Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39. PENEMUAN

"Dasar setan!"


Juan tampak tersinggung karena gue memaki tepat ketika memandangnya.

"Si Setya nggak ngangkat teleponnya. Nomor HP, WhatsApp, LINE bahkan Messenger. Semuanya no respon. Padahal dia sempat online," keluh gue seraya memelototi HP dengan gregetan.

Si Bangsat pun menyerah dengan HP-nya. "Vano juga."

Nah, kan. Udah bermenit-menit kami coba menghubungi, tapi Setya dan si bule kambing Vano itu seakan-akan sengaja banget berniat menghindar. Awas aja. Gak akan gue biarin. Bakalan gue tuntut penjelasan dari mereka bahkan meski harus ke ujung alun-alun sekali pun. Hadeuh.

"Should we go to their house?"

Ini cowok kalo ngasih saran suka sembrono, deh. "Ngapain? Yang ada malah nambah keributan. Enaknya tuh kita ketemuan di satu tempat sepi, supaya bisa ngobrol leluasa."

Tiba-tiba dia menatap gue takjub. "Elo ngerti gue ngomong apaan tadi?"

YA KALI GUE NGGAK NGERTI SEGALA KATA BAHASA INGGRIS! BULE SIALAN.

Kupingnya gue sentil pelan. "Elo pikir gue sebego apa sampe arti go sama house aja nggak tau? Bahasa model begitu mah masih bisalah gue pahami," ujar gue dan mendecak.

Juan menggosok-gosok kupingnya sambil nyengir jahil. "Wow. That's really awesome. Should I say something more difficult? Like, how we should give them punishment cause they've been lying to us for a long time."

ANJIR. GUE MANA PAHAM ARTI KALIMAT SEBANYAK ITU, BAMBANG.

"Minnions elo gantian kena sentil baru tau rasa."

Refleks aja dia mundur dibarengi tawa mendengar ancaman gue. "Sorry. Kita balik aja kalo gitu."

Mata gue melotot melihatnya melangkah menuju mobil. "Balik? Terus--"

"Maksud gue, kita cari mereka ke suatu tempat," potong si Bangsat, bersiap membuka pintu mobil. "Just follow me, okay?"

Gue mengernyit, berpikir mengenai ajakannya.

"Elo ngerti nggak gue ngomong apa?"

Anjing. Ini cowok selalu aja ngeremehin gue. "Ngertilah, Bangsat!" balas gue lantas masuk mendahuluinya ke mobil. "Kita mau cari mereka ke mana?" tanya gue begitu Juan duduk di kursi kemudi.

Bahunya diangkat dengan enteng. "Anywhere they will be. Meski gue punya satu tempat yang gue curigai dijadiin Vano lokasi bersembunyi."

"Ya udah, ayo buruan ke sana!" kata gue penuh semangat. Lebih cepat kan lebih baik.

Bukannya segera menyalakan mesin, pacar gue ini malah kayak yang mikir. "But, I'm not sure. Soalnya tempat ini bukan miliknya."

Hee? "Lah, terus? Punya siapa itu tempat?"

"Kak Armet."

.

"Saga!"

Sesuai dugaan, Kak Armetta menyambut kedatangan kami ke bungalownya dengan penuh suka cita. Sesudah melepaskan Juan, dia gantian memeluk gue dengan gemas.

"Feryan juga. Welcome." Dia tersenyum ceria. "Tumben datang kemari nggak bareng Ervan dan Dyas. Ayo, masuk! Pas banget, hari ini kakak lagi ngambil cuti," ungkapnya berseri-seri.

Aura kakak cantik ini seenggaknya berhasil bikin perasaan runyam gue sedikit memudar. Mantul emang.

Juan menahan tangan Kak Armetta yang bersiap membawa gue ke bagian dalam rumah. "No. I mean, kedatangan Saga dan Ryan kemari bukan untuk mampir. Melainkan untuk nyari Vano."

