Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Terminal

Aku tersentak dan segera membuka mataku saat Siobhan mengetuk lututku. Kami masih berada di dalam kereta dan kereta ini belum berhenti. Tiba-tiba sangat terang. Apa ini sudah pagi? Apa kami sudah keluar dari terowongan?

Aku mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan jumlah cahaya yang bisa mataku terima. Dari jendela kereta aku melihat gumpalan awan keemasan dan beberapa bukit hijau menyembul di sepanjang cakrawala. Aku memutar badanku ke belakang dan melihat ke arah bawah lewat jendela. Kereta ini seperti berjalan di atas jembataan beton yang panjang. Dan tinggi. Aku tidak bisa melihat
tanah di bawah rel ini. Berapa ketinggian disini, di sekeliling kami hanya ada gumpalan awan?

Aku memutar kembali pandanganku ke arah depan, ke arah kereta ini melaju. Pemandangan selanjutnya pastilah salah satu pemandangan paling unik dan menakjubkan yang pernah kulihat (andai aku ingat tempat-tempat yang sudah kukunjungi saat aku masih hidup).

Kereta kami masih melaju dengan kecepatan stabil menuju sebuah tebing besar dengan gunung yang menjulang di atasnya. Tebing itu seperti tebing batu cadas yang sangat besar berwarna abu-abu keputihan. Jika diperhatikan lebih teliti ternyata tebing itu dipenuhi dengan bangunan-bangunan kotak yang monoton dengan warna yang hampir sama dengan warna tebing itu. Sebuah kota di atas tebing. Bangunan-bangunan ini nyaris memenuhi semua petak di atas tebing itu. Sangat rapat. Ada beberapa banguanan yang lebih besar dibandingkan bangunan lainnya. Seperti benteng.

Aku bisa melihat, saat kereta sedikit menikung ke arah kiri, ujung rel ini berada pada lubang di sisi tebing besar itu. Semakin lama lubang itu makin besar, dan kota di atas tebing itu makin dekat. Tak lama kereta kami masuk ke dalamnya.

Kereta perlahan melambat dan berhenti. Ada sebuah hentakan kecil saat kereta berhenti dan seluruh pintu di dalam gerbong terbuka secara bersama-sama.

Aku melihat seluruh gerbong. Tinggal aku dan siobhan di gerbong ini. Kemana perginya penumpang yang lain? Apa mereka turun di perhentian sebelumnya? Berapa lama aku tertidur, kenapa aku tidak menyadari saat kereta ini berhenti beberapa kali?

Siobhan bangkit berdiri dan menjinjing tas hitam di tangan kirinya. Aku mengikutinya keluar.

Kami berada di stasiun lainnya, namun stasiun ini jauh lebih besar dan ramai sekali. Aku bisa melihat orang-orang berlalu lalang di sekitar kami. Pada peron tempat kami berhenti tidak terlalu ramai, aku melihat ke ujung depan dan belakang kereta kami, ada beberapa penumpang yang keluar tapi tidak banyak.

Stasiun ini sangat besar, aku bisa melihat beberapa peron di samping dan seberang. Ada beberapa peron yang diisi kereta dan ada yang kosong. Aku memandang ke langit-langit stasiun besar ini. Cahaya keemasan temaram menerangi seluruh stasiun hingga bagian langit-langit yang tinggi. Langit-langit stasiun ini melengkung, membentuk sebuah kubah memuncak dan memanjang. Suara keramaian mulai menyadarkan lamunanku.
Aku menarik nafas panjang, udara disini juga sangat sejuk. Aku beberapa kali merasakan angin dingin menerpa pipiku. Aku tersenyum.

Entah mengapa aku merasa nyaman saat berada disini, tidak hening seperti sebelumnya, keramaian stasiun ini, dan atmosfernya, membuatku merasa familier dan nyaman.

“Stasiun Induk sangat ramai, aku tidak mau kau terpisah denganku. Tolong konsentrasilah dan ikuti aku. Jika kau merasa tertinggal, berlarilah. Jangan sampai kau hilang di tempat ini, okay.” Ucap Siobhan dengan cepat sambil mengenakan sarung tangan. “ Baiklah ikuti aku.”

