Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. PERTIKAIAN

Dua minggu.

Total kira-kira hari yang gue dan Juan jalani selama masa PDKT. Sekaligus jumlah hari yang telah dilalui sejak gue dan dia berpacaran. Hm. Itu artinya gue sama si Bangsat ini bisa dibilang baru saling kenal kurang lebih satu bulanan, padahal kami berada di sekolah yang sama nyaris 2 tahun lamanya. Namun, gue kayak yang udah kenal dia bertahun-tahun mengingat waktu sehari yang dilewati saat bersamanya serasa kayak berbulan-bulan.

Bukan saking lambat lantaran adem dan asiknya, ya. Justru sebaliknya yang kepengin gue maksud.

Dalam dua minggu itu, udah nggak kehitung kali gue sama dia ribut.

Nih. Salah satunya sewaktu hujan lebat pada masa gue diajak main ke rumah gedong si Juan lagi. Memperhatikan ribuan--mungkin ya, males banget gue hitungin-- tetes air yang jatuh mengisi kolam renang si Bangsat yang udah penuh, tiba-tiba perut gue berbunyi sampe bikin Yellow menatap gue melas.

Duh. Bahkan hewan sekelas kucing aja prihatin sama gue. Maklum, sih. Faktanya emang dia aslinya lebih kaya dan mewah hidupnya dibanding gue yang apalah-apalah.

"Juan, gue lapar!" Teriakan gue berhasil mengejutkan Yellow yang langsung kabur.

Untung cuma kucing. Jadi meski dia bakalan protes dan ngadu yang macem-macem ke si Juan perihal gue, ngeongannya gak akan bisa dipahami.

Nggak sampe 10 menit, pacar bangsat gue datang membawa udang goreng di piring. "Nih, makan."

Gue mengernyit gak suka melihat menu itu. "Gue gak doyan udang."

Dia mendecak. "Ya udah, makan aja piringnya," titahnya santai lantas malah melahap satu ekor dalam sekali lep.

Dasar setan ini cowok. Dia kira gue jelmaan kuda lumping apa. "Anjir. Elo gak bisa masakin gue menu yang lain?"

Juan menaikkan bahu gak acuh. "Gak ada. Males."

"Ya udah, gue masak sendiri." Gue bersiap berdiri dari kursi.

Tetapi, dia sigap menahan. "Jangan. Nanti dapur gue malah elo bikin ancur. Dilihat dari mana pun udah jelas elo ini gak becus masak ya, Bego."

Mata gue mendelik. "Terus gue mesti makan apaan? Mana hujan. Gue mana bisa cari makan di luar."

Mendengar keluhan gue, bukannya merasa kasihan atau apa, si Bangsat ini malah pergi gitu aja sembari menghabiskan udang di piringnya.

"Bangsat, elo kok tega!" geram gue ditemani kondisi perut yang menangis berteriak minta diisi.

Dengan enteng dia tersenyum rese. "Got problem with that?"

Minta ditampol!

Nggak lama setelah itu, kerempongan lain terjadi saat dia mengajak gue nonton untuk kedua kalinya.

Juan menelepon saat gue lagi santuy rebahan menikmati tayangan Upin Ipin di televisi. Kan hari libur bawaannya mager, ya.

"Elo di mana?"

"Gue di rumahlah, Bangsat," jawab gue lalu nyengir memperhatikan si Mail yang teriak 'dua singgit, dua singgit'.

Suka banget gue sama anak model si Mail ini. Mandiri, mata duitan dan pekerja keras. Mirip gue.

Di seberang sana gue dengar si bangsat bicara diselingi suara-suara kendaraan di dekatnya. "Lo lupa kita janjian buat ketemuan?"

Ada di mana sih ini cowok? Berisik amat perasaan. Gue menguap sambil garuk-garuk leher. "Kan kita janjian habis maghrib. Ini baru jam setengah lima kurang."

Decakannya yang khas keluar. "Gue gak mau tau. Pokoknya elo ke sini sekarang. Gue udah ada di perempatan deket rumah lo."

Hadeuh. Dasar Tuan Juan maha bangsat ini. "Oke. Gue mandi dulu."

"Halah, gak usah. Lama. Siapa yang tau bakalan berapa jam waktu yang lo abisin buat ngegosok semua daki di badan kampungan elo itu!"

Ini orang kalo ngebacot kenapa selalu aja bikin jiwa terdalam gue merintih. "Si Bangsat. Badan gue bau, nih." Gue mencium aroma ketiak sendiri yang nyaris menyaingi kualitas gas beracun. Busuk. Belum mandi sama sekali gue dari pagi soalnya.

