54. PERJANJIAN [END]
Sekali lagi, gue memberi pukulan. Kali ini, secara telak mengenai pahanya. "PERGI! PERGI! PERGI LO SANA, GOBLOK!" usir gue disertai makian sambil memukul lagi berulang-ulang. Bikin Juan sigap merangkul gue menjauh.
"A-awas aja kalian, ya!" ancam si Akang, melangkah mundur seraya menggosok-gosok bagian tubuhnya yang sakit.
Gue mendelik. "APAAN, HAH? ELO MASIH BERANI NGANCAM!" bentak gue yang berhasil ngebuat dia cabut dari sini.
Napas gue terengah-engah, mencoba meredam emosi yang seolah masih menguasai. Belum puas gue ngehajar itu orang. Akang sinting sialan! Kurang ajar. Biadab. Mulutnya ketauan nggak pernah disekolahin. Otaknya juga pasti nggak ada isinya sama sekali. MAKHLUK BANGKE! ARRGHHH!
"Ada apa ribut-ribut?" Nenek nongol dari dalam rumah.
Di seberang dan tepi jalan, para tetangga juga tampak bermunculan sembari mengintip kemari lantaran penasaran. Berbisik-bisik nggak jelas yang terang aja bikin Mamah keliatan jengah.
"U-udah, nggak ada apa-apa. Pak, Bu. Maaf sudah mengganggu!" kata Mamah dengan mengatupkan kedua tangan, lalu secara mendadak membetot pergelangan tangan gue, menarik tubuh gue dari rangkulan Juan. "KAMU INI APA-APAAN SIH, FERY!" omelnya, meledakkan amarah begitu kami tiba di dekat tangga bagian dalam rumah. "Siapa yang ngajarin kamu jadi nggak sopan begitu, hah? Lancang banget mukul orang yang lebih tua, ditambah pake segala ngata-ngatain dia! Mamah gak suka ngeliatnya!"
Sapu yang gue pegang direbut, kemudian Mamah gunakan untuk gantian memukuli gue. Ngebuat gue seketika mengaduh lirih, menahan nyeri yang mengenai bahu, lengan bahkan punggung.
"Kamu ini sejak dulu bisanya nyusahin mamah terus! Bisa nggak sih kamu bikin senang orang tua sekali aja!"
Tangisan gue pun pecah tanpa bisa dibendung. Pukulan yang gue dapat sekarang ini nggak seberapa dibandingkan kata-kata yang Mamah lontarkan. Sakit.
"Astagfirullah! DESY! NYEBUT!" jerit Nenek yang datang menyusul masuk.
"TANTE!" seru Juan mengejutkan Mamah. Dia buru-buru memeluk gue dengan satu tangan, sedangkan sebelah tangan lainnya menahan gagang sapu yang Mamah pegang. "WHAT THE--Tante ini apa-apaan! Feryan barusan di depan sana membela Tante, loh. DIA MEMBELA TANTE SEBAGAI MAMAHNYA KARENA FERYAN JELAS NGGAK TERIMA MAMAHNYA DISEBUT MANTAN PELACUR. Tapi kenapa Tante malah marah dan nggak terima? Salah Feryan di mana memangnya!" protesnya, memasang ekspresi murka super mengerikan yang baru kali ini gue lihat. "Maaf karena Saga jadi ikut campur. Jika Tante lupa, biar Saga ingatkan ke Tante satu hal paling penting. Feryan Feriandi ini adalah anak Tante. ANAK TANTE SATU-SATUNYA! Coba pikirkan bagaimana perasaannya kalo Tante malah terus-menerus memarahi dan menyudutkannya! Pikirkan sedikit aja." Suaranya kian bertambah lirih.
Nenek menghampiri gue, bantu menyeka air mata yang membasahi pipi dengan kedua mata berkaca-kaca. Alhasil tangisan gue menjadi semakin keras. Merasa nggak enak karena gue malah bikin Nenek ikutan sedih.