Lalu kami berjalan lebih dalam di stasiun itu. Siobhan berjalan dengan cepat, padahal stiletonya cukup tinggi. Ia benar, aku harus berkonsentrasi kalau tidak mau tertinggal olehnya. Kami berjalan menerobos kerumunan. Orang-orang nampaknya tau ke mana arah tujuan mereka. Beberapa dari mereka bercakap-cakap sambil membawa kopi cup. Aku benar-benar merasa sedang berada di stasiun mrt saat rush hour di pagi hari. Semua terlihat normal. Ada beberapa petugas stasiun yang memandu penumpang, ada yang sedang menjelaskan rute.

Siobhan masih berjalan cepat di depanku. Kami berjalan beberapa waktu sampai kami sampai di sebuah tangga besar menuju ke tingkat atas. Aku berusaha mengikuti kecepatan langkahnya tanpa harus menabrak orang lain, dan itu membuatku nyaris tersandung di tangga ini.

Tingkat atas dari stasiun ini ternyata adalah aula/ lobby yang lebih besar lagi. Dan lebih ramai lagi. Beberapa papan waktu menghiasi langit-langit yang tinggi. Samar-samar kau bisa mendengar suara pengumuman menggema dari speaker di sudut-sudut aula.

Siobhan akhirnya memperlambat langkahnya di sebuah gerbang tunggal lebar. Jalur tempat kami berjalan dipisahkan oleh pagar besi setinggi kepala di sebelah kiri kami. Pada sisi lain pagar ini aku melihat ratusan, mungkin ribuan, orang mengantri dengan lambat. Sedangkan koridor tempat kami berjalan ada antriannya, namun tidak serapat di sisi lain pagar.

Ratusan (atau ribuan) orang mengantri dengan tertib dan hening. Mereka semua terlihat muram dan sedih, tidak ada yang berbicara. Aku juga belum melihat ada orang yang berbicara dalam kerumunan orang itu. Sesekali mereka bergerak maju dan lambat. Beberapa petugas stasiun berjaga di sepanjang pagar pembatas dan pintu gerbang.

Semakin aku berjalan, aku dapat melihat ujung dari antrian ini. Pos-pos kecil pada pagar-pagar tinggi. Pada pos-pos itu, ada sebuah lorong kecil dengan sebuah meja tinggi dan petugas yang berbicara pada pengantri. Ini mengingatkanku pada antrian imigrasi di bandara. Pada meja-meja kecil itu ada beberapa pengantri yang berdebat, ada pula yang hanya diam. Ada yang menangis, ada yang membawa anak kecil, ada yang memakai tongkat.

“ Orang ini bersamaku. Kau bisa menggunakan akses izinku untuk dia.”

Lamunanku terhenti oleh kalimat Siobhan. Ternyata kami juga masuk menuju pos-pos kecil yang serupa dengan sisi sebelah, namun jumlahnya jauh lebih sedikit, lebih sepi, dan langsung mengarah ke terowongan lainnya.

Petugas pintu lalu menyuruhku maju dan memandangku sebentar. Lalu dia memintaku untuk melihat ke arah kamera kecil di sampingnya. Aku melakukannya. Ia lalu menulis di atas sebuah kertas dan menyerahkannya padaku.

“ Oh, ini aku saja yang pegang,” Siobhan tiba-tiba menyela dan mengambil kertas itu dari tangan si petugas. Aku mengerutkan dahiku.

“ Ayo, Astra.” Ia lalu segera berbalik dan melanjutkan langkahnya.

Terowongan ini tidak seramai bagian stasiun lainnya, Siobhan pun tidak berjalan secepat tadi. Aku berhasil menyamakan kecepatan dan berjalan disampingnya.

“ Siobhan, apa antrian besar yang tadi kita lewati? “ kataku sambil berusaha menyamakan kecepatan berjalan.