"Mendingan kita gak jadi pergi, deh."

"Hah?" Enak aja. Nanti Luffy dan kawan-kawannya keburu pergi jauh dari jangkauan gue.

"Gue pulang sekarang kalo lo nggak dateng."

Buru-buru gue bangun. "Oke, oke. Gue ke sana sekarang. Elo tung--"

"Ya udah." Sambungan telepon diputusin sedangkan gue belum selesai ngomong.

"Anjir. Dasar pacar goblok."

Sayangnya, masalah nggak selesai sampai di situ.

"Bego, elo make apaan, sih?" tanya Juan seraya mengipas-ngipasi area depan hidungnya yang tertutupi helm.

Gue nyengir malu. "Gue pake minyak nyong-nyong punya nenek. Habis gue gak lo bolehin mandi. Kan badan gue bau."

Tatapannya seketika mendelik risih begitu mendengar jawaban gue. "Sana elo balik lagi, ganti baju."

Alhasil gue balas mendelik kesal. "Hah? Taik lo. Capek gue." Enteng bener dia ngatur-ngatur.

Dia berkacak pinggang. "Itu bukan masalah gue. Bisa-bisa bau minyak beraroma orang tua lo itu bikin gue muntah nanti."

Tangan gue maju menoyor helmnya. "Anjing lo, ya."

Dia menaikkan bahu satu kali. "Lo pacarnya anjing ini, tuh."

Gue mendesah lelah. "Lo anter gue pulanglah. Capek tauk gue jalan."

"Bukan urusan gue ya, Bego. Sana elo balik cepetan, ganti baju!" Juan mendorong-dorong badan gue mundur.

Seketika kepala gue yang udah gatal jadi mendidih. "ARRGGGH! DASAR BANGSAT LO!"

Kemudian, ada satu lagi keributan yang gue ingat ketika gue disuruh nginep di rumah si Juan setelah jalan-jalan makan ke luar.

Asli kamar orang kaya tuh dinginnya parah. Nggak heran ini si Juan punya selimut yang tebal dan berlapis-lapisnya ngalahin ketebalan dari rasa sabar gue. Menggigil sekujur badan gue di sebelahnya yang udah memejamkan mata dengan damai. Brrrr.

"Juan, gue gak bisa tidur," bisik gue seraya mengguncang-guncang bahunya.

Dia menggeliat sedikit sambil menggumam. "Tck. Tinggal tutup aja mata lo."

Guncangan gue di tubuhnya semakin kuat. "Gue gak bisa tidur. Gue kedinginan, nih."

Tiba-tiba posisi tidur dia berganti miring ke arah gue. "Ya udah, sini gue peluk." Sebelah tangannya diangkat.

Norak banget.

Muka gantengnya refleks gue tabok. "Najis. Nggak mau. Mendingan AC di kamar elo ini dimatiin aja coba."

Dia mendelik sembari mengusap-usap letak tabokan gue. "Enak aja. Nanti gue yang gak bisa tidur."

Mau nggak mau gue bangun. "Huh. Ya udah, gue tidur di luar aja."

"Okay. Good night." Juan melambaikan tangan dengan mata memejam.

Anjir dasar si Juanda Andromax bangsat ini. "Cowok babi," maki gue sembari menarik satu selimut untuk gue bawa.

"Eh, bentar. Gue tau elo enaknya tidur di mana biar gak kedinginan."

Gue mengernyit. "Di mana?"

Dia menunjuk pintu di sudut kiri. "Tuh, di dalem lemari gue." Selepas itu terkikik puas.

"Kampret setan! Gue keluar!"

"Dasar badan kampungan," ledeknya tepat sebelum gue menutup pintu kamar.

Sontak aja gue meratap. "Ya Allah, gue sekali dikasih pacar gini amat sifatnya, sih."

Andaikan nggak sayang, kayaknya udah gue sentil dia pakai kekuatan super supaya mental yang jauh. Sampe ke hutan Amazon kalo perlu biar dimakan anaconda sekalian. Itu juga kalo tuh ular doyan.

Kejadian lain yang berujung ribut berlokasi di UKS setelah beberapa jam sebelumnya gue jatuh di lapangan bola. Entah ini udah jatuh yang keberapa kalinya selama gue menjadi murid di sini. Kayaknya setiap kali ikut praktek olahraga, ada aja insiden yang bikin gue celaka. Sial.

"Gue denger elo tadi jatoh." Juanda Saga kampret muncul sambil melirik kaki gue.