Anak pertama dari tiga bersaudara itu mengernyit. "Ervan? Ada apa sama dia? Oh, iya. Kakak dengar hari ini dia ada kencan sama pacarnya, si yayang Febri itu." Lalu mengembuskan napas lesu. "Ngeselin. Tega banget Ervan, tuh. Dia selalu aja curhat perihal yayang Febrinya, sedangkan kakaknya ini masih single. Bukannya bantu nyariin jodoh, kan?"

Gue dan si Bangsat beradu tatap dan mengangguk kompak setelah mendengar penjelasan itu. Sebab, bukan tanpa alasan kami memutuskan untuk mendatangi Kak Armet kemari. Menurut Juan, dia adalah salah satu orang yang paling Vano percayai selain para sahabatnya.

"Apa Kakak tau sesuatu mengenai siapa sosok yayang Febri si Vano ini?" tanya gue secara hati-hati.

Gelengan secara cepat Kak Armet berikan. "Nggak. Padahal kakak penasaran banget, nget, nget! Setiap kali Ervan dan yayang Febri ini video call atau teleponan juga, dia diamnya di dalam kamar. Dikunci lagi. Suaranya pun gak pernah di-loud speaker atau kedengaran," terangnya dengan ekspresi serius dan gemas. "Apa kalian tau sesuatu? Bagi-bagi dong. Kakak juga kepo!" Tangan gue yang masih dipegang dia goyang-goyangkan.

Juan yang buka suara, "Indeed, we know something. Just now. But, I dunno if I could tell you without talk with Vano first. Because, right now we need his explanation." Dia menghela napas. "So, Sis, we need your help. Jika Kakak tau kira-kira di mana Vano berada saat ini, please tell us. Sebab, Saga yakin dia juga pasti lagi gak mungkin ada di rumah."

Kak Armet pun tercenung sesaat. "Looks like it's serious matter," komentarnya kemudian masuk. Nggak berselang lama, dia kembali untuk memberikan sebuah kartu berisikan alamat pada gue beserta bungkusan kertas makanan berwarna cokelat. "Datang aja ke situ. Itu kamar apartemen kecil yang Ervan sewa sejak beberapa bulan lalu. Kakak pun baru satu kali datang karena dia minta diantarin kue dulu. Tapi anehnya, kakak nggak diizinin masuk ataupun datang lagi ke sana. Seharusnya kakak jaga rahasia ini, sih. Cuma berhubung jarang-jarang kakak ngeliat Saga mohon-mohon begini, nggak mungkin kakak nggak kasih bantuan." Masing-masing sebelah bahu kami dipegangi Kakak dengan hati bak malaikat ini. "Good luck! Nanti jangan lupa bagi-bagi informasi soal someone his called Febri ini, okay? Camilannya juga diabisin, supaya tambah semangat." Sebelah matanya mengedip.

.

"Alamatnya nggak terlalu jauh ternyata," kata gue sambil mengunyah satu kue kering sewaktu mobil mulai melaju lagi. Menuju ke lokasi si Vano. "Dan gue penasaran, kak Armet sebaik dan secantik itu, tapi kenapa dia nggak juga dapat pacar?"

Juan malah terkekeh. "Udah banyak kok yang mau jadi pacarnya, sayangnya sebagian dari mereka cuma ngincar harta warisan keluarga Johannes. Kadang langsung ngajak nikah, lalu ngebahas perihal bisnis. Meski baik, kak Armet tentunya bukan perempuan bodoh. Makanya satu per satu dari para bajingan itu ditolak mentah-mentah." Dia menggeleng masygul. "Mungkin belum ketemu aja sama sosok yang tepat. And, kak Armet masih menunggu kejutan untuk datang ke dalam hidupnya. Kayak kita berdua aja gimana. Dan mungkin, seperti yang Vano serta Setya alami juga."