“ Oh, itu yang kumaksud padamu tadi.” Jawabnya acuh tak acuh dengan pandangan lurus. Saat kami berjalan seperti ini tinggi badannya hampir sama denganku. Mungkin ia lebih tinggi beberapa senti dariku, tapi stileto itu juga tak kalah tinggi.

Aku berpikir keras. Aku tidak mengerti apa karena aku sangat kewalahan dengan semua kejadian yang barusan aku alami, atau memang aku orang yang lamban, tapi aku benar-benar bingung dengan jawaban Nona ini.

“ Maksudmu yang mana?”

“ Saat kamu bertanya padaku tentang gerbang.. tentang pengadilan..” ujarnya santai.

Aku tiba-tiba tersadar dan di dalam benakku aku terkejut bukan main “ Jadi mereka orang-orang yang sudah meninggal?” sergahku sampai mataku melotot. “Apa mereka sedang diadili? Hanya seperti itu saja? Seperti antrian imigrasi di bandara?”

“ Hah apa? Imigrasi di bandara? Well, ya kalian punya itu sekarang ya.
“ Ya, kira-kira seperti itu. Tapi pemeriksaannya lebih sulit dan banyak. Kau bisa bayangkan berapa miliar perbuatan yang dilakukan orang selama ia hidup kan.”
“ Apa setelah itu mereka langsung pergi ke surga atau ke neraka?”

Siobhan lalu berhenti berjalan. Ia lalu menaruh tangan kanannya di pinggang dan berbalik ke arahku.

“ Hei, maaf mengacaukan ekspektasimu, tapi ada hal yang harus kamu tau. Dari tadi kau bertanya padaku tentang surga dan neraka. Aku tau kalian manusia hanya percaya akan dua konsep ini. Tapi percayalah, TIDAK SESEDERHANA itu.” Tuturnya dengan nada tinggi dan ekspresi orang yang terlihat jenuh.

Hey, tapi aku juga tidak salah. Aku memang tidak tau apa-apa, dan rasa penasaran bukan sebuah dosa bukan?

Sepertinya Siobhan menyadari sikapnya yang berlebihan dan merasa tidak enak padaku, karena wajah kesalnya kembali melunak dan ia menurunkan nada bicaranya.

“ Dengar, aku tau ini semua sangat membuatmu kebingungan. Maaf aku tidak bermaksud kasar padamu, aku hanya sangat kelelahan akhir-akhir ini dengan jam kerjaku yang terlalu banyak,” ujarnya lirih.

“Tidak apa-apa, aku mengerti. Jangan hiraukan aku.” Jawabku berusaha terdengar ramah, entah kenapa aku merasa tidak enak saat ia bilang ia kelelahan.

Dan aku tidak tersinggung. Lagipula mengapa harus tersinggung, mungkin ini –lah yang namanya kehidupan setelah kematian? Kurasa belum ada orang yang pernah kembali dari kematian dan menceritakan hal-hal gila seperti Stasiun ini kepada orang-orang yang masih hidup?

Kami lalu melanjutkan langkah kami. Dalam hati aku mewanti-wanti diriku sendiri untuk lebih siap menghadapi kejutan-kejutan dan keanehan lainnya.

**

“ Tuan Peter akan menemui kalian sebentar lagi, silahkan menunggu.” Kata perempuan berambut pendek yang menjadi meja depan.

Sudah beberapa menit berlalu sejak ketibaan kami di stasiun.

Apakah ada hal menarik yang terjadi selama itu? Percayalah, semuanya menarik.

Ternyata kami keluar dari stasiun itu tadi, melalui salah satu pintu menuju jalan raya di kota. Aku rasa kami berada di kota di atas tebing tadi. Tak kusangka-sangka, untuk tempat di atas tebing, penampilan kota ini nampak modern. Jalan utamanya terbuat dari pasangan batu-batu granit berwarna cokelat muda. Aku belum melihat ada mobil atau motor yang melintas, namun aku melihat banyak sekali pesepeda. Ya, sepeda. Trotoar beton yang cukup lebar juga terpasang rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Banyak orang lalu lalang. Di sekeliling kami berdiri gedung-gedung pendek dan dan beberapa gedung tinggi. Tidak setinggi pencakar langit, namun cukup tinggi dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Ternyata bangunan-bangunan itu juga tidak semonoton yang kukira. Ada kafe, restoran, minimart. Bahkan aku bersumpah sempat melihat mesin ATM dan plang hotel.