Dasar para tukang ghibah di sekolah. Cepet kalo urusan nyebarin malapetaka.

Gue melotot. "Iya. Apa? Lo mau ngetawain gue pasti, kan?"

Dia menggeleng. "Gue udah puas ketawa tadi. Sekarang sih lagi kepengin liat muka bego elo yang kesakitan aja."

Andaikan kaki gue lagi nggak sakit. Bakalan gue tendang deh sarang Minions dia.

"Mana yang sakit?" Dia melangkah semakin dekat.

"Lutut gue," jawab gue agak malas.

"Coba liat."

Ini cowok sekali kepo selalu gak abis-abis.

Gue menggulung celana olahraga sampai ke atas lutut. "Nih. Aww! Anjir! Ngapain elo pukul?"

Dengan santai si Juan menggosok-gosok tangan yang tadi dipakainya memukul luka gue. "Oh, beneran sakit."

Gue melempar bantal ke arahnya. "Goblok dasar lo. Sana pergi."

"Gak mau." Dia malah kian memperpendek jarak di antara kami.

"Pergi!" usir gue lebih berani soalnya di sini guru pengawasnya lagi gak ada. Dan suasana UKS sepi.

"Gak!" Dasar cowok anti ngalah ini.

Gue melipat kedua tangan di depan dada. "Gue males liat muka lo sekarang."

Jurus putaran bola mata andalannya muncul. "Kalo gitu elo yang pergi."

Gue sigap berdiri. "Oke. Aduh!" Dan seketika terjatuh ke lantai gara-gara si Juan yang mendorong gue.

Dia tertawa puas. "Mampus. Jatuh kan lo."

Kakinya gue pukul sekuat tenaga. Sialnya, cowok ini berhasil menghindar. "Arrgggh! Benci bener gue sama lo."

Juan lalu berjongkok di depan gue. "Gue juga bener-bener cinta sama lo. Sini, gue bantu jorokin lagi."

Gue menepis tangannya yang terulur. "Najis. Minggir lo sana, ah!"

Setya yang entah sejak kapan datang membawakan es cokelat pesanan gue hanya mampu menyaksikan adegan anti-romance di depannya dengan tatapan heran. "Kalian beneran pacaran nggak, sih?" Adalah komentar yang lantas disuarakannya antara sadar dan nggak sadar.

Nah. Gara-gara itu nyeri, otomatis gue jadi susah buat pergi ke mana-mana, kan. Mana waktu itu nenek nggak bisa masak karena ngehadirin pengajian di mushola komplek. Mau jalan keluar, sumpah lutut gue sakitnya bikin nggak nahan. Akhirnya, mau nggak mau gue nelepon si Juan dengan harapan bakalan dapat pertolongan.

"Juan, gue laper. Bawain makanan ke rumah gue dong."

"Bodo amat!" jawabnya nggak peduli dan langsung mengakhiri sambungan dari gue itu.

ANJIR. DASAR JEMBUT MONYET!

Eh, nggak disangka, sekitar satu jam kemudian pacar gue ini malahan datang ke rumah. Masuk ke dalam tanpa permisi atau ketuk-ketuk, tahu-tahu muncul di depan gue yang lagi makan ketoprak di dapur.

"Gue pikir elo gak akan dateng," sambut gue lalu mengelap mulut.

"Gue dateng," ucap Juan seraya memutar-mutar kunci di tangannya.

"Elo bawa makanan?"

Dia menggeleng. "Nggak. Kelupaan. Gue cuma mau ngeliat muka lo pas kelaparan. Eh, taunya elo malah udah makan."

Seketika gue meradang. "Yeee, anjing."

Beneran hampir nggak ada beresnya deh pertikaian yang menengahi hubungan gue dan si Juan. Apalagi sewaktu gue sama dia nggak bisa ketemuan lantaran hujan lebat yang lagi-lagi mengguyur Jakarta. Bikin otak cowok bangsat itu mendadak rusak entah habis kepentok apa.

[Ryan, VC!]

VC tuh apaan? Kayaknya gue pernah denger deh di suatu tempat, tapi lupa.

[Apa tuh VC?]

Balas gue bertanya.

[VIDEO CALL, BEGO!]

Oh, iya. VC tuh artinya video call. Baru inget gue. Semula gue pikir itu semacam jenis camilan yang berniat dia tawarkan untuk gue makan. Tetapi, ada hal lebih penting lain yang perlu gue sadarkan.

[VC VC, mata kucing lo belekan. HP gue mana bisa VC, setan!]