Mendengar perihal 'kejutan' itu, semata-mata mengingatkan gue pada kata-kata yang pernah pak Dewa ungkapkan bulan lalu sewaktu gue curhat padanya. Tentang kejutan indah yang menurutnya pasti akan datang dan mengetuk hidup setiap orang, termasuk gue. Sekarang, baru deh gue paham maksud dari ucapannya. Karena disadari atau nggak, nyatanya kejutan itu udah gue dapatkan tepat pada hari di mana gue dan Juan jadian. Pun, hari ini ketika mengetahui bahwa rupanya Setya memiliki pacar laki-laki gak beda seperti gue. Mana pacar dia sahabat pacar gue. Udah gitu namanya kejutan, jelas aja ngebikin kaget, kan?

"Hidup ini bener-bener penuh kejutan emang," gumam gue agak menerawang. "Siapa yang nyangka jika sosok Juanda Andromano Saga bakalan jadi pacar dari seorang Feryan Feriandi," terus gue dan terkikik geli. "Lebih-lebih, sampai bikin satu sekolahan tau."

Dia mengusap pipi gue. "Gue bersyukur malah anak-anak satu sekolah pada tau. Dengan begitu, kita jadi nggak perlu diem-diem andaikan mau ketemuan dan ngobrol di sekolah. Meski ya, beberapa dari mereka berisik, sih." Sesudah itu mengembuskan napas berat. "Yang bikin gue nggak habis pikir adalah Vano ini. Dia, pacaran sama cowok sementara dia pernah mengaku shock dan nggak yakin apabila gue adalah seorang gay ketika bercerita mengenai taruhannya dan Dyas dulu itu. Lo juga ingat, kan?"

Gue mengangguk lantas menambahkan, "Iya. Dan yang lebih anehnya lagi, ternyata dia pacaran sama Setya, yang adalah teman dekat gue. Asli ya, gue nggak paham aja. Selama ini mereka pacarannya kayak apa sih sampe gue, elo, bahkan mungkin semua orang, gak ada yang tau soal hubungan mereka sebenarnya." Satu lagi kue gue kunyah penuh nafsu. "Mana ternyata mereka jadiannya udah lumayan lama. Kampret si Setya!" umpat gue dan mendengkus-dengkus.

Cowok gue ini bersandar ke kursi, lalu mengemudikan mobil dengan lebih lambat dan santai. "Mereka punya bakat akting yang bagus. Gue akui. Hari di mana Setya dan Vano kumpul bareng beberapa kali sejak sebelum sampe datang hari persiapan ultah gue pun, mereka lagaknya emang biasa-biasa aja. Sewajarnya. Meski ya, sedikit, gue mengagumi gimana cara Setya sanggup ngebuat Vano tunduk ke setiap ucapannya. And that's should be the most important clue. Sayangnya, gue terlalu sering memandang Vano sebagai orang agak aneh yang ngeselin. Makanya nggak terlalu gue pikirin. Sialnya, gue salah." Dia mengerem pelan-pelan, membiarkan seekor kucing anggora berbulu putih lewat yang dipelototi penuh gelora. "Wow. Itu kucing imut banget."

YEE, KAMPRET. Malah beralih fokus dia.

"Dari Vano nyasar ke kucing!" Gue mencubit lengannya.

Juan cengengesan dan lanjut menjalankan mobil. "Mendingan elo makan aja, deh. Supaya ada tenaga saat waktunya ngobrol sama Setya dan Vano."

Seolah-olah ngomong itu setara ngangkat barbel 5kg sebanyak 100 kali. Tapi suka-suka dia ajalah. Gue juga capek emang kebanyakan ngomong. Mending ini mulut gue pake makan. Hitung-hitung ngisi bahan bakar. Jadi, begitu mulai bicara empat mata dengan Setya nanti, gue nggak akan kewalahan akibat lapar.

Namun, setibanya di depan pintu yang menurut informasi dari kak Armetta merupakan kamar milik Vano ini, gue mendadak malah deg-degan dan tegang udah kayak lagi nunggu vonis pengadilan. Sementara Juan, seperti selalu, tenang-tenang aja dan tanpa ragu langsung memencet bel. Berulang-ulang malah.