Juan menghela napas panjang sebelum lanjut bicara, "Di mata Tante, Feryan mungkin cuma seorang anak pemalas. Dia ceroboh, merepotkan, bodoh atau malah susah diatur. Tapi tanpa Tante ketahui, Feryan sebetulnya punya prestasi yang bagus di sekolah, Tan. Dia juga rajin. Sangat rajin! Setiap ada waktu luang dia akan membantu Nenek membereskan kerjaan di rumah. Nggak suka keluyuran untuk hal nggak penting. Dia bahkan pintar menabung. Sayangnya, Tante sama sekali nggak bertanya apa pun soal dia dan berlagak nggak peduli mengenai itu semua. Sejak kedatangan kami kemari, yang Saga lihat Tante malah lebih banyak bicara dengan Saga, memberi Saga perhatian yang jelas lebih Feryan butuhkan. Ada apa, Tan? Kenapa nggak coba ajak Feryan ngobrol? Tanyai hari-harinya di sekolah, di rumah, gimana hasil rapornya, apa maunya, ciptakan obrolan dengannya. Siapa tau dia punya keluh-kesah yang hanya bisa dibagi pada Tante selaku mamahnya. Apa Tante nggak pernah merasa kasihan ke Feryan? Setelah semua hal yang terjadi selama ini padanya?"
Akhirnya gue terduduk lemas di lantai sambil meraung-raung, kemudian memeluk kaki Mamah yang suara isakannya mulai terdengar.
"Maafin Fery, Mah. Maafin Fery kalo Fery gak bisa bikin Mamah senang dan bahagia. Maaf kalo Fery punya banyak salah. Tapi, tapi, Fery nggak mau begini terus. Fery mau Mamah berubah. Kita berubah. Jangan begini lagi, Mah. Fery ini anak Mamah dan Fery nggak suka ngeliat Mamah kayak gini terus. Di luar sana, Fery yakin nanti Mamah bisa dapatin laki-laki yang bisa bikin Mamah bahagia. Sosok yang lebih baik dari Papah yang akan nyenengin Mamah seterusnya. Jadi, Fery minta, Mamah tolong berhenti kayak gini. Fery gak suka Mamah nyiksa perasaan Mamah sendiri!" ungkap gue disertai suara serak yang seakan mencekik tenggorokan.
"A-aakkkh!" Mamah berjongkok, wajahnya yang basah oleh tangis sampai bikin seluruh makeup-nya luntur. Untuk pertama kali setelah sekian lama, paras gue mendapatkan usapan lembut. "Maafin mamah ya, Nak. Maaf."
Lantas gue dan Mamah berpelukan erat. Merasakan kedamaian sekaligus kelegaan yang udah lama nggak gue dapatkan. Berpikir bahwa ini merupakan sambutan pulang paling menakjubkan yang pernah Mamah berikan. Ibu kandung gue. Sosok wanita hebat yang gue tau betapapun buruknya dia, tapi nggak bisa ngebikin gue memilili satu alasan sebagai senjata untuk membencinya. Karena bagaimanapun, Mamah tetap berharga.
Di telapak kakinya, surga gue ada di sana.
.
"Fery, dapat ranking 14?"
Kepala gue yang tengah diusap-usap oleh Mamah mengangguk menjawab tanyanya. Di sofa sebelah, Juan dan Nenek duduk bersama menyaksikan interaksi gue dan Mamah yang mengalami peningkatan pesat.
Mamah mengembuskan napas panjang. "Mamah nggak nyangka, rupanya Fery pintar juga, ya. Selamat ya, Nak," ucapnya sambil menutup rapor, selepas itu mendaratkan ciuman ke kening gue.
Tanpa mampu ditahan, air mata gue jatuh lagi. "Makasih, Mah," balas gue terisak saking terharu.
"Loh, Fery nangis lagi," komentar Nenek tampak geli sekaligus senang.
Gue terkekeh parau, mengelap wajah menggunakan lengan baju. "Fery seneng, Nek."
Dari tadi soalnya gue sempat kepikiran apabila ini mimpi semata. Namun, keliatannya gue masih ada di kehidupan nyata. Makanya gue asli bahagia.
"Mamah minta maaf." Mamah menaruh rapor ke pangkuan, sesudah itu menghela napas lesu seraya memijat pelipisnya. "Mamah pusing dan bingung, Nak. Jujur aja, setiap kali bertemu atau mendengar suara kamu, yang mamah ingat adalah masa-masa kelam yang pernah mamah berikan dulu. Ke kamu. Mamah merasa bersalah, mikir seharusnya kamu itu benci aja ke mamah. Apalagi setelah kita tinggal terpisah. Mendengar tentang keseharian kamu dari Nenek. Bahwa kamu begini, begitu, sudah bisa ini dan itu. Tentunya, mamah seneng. Hanya mamah nggak tau bagaimana caranya agar ... kamu tau hal itu. Jadi, mamah melakukan aja apa yang mamah kira lebih pantas diperbuat. Padahal jelas itu bukan solusi. Mamah menyalahkan kamu dan kamu sejak dulu, tanpa sadar jika yang salah adalah mamah sendiri karena bisa-bisanya tergoda rayuan busuk pria biadab seperti papah kamu. Membuat kamu menjadi korban keegoisan kami." Tubuh gue dipeluk dari samping. "Malangnya kamu karena harus menjadi bagian dari kehidupan mamah dan papah, Fery. Mamah suka berpikir begitu. Bahkan sampai sekarang."
