menyingkir dari meja. "Just leave me alone, Jess."
Dia terdengar mencibir sebelum berkomentar, "Now I start to feel sorry for Feryan. Because what he's experienced now is kinda similar to mine. You know that, right? Well, I'm leaving."
(Sekarang aku mulai merasa kasihan pada Feryan. Karena apa yang dialaminya sekarang sedikit mirip denganku. Kamu tau itu, kan? Yah, aku pergi.)
Namun, ucapan yang Jess tujukan ke gue tadi memang sedikit ada benarnya. Sebab saat ini gue tengah bersikap mengabaikan segala hal mengenai Ryan. Bertindak nggak peduli, pura-pura nggak tahu apa pun.
Gue memang cowok bangsat.
___
"So, you're gonna call him?"
(Jadi, kamu akan menelepon dia?)
Sudah nggak ada gunanya merasa terganggu oleh sosok nggak tahu malu ini jika selama berbulan-bulan lamanya dia terus muncul. Jadi, pertanyaan itu pun tetap gue jawab juga.
"No. I'm just looking at his photos."
(Tidak. Aku cuma melihat fotonya.)
Ya, sekarang gue memang sedang memperhatikan puluhan foto Ryan yang berada di galeri gue, sih. He's so cute. Oh God, I want to kiss him and pinch his cheek. He's too adorable.
(Dia sangat imut. Oh, Tuhan, aku ingin menciumnya dan mencubit pipinya. Dia terlalu menggemaskan.)
"Then, how about ... I made the call? To Feryan?"
(Kalau begitu, bagaimana ... jika aku yang menelepon? Pada Feryan?)
Kalimat mendadak Jess yang konyol itu membuat gue memandangnya heran. "What? You want to call him?"
(Apa? Kamu mau menelponnya?)
Kepala pirangnya mengangguk-angguk penuh antusiasme. "I have his number, you know. Right here," katanya sambil menunjukkan layar HPnya yang telah menyala.
(Aku punya nomornya, tau. Di sini.)
Gue memutar bola. "You're just gonna make him pissed off, Jess," ujar gue seraya lanjut melihat-lihat foto.
(Kamu hanya akan membuat dia kesal, Jess.)
Suara tawa Jess yang mengesalkan membahana memenuhi ruangan ini. "Well, that's good. Because that is what I intend to do."
(Yah, justru bagus. Karena itu emang tujuanku.)
Sudah nggak tertolong lagi. "You're crazy."
Dari sudut mata, gue dapat melihat Jess yang mulai menyentuh layar di ponselnya beberapa kali, kemudian menekan tombol loudspeaker. Memperdengarkan nada tunggu dari panggilan yang dilakukan.
Dia benar-benar menelepon Ryan? Yah, terserah dialah. Gue nggak peduli. Tebakan gue, dia cuma akan berakhir mendapatkan makian. Tapi kalau nanti Ryan mengangkatnya dan menanyai gue, harus bagaimana?
"Why doesn't he picking up?"
(Kenapa dia tidak mengangkatnya?)
Keluhan itu membuat gue teringat sesuatu. "Oh. Because he's working around this time."
(Oh. Karena dia sedang bekerja di jam segini.)
Di Indonesia sekarang waktunya sudah siang menuju sore, jadi Ryan biasanya tengah bekerja di jam-jam segini. Mengantar dagangan milik Mamahnya. Hasil modal yang gue minta Daddy untuk berikan. Yang Tante Desy kukuh anggap sebagai hutang. Haah.
"Really?" Nada tunggu berakhir, panggilan dari Jess nggak dijawab. "Well, let's try one more time."
(Sungguh?
Yah, kita coba sekali lagi.)
Astaga Tuhan. Gue hajar sepupu sendiri nggak dosa, 'kan? Kalaupun iya, gue nggak peduli, deh.
"You need to stop, Jess. It's annoying."
(Kamu harus berhenti, Jess. Ini menyebalkan.)
Sialnya, kali ini panggilannya mendapatkan hasil.
"Ah, he's picking up! Hello? Huh, wait, wait. What? Who are ... what? Wait. Apa yang barusan kamu katakan?"
(Ah, diangkat! Hello. Huh, sebentar, sebentar. Tunggu. Apa? Siapa yang ... apa? Tunggu.)
Huh? Kenapa? Bukannya terlihat iseng dan menyebalkan, wajah Jess saat menjawab justru tampak bingung. Apakah Ryan mengatakan sesuatu yang membingungkan? Tentu aja, 'kan? Toh Ryan nggak tau bahwa Jess yang meneleponnya.
"Pemilik HP ... kecelakaan?"
Gue seketika berdiri dari duduk. What did he say?
Jess memandang gue dengan sorot cukup kaget seraya berkata, "Saga, kecelakaan means accident, right? The man from the phone say's that Feryan, as the owner of this number, is get into accident. And his condition is ... very bad. What happened?"
(Saga, kecelakaan artinya accident, 'kan? Pria yang mengangkat telepon bilang bahwa Ryan, selaku pemilik nomor, terlibat kecelakaan. Dan kondisinya ... sangat buruk. Apa yang terjadi?)
HP dalam genggaman gue jatuh begitu aja setelah mendengar penjelasan itu.
Ryan ... dia kecelakaan? Tapi kenapa? Bukankah seharusnya ... di sana dia akan lebih baik tanpa gue? Tanpa gue ... tanpa orang yang dia butuhkan, cintai dan orang yang selalu ingin melindunginya.
Ya Tuhan. Apa yang sudah gue lakukan? Apa yang sedang gue lakukan?
Jadi, lagi-lagi gue gagal.
Gagal menyesali keputusan yang gue ambil.
Gagal menemukan solusi yang hanya berdampak lebih buruk lagi bagi Ryan.
Gagal menjadi sosok yang bisa dia andalkan.
Gagal mengambil waktu yang gue butuhkan. Karena gue yakin, Ryan lebih membutuhkan gue saat ini di sana.
"Jess, I need your help. I have to go back to Indonesia. Asap."
___Bersambung
Aku usahain besok update lagi kalau kalian juga nggak pelit vote dan komennya~ ♥️
Dadah! 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com