Gue turun dari boncengan motor si Juanda barengan sama dia yang ngelepas helm. Padahal gue pikir dia mau langsung tancap gas pulang. Eh, sebentar. Gue lupa bilang sesuatu

"Makasih buat ajakan nonton lo."

Dia tersenyum. Giginya yang rapi, putih dan bersih nampak semua lagi di bawah sinar terang lampu sisi jalan. Duh, silau. Nggak baik buat kesehatan jantung dan mata gue.

"Apa itu artinya elo nggak keberatan kalo lain kali gue ajakin keluar lagi?"

Gue agak melotot. "Hah? Lo mau ngajakin gue keluar lagi? Ngapain?"

Gue yakin teman dia yang lebih populer dan enak diajak jalan masih banyak. Buat apa dia ada niat bawa-bawa gue lagi coba?

Juanda natap ke atas, keliatan mikir. "Ya, entah. Makan-makan atau nonton lagi, atau sekadar ngeliatin tiang di pinggir jalan."

Siapa juga orang kurang kerjaan yang mau diajak ngeliatin tiang di jalanan?

Kemudian dia ngalihin pandangan ke arah lain. "Damn. I should just saying that I want to know him better. But why it's so hard to do it."

Hadeuh. Malah mulai ngoceh pakai bahasa Inggris pula. Gue mana paham apa yang dia bilang.

"Kalo lo segitu bingungnya nyari alasan buat ngajak gue, kenapa elo nggak sekalian ngajak jalan gebetan lo aja?"

Juanda agak terperanjat mendengar penuturan yang secara terpaksa gue utarain. Tentunya nggak enak buat gue nyaranin gebetan sendiri supaya jalan dengan gebetannya, padahal ya gue jelas senang andai dia emang pengin ngajakin gue keluar lagi kapan-kapan. Namun, gue masih bisa sadar diri.

"Gue tau kok, diliat dari mana pun orang seperti elo nggak cocok punya teman main yang modelnya kayak gue gini. Jadi, lo santai aja. Gak perlu ngerasa nggak enak atau apa sama gue," ucap gue disertai senyum simpul.

Nggak ada salahnya berusaha bersikap ikhlas dan menerima nasib apa adanya. Siapa tahu dengan begini nanti sang Maha makin tambah sayang ke gue, kan?

Juanda tampak tercenung sesaat sebelum menghela napas panjang kayak habis kecapekan akibat lari dari kejaran siluman kodok. "Listen here, I mean ... tck, maksud gue, begini." Dia menegakkan posisi duduk untuk lebih menghadap ke arah gue.

Si Bangsat yang kesusahan ngomong sama gue begitu kok justru bikin kasian, ya. Padahal seharusnya gue mengasihani diri sendiri karena terlalu bego nggak ngerti bahasa yang dia pakai.

"You know ..." Begitu melihat ekspresi malas di wajah gue, Juanda seketika berdeham. "Lo tau alasan kenapa gue lebih milih ngajak elo jalan ketimbang teman-teman atau bahkan, euh, gebetan gue?"

Gue menggeleng ragu-ragu. Ya, karena jelas gue nggak tau, kan?

"Karena teman-teman gue udah gue pahami sifatnya gimana. Kalo pun gue ngajak mereka jalan, nggak mungkin gue bisa pulang di jam segini. Dan nonton ke bioskop bareng kawan cowok juga bukan hobi mereka. That's--itulah kenapa gue lebih milih buat ngajak lo, cause I know elo tipe anak mageran yang lebih seneng ngabisin waktu di rumah. And then, perihal gebetan ..." Dia menatap gue beberapa detik sambil nahan napas sebelum melanjutkan, "Gue nggak mau sampe dia tau atau curiga sama motif gue kalau-kalau terlalu ceroboh dan buru-buru dalam mengambil tindakan. Sebab, gue belum lama kenal dia, makanya gue sebisanya hati-hati. Gue mencoba melakukan pendekatan pelan-pelan, supaya gue bisa lebih mengenal dia secara ... apa pun itulah. Pokoknya, begitu."

Mendengar semua penjelasan itu, bikin gue berkaca sama diri sendiri. Soalnya gue juga belum lama kenal sama cowok di depan gue ini--selaku orang yang gue sukai, jadi ya gue paham andai dia kebingungan saat berniat PDKT sama gebetannya. Cuma kok, gue mendadak ngerasa iri sama gebetan si Juanda.