Buru-buru gue menyahut, "Tapi kalo Fery nggak Mamah lahirkan, Fery gak mungkin bisa ada di sini sekarang."
Mamah terkekeh sambil menyusut hidungnya. "Iya." Sesudah itu melirik Juan dan Nenek bergantian. "Makasih ya, Mah, Nak Saga. Karena udah mau repot-repot menemani dan bantu menjaga Fery selama ini. Tapi gara-gara ini, sekarang Desy jadi galau." Sebelah tangan gue digenggam oleh kedua tangannya. "Fery, apa mau pindah tinggal sama mamah nanti? Nemenin mamah di sini, di Bandung."
Gue tercekat. Sontak mengerling pada si Bangsat dan Nenek yang juga terlihat shock parah. WADUH. Kenapa mendadak pembahasannya belok ke sana? Bangsul. Gue ... harus gimana? Mesti ngejawab apa? Kalo nolak, terkesan kurang ajar ditambah sama sekali nggak terpikirkan satu pun alasannya. Andaikan nerima, nanti nasib hubungan gue sama si Bangsat gimana urusannya?
Mamah tiba-tiba terkekeh, ngebuat perasaan bingung gue sedikit sirna. "Kalo belum bisa jawab, nggak apa-apa, Fery. Mamah nggak akan maksa. Lagian, mamah tau kamu sekarang lebih nyaman tinggal di Jakarta bareng Nenek. Terus juga, sebentar lagi kamu bakal naik ke kelas tiga. Jadi, ya udah. Fokus belajar dulu aja supaya bisa naik kelas. Ya? Mamah yakin kamu pasti bisa. Anak mamah kan pinter dan baik, ya." Puncak kepala gue digosok-gosok gemas.
Embusan napas lega gue alhasil keluar. Nyengir ke Mamah, lalu sekali lagi memeluk tubuhnya. "Iya, Mah. Makasih."
Kehangatan yang sejak dulu gue dambakan. Aroma badan yang sering kali bikin penasaran. Diberi belaian sayang yang selama ini cuma bisa dikhayalkan. Semuanya telah berhasil gue rasakan. Hari ini.
Gue melirik Juan yang memberikan senyuman lembut, kemudian nyengir.
Dan itu dapat terjadi berkat jasa serta sikap berani dari cowok gue. Tanpa dia, gue beneran gak akan bisa ngelakuin apa-apa. Demi segala sumpah, gue betulan cinta banget ke dia sekalipun Mamah mungkin nggak akan ngasih restu atas hubungan terlarang ini. Tapi, soal yang itu bodo amatin dululah. Yang terpenting, gue harus menikmati apa yang kini gue miliki.
______
"Nya, sabodo! Pokoknya mbak nggak mau tau! Ya iya, atuh! Begitu urusan selesai, kita mah nggak perlu ketemu lagi! IYA, BUDEG! Jiga awewe sia teh ngan aing doang! Dasar lalaki kehed! Modar sia!" Seusai ngamuk-ngamuk, si Mamah memencet HPnya gregetan masih sambil misuh-misuh.
Gue dan Juan yang tengah menyiapkan nasi goreng di meja makan saling berpandangan. "Ada apa, Mah?" tanya gue, sedikit agak cemas lantaran takut Mamah terlibat masalah yang nggak jelas juntrungannya lagi.
Mamah tersenyum. "Pagi, Fery, Saga." Kepala gue diusap pelan. "Nggak apa-apa. Ini tadi mamah habis nelpon si akang belegug yang kemarin itu."
Mendengarnya, jelas gue kaget. "Dia cari gara-gara lagi?"
Duh. Awas aja kalo beneran. Lain kali, ganti gue pukul pake linggis biar tau rasa.