Barbar banget ini orang.

Tangannya gue pukul. "Elo lebih mirip rentenir tau nggak, kalo lagaknya begitu."

Dia menaikkan bahu gak peduli. "Beda tipis. Rentenir nagih hutang, nah gue di sini berniat nagih penjelasan, Sayang." Dagu gue dicolek pelan.

Gue melotot risih. Baru ingin melayangkan protes lagi ketika pintu di depan kami terbuka.

"Iya, sebentar."

SUARA SETYA.

"Hannes, makanan pesanan kamu udah datang, nih!"

Buseettt. Kami dikira pengantar makanan. TERUS GIMANA ITU TERNYATA MEREKA MANGGILNYA PAKAI AKU-KAMU! DAN HANNES SIAPA LAGI, BAMBANG? Pening kepala gue.

Setya memunculkan kepala, memasang senyuman ramah yang seketika raib begitu menangkap keberadaan kami. Jakunnya naik-turun, parasnya berubah panik dan sebelum sempat kembali masuk ke dalam, Juan terlebih dahulu berhasil memegang tangannya.

"Don't you dare run away again from us, Febri."

Mendengar si Bangsat menyebutkan nama itu, ngebuat gue menyadari sesuatu yang penting lainnya. "Setya Febrianu?"

Setya menoleh merespons panggilan gue menggunakan nama lengkapnya. Sekarang, gue baru paham Vano ngambil sebutan itu dari mana.

Gue memaksakan senyuman. "Kita ngobrol, skuy!"

"Febri? Kenapa lama? Mana makanannya?"

Vano menyusul muncul, bikin ekspresi bingung di wajahnya berganti shock sewaktu melihat kami yang ada di depan pintunya. "Saga, Aryan? Why are you guys ..." Kalimat bule ini terhenti, lantas dia menggigit bibirnya dengan mata menyipit. "Kak Lili, ya." Dia menghela napas dan menarik lepas pegangan Juan di tangan Setya. "Just come in." Setya ditatapnya kemudian, "Like you said back then, we can't keep this secret forever, right? You don't mind, aren't you?"

Setya yang ditanyai hal itu gue lihat mengangguk lemah. "It can't be help," jawabnya pasrah.

Ketika hendak masuk, tiba-tiba aja datang seorang driver GoFood yang menenteng dua plastik berukuran besar. "Dengan Mas Ervano?" tanyanya pada gue.

Gue hanya mengangguk dan menerima plastik di tangannya. "Ini udah dibayar, Pak?"

Dia menatap gue heran. "Sudah, kan? Mas bayar pakai gopay tadi."

Bagus, deh. "Oke, Pak. Makasih," ucap gue setelahnya masuk ke bagian dalam apartemen yang sederhana, tapi tetap aja lebih bagus ketimbang rumah gue ini. "Nih, makanan kalian." Gue meletakkan plastik itu ke meja yang berada di ruang tengah utama. Mendapati Juan, Vano dan Setya udah duduk di posisi mereka masing-masing.

"Elo juga, cepetan duduk!" Si Bangsat menarik gue untuk duduk di sampingnya, padahal belum juga gue sempat ngeliat-liat. "Now, talk! Gak usah basa-basi!" gertaknya sambil melipat tangan di depan dada.

"Damn you, Saga! I'm hungry!" protes Vano yang lalu menarik satu plastik.

Gue mendelik. "Elo bukannya tadi balik dari KFC? Kenapa segala mau makan lagi?"

"Barusan gue di KFC karena nungguin Hannes yang lagi ngambil dompetnya yang ketinggalan di toilet. Kami belum sempat belanja dan makan apa pun." Setya yang menjawab kali ini memandang gue dan Juan bergantian. "Karena kalian keburu datang."

Err, Hannes ini siapa, sih? Terus di depan juga gue sempet denger si Vano nyebut nama Lili. Itu siapa lagi? Jiwa kepo gue makin meronta-ronta.