Anjirlah gebetan si Bangsat ini di mana pun elo berada. Beruntung banget elo disukain gebetan gue. Arrgghh! Greget gue.

Gue menghela napas, berusaha menenangkan diri. Setelah itu nyengir. "Oke, oke. Gue paham. Lo bebas deh ngajak gue jalan lagi di lain waktu. Dengan syarat, jangan sampe temen-temen elo tau."

Dia mengernyit. "Why?"

Oke, yang satu itu gue paham artinya adalah kenapa.

"Karena bakalan anehlah andai teman-teman lo ngeliat lo punya kawan macem gue. Kita tuh kayak pangeran sama budaknya. Eh, bukan, ding. Pangeran sama tukang cuci kudanya. Eh, bukan, bukan. Kayak pangeran sama tukang sampahnya," koreksi gue berulang-ulang, secara serius mencari perbedaan yang cocok di antara kami.

Alhasil Juanda tercenung sebentar sampai kemudian tawanya meledak. Keras banget lagi suaranya. Gue celingukan kanan-kiri khawatir bakalan ada sandal tetangga yang melayang nyumpal mulutnya. Ini cowok pas ketawa gak bisa santuy apa?

"Huh, my goodness. You're really funny. But unfortunately, you're also very stupid."

Gue menahan dongkol menangkap kata stupid di kalimatnya. "Lo tadi ngatain gue bego lagi, kan?"

Cowok berambut hitam ini mengangguk penuh semangat menjawab pertanyaan gue. "Kan elo emang bego. Gak usah tersinggung, dong. Gak ada gunanya tersinggung atas fakta yang udah tercetak dalam diri elo. Ya, kan?"

Gak bakalan bisa menang gue ngelawan sifat bangsatnya. Jadi, gue cuma bisa mencibir. "Terserah lo aja."

Gue lalu menarik pergelangan tangan Juanda, mengintip waktu di jam tangannya yang gue yakin harganya jauh lebih mahal dari TV di rumah gue.

(Iya, iya. Aslinya gue modus lagi supaya bisa megang-megang dia!)

Mata gue melotot begitu tau ternyata ini udah jam setengah dua belas lewat. "Gila. Bisa-bisa besok gue ketiduran di kelas."

Juanda terkekeh. "Yakin elo bisa tidur malam ini?"

Gue melirik gak paham. "Maksud elo apa?"

Gue nyaris terkesiap, mendelik kaget ketika tiba-tiba Juanda menarik gue mendekat ke arahnya. Setelah itu dia berbisik tepat ke telinga, "Hati-hati. Nanti dari bawah kasur elo muncul setan badut yang ngajak main."

Gue refleks mukul-mukul dia yang malah ketawa puas. "Anjir lo, Bangsat! Dasar curut kampret!"

Sumpah serapah gue seketika keluar jadinya. Bayangan setan badut yang muncul di kamar jadi menghantui kepala. Hiii. Merinding kan gue sekarang.

"Gue becanda, kali. Serius amat lo." Juanda tersenyum jahil seraya mengenakan helmnya. "Ya udah, lo masuk sana. Gue juga mau pulang."

Gue mengangguk, lalu melambaikan tangan begitu mesin motor dinyalakan. Tepat selepas kepergiannya, gue nggak bisa lagi menahan senyum bahagia.

Ah, norak. Padahal gebetan gue udah punya orang yang dia suka, tapi tetep aja gitu gue seneng. Diajak nonton bareng, ngebonceng di motornya, bahkan bisa megang-megang dia juga. Ehehehehe. Apa orang kalo lagi kasmaran bakalan bertingkah agak eror gini, ya?

Ngeri gue jadinya sama diri sendiri. Mendingan buruan masuk, deh. Buru-buru tidur sambil ngelupain bayang-bayang setan badut.

Pergi lo, setan. Menyingkir lo dari isi kepala gue, balon merah. Dan muncullah, Juanda.

Nah. Kan enak dilihat muka si bangsat curut itu. Andai gue bisa ngelus wajah gantengnya.

Najis. Apa sih yang gue pikirin?

Gue nurunin gagang pintu. Naik-turun beberapa kali. Nggak juga kebuka.

Gue tercekat. Anjir gaswat. Pintunya malahan dikunci.

"Assalamu'alaikum, Nek! Fery pulang! Buka pintunya, Nek! Nenek! NENEK!"