Untungnya si Mamah menggelengkan kepala. "Nggak. Mamah barusan nagih hutang dia ke mamah. Lumayan bisa buat jajan bakso sama beli surabi," jawabnya lantas cekikikan.
Aduh, jadi mau surabi. Yeee, malah salah fokus!
"Tapi akang goblok itu gak akan macam-macamin Mamah lagi, kan?"
"Nggak. Kalo berani juga, nanti biar mamah yang gantian gebukin. Eh, ngomong-ngomong badan Fery pada sakit nggak? Mau mamah pijat?" tanya Mamah sembari menyingkap kaus belakang gue untuk mengintip bagian punggung.
"Nggak usah, Mah. Gak apa-apa, kok. Lagian Mamah kemarin mukulnya pelan," ungkap gue agar Mamah nggak khawatir, lalu melanjutkan, "Cuma, Fery nggak suka kalo Mamah punya pacar yang modelnya kayak si akang itu. Coba cari pacar tuh yang baik, Mah. Cakep, ganteng, pintar masak, perhatian, nggak perhitungan, yang keren pokoknya!"
Terang aja Mamah memandang gue heran. "Masih ada lalaki kayak gitu?"
"Ada! Juan, nih."
Cowok gue yang disebut namanya ini tersentak di posisinya.
Mamah langsung ngakak. "Atuhlah. Masa iya mamah kudu pacarannya sama Nak Saga?" Kesimpulannya bikin gue mendelik gak terima.
DIH AMIT-AMIT! JANGAN SAMPE!
"YA, NGGAK ATUH, MAMAH. Contoh doang itu, tuh. Fery juga nggak bakal ikhlas ridho andai nanti Mamah kepengin nikah sama cowok seumuran Fery. Gak lucu, ah. Gak suka Fery mah," komentar gue diakhiri dengkusan.
Tiba-tiba aja si Bangsat memperdengarkan suara ketawa keras yang ngebuat gue dan Mamah memandangnya bingung. Kesurupan apa ini orang, woi?
Di sela-sela tawa, Juan berkata, "Sorry. Tapi, kalian berdua ini ternyata bener-bener mirip ya sifatnya. Lucu!" ujarnya tampak geli dan menggeleng-geleng takjub sendiri.
Yah, mau gimana lagi? Namanya juga anak sama ibu. Nggak bedalah kayak sifat dia yang punya banyak kemiripan dengan mendiang mommynya.
Mamah secara usil menempelkan pipinya ke wajah gue. "Iya, kan? Siapa dulu mamahnya!" Kemudian mendaratkan kecupan yang bikin Juan ketawa lagi.
"Lipstiknya nempel!"
Mengetahui hal itu gue refleks mengelap pipi. "Ah, si Mamah!"
Namun, meski keluhan yang keluar dari mulut, sebenarnya saat ini diri gue tengah dilanda bahagia yang nggak terkira. Menyambut pagi dengan langsung bercanda bareng Mamah dan Juan, lalu begitu Nenek datang dari membeli gorengan dan jajanan, kami mulai menyantap sarapan bersama-sama. Masih sambil berbagi suka cita, saling bercerita juga tertawa.
Idealnya, memiliki keluarga bahagia yang sejak dulu gue pertanyakan mungkin memang seperti ini gambarannya. Berharap, kehangatan dari bahagia ini mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama.
Sayangnya, harapan hanyalah harapan. Karena hari ini, Juan harus pulang lagi ke Jakarta. Padahal kami belum sempat jalan-jalan ke destinasi wisata mana pun.
"Elo nanti mau berangkat jam berapa?"
Juan mendongak dari HPnya untuk melirik gue. "Jam satu atau jam dua."
Setelah itu dia memasukkan HP ke kantung. Lanjut berdiri, meregangkan badan dengan mata yang memandang pada kejauhan. Memperhatikan bangunan demi bangunan yang keliatan dari atas atap datar rumah gue ini.
"Elo bakalan baik-baik aja, kan? Meski nanti gue pulang duluan," baliknya bertanya sembari menarik gue ke rangkulan.
Gue mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Tenang aja. Lagian di sini udah gak ada masalah."
Si Bangsat menggumam. "Hmm. But, how should I say this? Sejak tadi malam, gue kepikiran sesuatu."
"Soal?" Wajahnya gue tatap penuh kekepoan.