Vano membuka kotak makanan yang ternyata berisi nasi uduk. Terang aja mata gue melotot. NJIR. Bule pecinta cita rasa lokal rupanya dia.

"Kamu nggak makan? Aku tau kamu lapar," tawarnya pada sohib gue yang langsung memberi gelengan. "Atau mau aku suapin?"

BANGSUL. SEKETIKA NYEMBUR SUARA KETAWA GUE DAN JUAN. SIALAN. Geli-geli lucu sumpah gue ngeliat gaya pacaran mereka.

"What's so funny?" Mata bule yang bersorot tajam ini membulat sok galak.

Juan berdeham. "Sorry. It's just ... ridiculous. Hearing you talking with using aku-kamu. Dyas should also listen to this." Sesudah itu mulutnya terbungkam karena menahan tawa.

DASAR BULE KURANG AJAR. Duh, gue juga gak boleh lanjut ketawa. Pamali. Nanti dihajar Vano bisa mental gue sampe ke Borneo.

Gantian, sekarang gue yang angkat bicara. "Elo ngomong dong, Set!" kata gue seraya menatapnya.

Cowok yang udah berteman dengan gue lebih kurang 4 tahunan ini menunduk sebentar, menarik-mengembuskan napas dua kali, sesudah itu perlahan-lahan mengahadap gue dengan tampang lebih berani. "Gue ... nggak normal sama sekali. Sejak kelas 5 SD, gue seneng setiap kali ngeliat ada cowok cakep yang lewat di depan mata, bahkan yang tampil di TV. Lebih parah lagi, karena sadar gue ini cowok juga, bikin gue mikir jika mungkin sebetulnya gue ini ditakdirkan menjadi cewek. Cuma Tuhan ngirim gue ke tubuh yang salah. Makanya, sejak mulai masuk SMP dan nemu banyak peralatan make up dari kak Feni yang nggak kepake lagi ... diem-diem gue sering makek." Kedua matanya mendadak berkaca-kaca. "Gue ... kepengin jadi cewek. Supaya gue bisa berhenti nganggap diri gue gak normal. Biar orang-orang yang nanti sampe tau kebiasaan gue itu nggak akan ngeluarin caci-maki. Bahkan ayah dan ibu juga, gak mau gue sampe mereka tau lalu menyesal karena punya anak cowok satu-satunya yang malah ... begini." Dia mendongak, menahan air matanya yang seakan siap jatuh kapan aja. "Gue nggak pernah mau jadi nggak normal, Fer. Gue yakin, elo juga begitu. Itulah kenapa, gue nggak pernah benar-benar mau berteman sama siapa pun. Sama lo, sama semua orang. Sebab gue selalu dibayang-bayangi perasaan nggak enak hati. Sayangnya, gue nggak tega sama lo. Sejak ortu lo cerai, gue tau elo jadi korban bully anak lain dan gue nggak tega ngeliatnya. Dari sana, gue berusaha menerima lo sebagai teman pertama gue. Toh, meskipun elo ngeselin dan ngenesin, elo orangnya asik aja dijadiin kawan main."

Oke. Bodo amat. Bukan saatnya untuk merasa tersinggung apalagi sedih dan sakit hati disebabkan cerita yang baru aja gue ketahui tadi. Terlebih, bagian di awal-awal itu benar-benar nggak gue sangka sama sekali.