Balasan darinya datang dengan isi yang sangat ngeselin.

[Oh, iya. Gue lupa elo punya tipe HP keluaran zaman purba. Ya udah, lupain aja.]

Dasar cowok bangsat.

Namun, bukan Juanda Andromano mamanya kalo dia nggak suka ngasih kejutan. Keesokan harinya di sekolah, dia ngajakin gue ketemuan di lokasi sepi seperti biasa kemudian mengeluarkan HP yang setau gue bukan miliknya karena berbeda merk.

"Nih."

Gue mendengkus melihat tingkahnya itu. "Dasar orang kaya sombong. Apaan? Elo mau pamer HP baru?"

Anehnya, bukannya merasa kesal, si Juan justru tertawa. "Ini bukan HP baru gue. Ini buat elo."

Gue tercengang seperkian abad saking nggak tau harus menunjukkan reaksi apa setelah mendengar pernyataan dari si Bangsat barusan. HP di tangannya itu ... buat gue katanya? Serius? Demi apa? Lagi gak mimpi apa gue? Atau semalam gue mimpi apa gitu sampe mendadak dapat rezeki dadakan begini?

Juan menggoyang-goyangkan HP tepat di depan muka gue. "Heh, Bego! Malah bengong. Mau ng--"

Gue menerima HP dari tangannya, lalu secara berani mencium bibir tipis pacar gue ini penuh nafsu saking bahagia. Gila, gila, gila.

"Apakah ini salah satu keuntungan punya pacar cowok tajir?" tanya gue selepas menyudahi ciuman sambil menatap takjub HP di pegangan. SAMSUNG ANJIR. "Juan, elo kok baik banget, sih." Gue lanjut mengecup bibirnya berulang kali sampai bikin dia cekikikan.

"Segitu senengnya elo, ya," komentarnya gemas lantas mencubit pipi gue.

Gue nyengir. "Ya, jelaslah gue seneng. Punya HP baru adalah salah satu tujuan hidup cowok berjiwa bokek kayak gue." Layar kunciannya gue tekan, mendapati bahwa HP ini telah menyala dan bahkan udah dipasangi simcard. "HP ini buat gue, kan? Bebas dong gue pake buat apa aja? Main game, streaming anime dan YouTube--"

"Download bokep," sela si Bangsat usil. "Karena itu HP elo, lo bebas mau pake itu HP buat apa pun. Simcard-nya udah gue beliin baru, udah gue daftarin juga, plus udah gue isi kuota yang banyak. Silakan elo mainin sepuasnya. Tapi sorry, itu bukan HP baru. Gue beli baru sih emang dulu. Sayangnya, ini HP udah nganggur nyaris satu tahun di laci karena gue kurang suka bentuknya saat dipegang, makanya gak pernah dipake sampe sekarang. Jadi, mendingan itu HP gue kasih ke elo. Supaya komunikasi kita juga makin lancar," terangnya panjang lebar sementara fokus gue malahan ke HP yang sibuk gue klak-klik sana sini.

Gue membuka kamera, mengarahkannya ke wajah tampan cowok di depan gue yang langsung aja memperlihatkan senyuman mempesona. "Nah, sekarang HP pemberian elo ini diisi sama muka lo sebagai foto orang pertama di HP milik gue," ujar gue seraya mengusap hasil jepretannya yang asli bening.

"Tetep aja muka asli gue lebih ganteng," bisik Juan sewaktu ikut mengintip fotonya.

"Iya, sih." Tentu aja gue gak bisa menyangkal hal itu di saat-saat begini.

Selanjutnya, gue dan Juan beradu pandang sambil saling melempar senyum. Sampai gue diingatkan oleh sesuatu.

"Nah, sekarang. Ajarin gue dong gimana caranya makek HP ini."

Senyum di bibir Juan luntur perlahan-lahan. "Di situ ada Google. Apa susahnya elo cari tau lewat sana? Gue mau balik ke kelas."

Gue mengejar langkahnya. "Kan kalo dijelasin langsung bakalan lebih enak, Juan!"

Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak mau. Percuma juga gue ngejelasin sesuatu ke orang dengan otak bego kayak elo, kan? Gak ada untungnya."

Bahunya gue pukul pelan. "Si Bangsat!"

Karena berpacaran dengan gaya yang kalem bukanlah budaya gue dan Juan. Budaya pacaran kami adalah dengan selalu mengutamakan adu bacot, kemudian saling memancing emosi satu sama lain.

Boleh dicoba bersama pasangan masing-masing jika penasaran. Itu juga kalo kalian punya. Hihihi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com