Matanya balas menatap. "Ngebayangin gue nanti ada di Jakarta dan elo masih di Bandung. Bikin kita gak bisa ketemu. I mean, gue gak bisa ketemu sama lo sementara waktu. Padahal kurang dari dua tahun, jarak yang misahin kita berdua akan berkali lipat lebih jauh. Entah kenapa, gue ngerasa konyol sendiri."
Mendengar jawaban itu, alhasil bikin gue menghela napas lesu. "Itu wajar kok dipikirin. Gue juga sama. Nyaris setiap hari mikirin soal itu," respons gue jujur.
Yah, siapa sih yang nggak mungkin kepikiran jika tau dirinya dan sang pacar bakal LDR-an dari Indonesia ke Inggris?
Juan berdeham. Menggeser badannya untuk berdiri menghadap gue. "Are you really okay?" tanyanya lagi. Kali ini, sebelah tangan gue digenggam lembut.
"Soal apa lagi?"
"LDR kita nanti," ungkapnya sesudah mengambil jeda sekitar tiga detik.
Gue menatapnya lama. Berpikir sebentar lebih dulu sebelum bersuara, "Meskipun nggak oke, gue jelas nggak ada hak buat ngelarang elo kuliah jauh, Juan. Itu cita-cita lo sekaligus keinginan elo dari kecil, kan? Dan sebagai pacar yang baik, udah sepantasnya gue ngasih izin. Jadi, nggak usah terlalu mikirin gue. Masa depan elo saat ini lebih penting." Punggung tangannya gue usap-usap dengan ujung jempol.
"Tapi elo juga kan bagian dari masa depan gue."
DUH KAMPRET! Nyaris ngembang lubang hidung gue akibat terserang gombalannya yang mulus kayak ketek habis dicukur. Muka gue panas!
"Norak lo!" Lengannya gue tonjok pelan saking gemas.
"Gue serius, Bego!"
Mendengar penekanan pada kata seriusnya bikin gue ketawa. "Iya. Gue tau, Bangsat! Elo juga, kepengin gue jadiin bagian dari masa depan gue, kok," aku gue malu-malu lalu mendelik. "Puas?"
"Iya." Dia nyengir. "Tapi bakal lebih puas lagi andaikan elo mau janji sama gue."
"Janji?" Gue mengernyit.
Jari kelingking kiri si Bangsat disodorkan di depan wajah gue. "Janji sama gue, mulai hari ini dan seterusnya, kita harus lebih mengusahakan yang terbaik. Sebagai bukti bahwa dengan status kita yang saling memiliki, kita juga sekaligus saling memberi pengaruh positif bagi satu sama lain. Gue mau orang-orang tau, meski hubungan kita ini dianggap miring, gak normal, bahkan nggak masuk akal, kita berdua nggak akan pernah gentar. Tetap mampu menguatkan satu sama lain, saling menerima kurang dan lebih dari diri kita masing-masing, juga melakukan apa yang seharusnya dilakukan demi menjaga apa yang kita punya. Ikatan kita ini. Cinta gue untuk lo, perasaan lo untuk gue. Semuanya," ungkapnya sembari memandang lekat ke mata gue.
Menciptakan debaran kencang di jantung yang kini dilanda kegirangan. Sebab janji yang dimintainya adalah hal yang nggak sulit untuk disetujui.
Jari kelingkingnya gue peluk menggunakan jari kelingking milik sendiri. "Iya, Juan. Gue janji bakal ngelakuin itu semua. Di semester depan, gue juga janji bakalan naik kelas dengan peringkat yang lebih memuaskan. Sekalian, begitu mau lulus, gue akan belajar mati-matian biar bisa masuk tiga besar, deh!" ikrar gue bersungguh-sungguh dengan memasang senyum yang lebar. Biar makin keliatan meyakinkan.
Pipi gue dicubit gemas. "Ngayal elo ketinggian. Tapi, itu baru semangat. Gue dukung apa pun kemauan lo selama itu baik. Semangat, ya!" Bibir gue dikecupnya.
Dan gue langsung memberi kecupan balasan. "Elo juga!"
Juan mengembuskan napas lega, selepas itu menarik tubuh gue ke pelukannya. "Gue cinta sama lo, Bego."
Ungkapan yang satu itu nggak akan pernah bosan untuk didengar. "Gue juga cinta ke elo, Bangsat." Pun, gue nggak akan bosan mengungkapkan balik isi perasaan gue padanya.
"Gue bakalan kangen sama lo!"