"Tetep aja, gue gak tenang. Gue kepengin ngakuin yang sebenarnya juga, gue ... ketakutan. Elo sadarlah kita hidup di negara dengan mindset para masyarakatnya yang kayak apa. Elo juga kan udah ngerasain sendiri tempo hari, saat anak-anak satu sekolah tau bahwa elo dan Juanda pacaran. Elo dapat hinaan habis-habisan. Itu juga yang mendasari gue untuk terus diam selama ini." Akhirnya, Setya menegakkan kepala lagi. Matanya beneran merah parah akibat menahan tangis. "Sampai kemudian, elo datang waktu itu. Tiba-tiba ngaku kalo elo homo, suka ke cowok. Gue shock-nya beneran nggak pura-pura ataupun bercanda. Gue kaget banget, Fer. Gue ngerasa, agak bersalah dan sedih. Saat gue nanya apakah elo homonya karena gue, di situ gue bukan mastiin tentang elo yang homo dikarenakan suka ke gue. Melainkan ... apakah elo jadi homo karena ketularan gue yang nggak normal sejak lama? Tapi ..." Juan ditatapnya sekilas. "Begitu tau rupanya orang yang bikin elo homo dan suka ke cowok adalah Juanda, gue jadinya nggak heran lagi dan ngerasa seneng. Soalnya gue tau Juanda juga gay dan dia bisa jadi tipe semua orang, cowok ataupun cewek. Termasuk elo. Makanya, di hari di mana Juanda minta nomor elo, gue ngasih itu tanpa pertimbangan atau rasa curiga sama sekali. Dan gue tau, kalian berdua emang bakalan saling suka."

ANJIR. Gak nyangka gue punya kawan yang super pengertian. Gue kira dia dulu ngomporin supaya gue ngebikin Juan homo juga tuh murni dikarenakan jiwa setannya yang sesat. Rupa-rupanya dia sengaja sebab mau nyomblangin gue dan Juan. Terharu gue, nih.

Kini, giliran Setya yang mengerling Vano yang masih makan. "Gue kenal Hannes sejak--"

"Bentar, bentar. Gue mau nanya!" Terpaksa gue menginterupsi lantaran jiwa kepo ini nggak bisa ditahan lagi. "Hannes itu siapa, ya?"

Juan gue dengar mengembuskan napas lelah. "Vano. Nama dia itu Ervano Johannes Rafael. Hannes itu asalnya dari Johannes. Mereka makai nama keduanya masing-masing sebagai panggilan special. Gue bener, kan?"

Vano cuma memberikan acungan jempol. Ini cowok kayak gak ada niat kerja sama mau ikut ngejelasin apa? Perut melulu yang diurusin. Dasar bule gemblung.

"Terus, kak Lili siapa lagi?"

Cowok di samping gue malah berdecak keras. "Astaga. Itu kak Armetta yang dia maksud. Nama keduanya juga dari Armetta Lilian Johannes. Vano ini goblok kalo soal inget nama depan orang. Kan elo tau sendiri."

Oh, ternyata. Asli, baru tau gue. "Kalo gitu elo panggil gue Feri aja mulai hari ini," saran gue ke Vano yang tampak nggak peduli. "Udah capek juga nama gue salah disebutin melulu sama mulut usil lo itu. Tapi, kok elo bisa nyebut nama Dyas?"

"Karena dia punya kembaran," jawab Juan mewakili lagi. "Siapa pun orang yang punya kembaran, nama depan mereka akan bisa Vano ingat didorong perasaan bahwa kembaran itu harus bisa dibedakan. Dan karena kembar nama keduanya seringkali sama, jadi pakai pilihan manggil nama kedua mereka gak berguna buat dia. SAMPE SINI, ELO UDAH PAHAM BELUM?"

Gue refleks menutup telinga mendengar seruan kampretnya. "Ya, elo gak usah nyolot jugalah, Bangsat! Sakit kuping gue."

Kepala gue kena jitak. "Capek gue ngehadapin kebegoan elo, monyong!"

Mukanya gantian gue tabok. "Anjing lo tuh dasar!"

Juan sekadar mendengkus sambil buang muka. Bule semprul.

"Kalo mau berantem, pintu keluar jaraknya lima meter aja dari sini," ucap Vano dengan raut merasa terganggu. "Jangan kurang ajar sama Febri ya kalian! Dia belum selesai ngejelasin semuanya!"

Yeee, ngamuk ini jelmaan pohon kelapa. "Terus, kenapa elo nggak gantian ngomong?" balas gue, masih sedikit kesal.

Vano urung menyendok nasi uduk yang masih tinggal setengah. "Gue masih lapar!"

EMANG DASAR TEMEN SI JUAN TUH GAK ADA YANG BERES SIFATNYA. NGESELIN SEMUA.

"Gue jadi hode di Hago." Vano tersedak mendengar lanjutan penjelasan Setya.

MAMPUS!

"Gue nge-hode dengan jati diri buatan. Pakai nama palsu Selya Febriani, dan berdandan ala-ala cross-dressser. Main game, sambil senang-senang, dan sekalian kenalan sama cowok-cowok yang ketipu gitu aja sama gue. Sampai kemudian, akun Hannes tiba-tiba muncul ngirim permintaan pertemanan. Langsunglah gue tolak karena nggak mau sampe ada cowok dari sekolah kita yang berteman sama akun itu. Nggak taunya, di sekolah, dia malah mengintrogasi gue. Yakin betul bahwa Selya Febriani itu adalah gue walau gue gak mau ngaku sama sekali. Maksa untuk terus ketemu dan ngobrol sama gue, mau tau alasan kenapa gue malah berdandan jadi cewek. Bahkan ngeyakinin gue kalo dia nggak ada maksud buat ngetawain atau ngerendahin hobi gue yang gak normal. Lama kelamaan, gue ngerasa ... makin suka ke dia. Karena emang, gue suka ke dia sejak lama dan cuma berani ngeliat dari kejauhan. Cowok tinggi, keren, keliatan lucu. Eh, gak taunya, aslinya aneh. Cuma yah, begitulah. Kami awal kenal Februari. Kemudian jadian pada bulan Mei."

Setya dan Vano lantas beradu pandangan yang bagi gue asli bikin merinding.

"Hannes bilang, dia kepengin jadi nggak normal sama kayak gue. Jika dengan sama-sama nggak normal bisa bikin gue suka juga ke dia, dia bilang dia bersedia sekali pun harus dianggap gila." Secara berani, sebelah tangan Vano digenggam oleh Setya. "Gue minta maaf karena nggak berani ceritain semua ini bahkan meski udah tau yang sebenarnya tentang kalian. Setelah semua yang terjadi, apalagi sewaktu anak-anak sekolah tau, rasa khawatir gue makin menjadi-jadi. Gue ... nggak mau bikin elo kecewa. Hannes sih selalu support gue, bilang bahwa andai gue kepengin cerita ke elo sekali pun, dia siap juga untuk bilang ke Juanda. Sayangnya, gue masih butuh waktu. Kejadian hari ini, gue anggap sebagai kebetulan yang melegakan. Kalo nggak kepergok, gak tau deh kapan lagi gue bakalan berani cerita." Dia tersenyum. "Bagi gue, elo sahabat gue, Fer. Gue nggak niat nyembunyiin apa pun dari lo. Jadi, gue minta maaf. Maaf karena gue nggak seberani dan sekuat elo. Gue, bener-bener seneng bisa punya lo dan gue gak mau kehilangan lo sama sekali sebagai teman dekat gue satu-satunya. So, please, forgive me? Mulai hari ini, gue usahain untuk nggak akan pernah nyembunyiin apa-apa lagi. Oke?"

Air mata gue turut menetes melihat Setya yang akhirnya nggak mampu lagi menahan tangis. Bangun dari duduk, sesudah itu gue memberinya pelukan. "Gue juga minta maaf karena gak pernah tau sedikit pun perihal masalah yang lo alami. Kita sama-sama nggak normal, jadi sampai kapan pun, elo sama gue akan tetap bisa sahabatan. Sampe tua kek sekalian." Bahunya gue usap-usap. "Makasih, Set. Makasih karena elo udah mau jadi teman gue."