"Gue juga."
Pelukannya dilerai. "By the way, kado Natal buat gue mana?"
Mendapati sebelah tangannya yang menadah ngebuat gue melotot heran. "Pengin sekarang?" tanya gue agak cemas karena belum sempat nyiapin apa-apa.
"Iyalah." Dia menjawab cepat.
Yah, kado darurat terpaksa dikasih kalo gini urusannya.
Gue mengembuskan napas pasrah. "Ya udah, ayo ke kamar. Mumpung elo belum pulang," bisik gue yang kemudian membalikkan badan menuju ke pintu.
"Wow. Gue suka nih kado yang model begini. Dikasihnya saat bukan di hari Natal juga bakal bersyukur banget."
Komentarnya gue balas cibiran, "Ngarep lo!"
Si Bangsat tertawa, kemudian memeluk tubuh gue dari belakang. Begitu membelokkan posisi wajah gue ke arahnya, dia lalu mengajak gue berciuman. Menyalurkan rasa nyaman serta kenikmatan yang mana akan gue rindukan selama kurang lebih satu minggu ke depan.
Nah, sebetulnya nggak masalah. Anggap aja LDR sementara kami yang akan terjadi mulai besok adalah ujian pasca-berpacaran lainnya. Sebagai bukti bahwa sekalipun jarak memisahkan, tetap nggak akan mampu meruntuhkan keyakinan serta perasaan yang kami miliki. Pun, selaku janji yang kami ucapkan tadi.
Pada dasarnya, indahnya cinta memang sesederhana itu. Cinta milik si Bego kesayangan Bangsat yang jelas nggak akan ada matinya. Sekarang, besok, nanti atau bahkan di masa depan. Rasa sayang gue untuk cowok ngeselin di depan gue ini nggak akan pernah berubah.
______TAMAT______
Yah, seenggaknya tamat sampai di sini dulu, ya. KARENA:
1. Cerita ini nanti akan ada sekuelnya.
2. Epilog, chapter bonus serta bagian spesial lainnya akan menyusul muncul demi menebus rasa kangen kalian. Tapi, akan aku publikasikan dalam waktu yang nggak dekat.
3. Berlaku untuk sekuel cerita ini yang akan mulai dipublikasikan kurang lebih 1-2 tahun lagi. Menyesuaikan latar mereka di masa depan nanti.
(*Sekuel cerita mereka sudah rilis sejak Januari 2021 lalu, ya. Boleh silakan dicek pada daftar karyaku dengan judul SI BANGSAT KESAYANGANNYA BEGO alias SBKB#2)
Nah, terakhir, terima kasih atas dukungan, vote, saran, kritik, komentar, perhatian serta cinta yang kalian berikan selama ini untuk cerita Si Bego Kesayangan Bangsat. Terutama mereka yang membaca cerita ini sejak awal mula kemunculannya di Wattpad.
Sungguh, terima kasih.
Kepada para silent reader juga, aku ucapkan terima kasih. Meski gara-gara kalian nggak pernah ninggalin jejak, hasilnya bikin aku kebingungan sebab aku nggak mengenali nama kalian. So, next time, andai ingin berkomentar nggak usah sungkan, ya. Walau gimanapun atau sekecil apa pun, peran kalian jelas mempengaruhi isi cerita ini juga. Jadi sekali lagi, terima kasih.
Maaf apabila cerita ini memiliki kekurangan dari alur, isi dan latarnya, karakter tokoh, ending cerita hingga penulisan yang nggak memuaskan. Maklumi. Penulisnya adalah seorang noob yang masih harus banyak belajar. Hehehe.
Special thanks aku ucapkan untuk JellyohPudding yang selalu up to date dan gercep memberikan vote serta komentar di seluruh chapter pada sepanjang musim kedua kisah JuanFery. Kamu sungguh terbaik, Nak. Mak cintaaah! ❤❤❤
Juga kepada para pembaca yang namanya sudah aku beri dedikasi ataupun yang belum, kalian semua juga terbaik. Andaikan bisa memberi dedikasi kepada lebih dari satu nama, pasti sudah aku cantumkan setiap update. Huhuhu.
DADAH!
AKU SAYANG KALIAN SEMUA! ❤❤❤
Jangan lupa berikan kesan dan pesan kalian setelah membaca seluruh chapter cerita ini, ya. Karena itu akan sangat berarti bagiku. 😸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com