Perasaan gue melambung. Merasa beruntung karena Tuhan menakdirkan Setya menjadi kawan yang sangat pengertian bagi gue. Meski awalnya gue kesal, setelah tau segala hal yang tadi dia ungkapkan bikin gue sadar bahwa beban yang menekannya sampai hari ini nggak sesepele yang gue alami. Toh, setiap orang selalu punya cara berbeda ketika hendak atau sebelum menghadapi masalah. Setya mungkin tampak santuy dan cuek di luar, tapi siapa yang bisa tau apa isi di dalam hati serta pikirannya, kan?

Vano batuk-batuk keras yang serta-merta membuyarkan adegan Teletubbies gue dan Setya. "Febri, aku haus, nih."

NAJIS. Ini cowok badannya doang tinggi, kelakuan kayak bocah TK yang masih suka ngompol di celana. Manja.

"Bentar, aku ambilin minum." Setya mengusap pipinya yang basah, kemudian berjalan menuju dapur minimalis yang juga kelihatan dari sini.

"And?" Juan bersuara sehabis gue balik duduk di dekatnya. "Elo nggak ngerasa perlu bilang something ke gue?"

Bule beralis lebat di depan gue ini mengernyit. "No need. Febri udah ngewakilin semuanya."

Terang aja jawaban itu bikin si Bangsat memutar bola mata. "So, elo juga suka cowok?"

"No!" Jawaban Vano terlontar sangat cepat. "Gue gak suka cowok. Tapi, kebetulan aja orang yang gue cintai saat ini cowok," ungkapnya sambil menatap Setya yang kembali ke sini dengan penuh damba. "Febri adalah cowok pertama dan satu-satunya yang Ervano Johannes Rafael akan sukai. Dan ini janji," ungkapnya yakin.

Kepala Vano dibelai Setya penuh sayang. "Itu tadi kata-kata yang dia ucapin pas nembak gue dulu," akunya malu-malu.

Juan bersiul-siul. "Manis banget kalian, ya. Gak kayak orang di sebelah gue, yang setiap diajak mesra-mesraan dikit selalu aja bilangnya norak, norak dan norak," sindirnya.

Gue tersengih dan membalas, "Terus, masalah buat elo?"

"Belum aja, kali," komentar Setya. "Kalian kan masih awal-awal pacaran. Di awal gue dan Hannes pacaran juga nggak langsung kami bisa mesra. Ya, kan?"

Vano mengangguk dua kali.

"Sorry, ya. Gue anti romantis dan mesra-mesraan klub, tuh!" kata gue telak sembari membentuk tanda silang di depan dada.

"Whatever!" Lagi, si Bangsat memutar bola mata. Cowok curut ini. Dia tahu-tahu berdiri dan melangkah menuju ke pintu. "Let's go! Elo tadi lapar, kan? Sekarang, saatnya kita cari makan."

Otomatis nyengir saat pasangan di hadapan gue menatap heran. "Ehehehe. Kalo gitu, gue balik, deh. Sorry, udah ganggu!" Gue melambaikan tangan. "Sampe ketemu besok, Set."

"Padahal elo tinggal makan makanan di sini aja."

Tawaran Setya itu gue tanggapi gelengan pelan. "Tapinya lebih enak masakan buatan cowok gue, tuh," jawab gue untuk selanjutnya menubruk lengan Juan. "Elo denger, kan?"

Dia terkekeh sembari mengacak-acak rambut gue. "Anything for you."

Ikut kata si Vano, deh. Gue ingin menjadikan Juan sebagai cowok pertama dan satu-satunya yang akan Feryan Feriandi sukai. Saking bersyukurnya gue sebab mampu mendapatkan dia sebagai bagian kejutan di dalam hidup.

"Juan?"

"Hm?"

"Gue cinta sama lo."

"Iya. Gue juga." Dia mendecak. "Giliran ada maunya aja mulut elo manis, ya."

Karena lebih dari siapa pun, elo adalah orang paling utama yang kepengin gue bikin bahagia.

Namun, pantang gue ucapin langsung soalnya Juan pasti nanti kegeeran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com