Dan satu hal yang sangat mencuri perhatian inderaku adalah ‘keheningan’ kota ini. Bukannya tanpa suara, namun karena tidak ada kendaraan bermesin, atau orang-orang yang mengobrol dengan keras. Kau bisa mendengar beberapa orang berbicara satu sama lain, namun mereka berbicara dengan volume suara cukup kecil. Kebanyakan orang berjalan sendiri-sendiri, mereka seperti sudah punya tujuan masing-masing sehingga terlihat tidak perduli dengan keadaan sekitar. Suara roda sepeda yang  beradu dengan jalanan, suara dedaunan diterpa angin, suara langkah sepatu.. aku masih bisa mendengarnya. Namun selain itu tidak ada suara bising lainnya. Kota ini sangat tenang dengan segala keramaiannya (apa kalian mengerti maksudku?).

Tempat apa ini?

Dari pintu stasiun, kami berjalan lagi beberapa puluh meter sampai ke sebuah gedung yang agak tinggi. Kulit gedung ini ditutupi batuan marmer warna pucat. Beberapa jendela tersusun rapi menghadap jalan. Pintu utamanya adalah pintu putar kaca dengan ornamen keemasan. Kami masuk ke dalamnya dan tiba di lobby yang ternyata cukup luas dan mewah. Kami naik ke lantai 9 dengan elevator bergaya kuno yang kotaknya terlihat seperti kerangkang besi elegan.

Dan disinilah kami.

Kami berada di sebuah koridor panjang dengan belasan pintu di kiri dan kanannya. Sesekali orang keluar masuk dari pintu-pintu ini. Kami berhenti di pintu ke-3 dari ujung di sebelah kiri. Aku pikir aku akan masuk, namun setelah Siobhan membuka pintu, tiba-tiba ia menyuruhku untuk menunggu di koridor saja. Aku mematuhinya.

Aku melihat ke kiri dan kanan, tidak ada tempat duduk dari lift dan di sepanjang koridor ini. Koridor ini tidak terlalu lebar, mungkin hanya sekitar satu setengah meter lebih.
Aku menyenderkan punggungku ke dinding dupleks, dan melongsorkan diriku sampai terduduk di lantai marmer yang kusam.

Aku menghela nafas panjang. Aku tidak tau harus merasakan apa saat ini. Senang? Kaget? Takut? Oh andai aku bisa mengingat kehidupanku yang sudah lewat! Kenapa aku bisa lupa? Aku berusah mencari di dalam kepalaku, namun aku tidak bisa. Aku menundukan kepala di atas lututku dan melihat ke arah jam tanganku. Iseng dan bosan, aku meraihnya dan membukanya. Pertama aku menarik talinya, mengendorkannya dan mengayunkannya di depan mukaku. Jam nya cukup berat dengan casing dari besi perak. Aku membolak-balikannya sampai tersadar tulisan yang ada di balik arlojinya.
Aku memirngkannya sedikit agar terkena cahaya. Pada pelat besi di belakang arloji, terdapat sebuah inskripsi yang di grafir dengan rapi. Aku membacanya perlahan.


For My Love,
Forever Yours,
V.J.R.
10.10.18

Untuk cintaku, selamanya milikmu, V.J.R, 10.10.18.

Apakah jam tangan ini sebuah hadiah? Apakah ini hadiah untukku? V.J.R. pastilah sebuah inisial nama, angka-angka bertitik pastilah sebuah tanggal. Apakah ini adalah hadiah dari seorang kekasih? Apakah ini dari kekasihku? Tapi bisa saja ini dari salah satu anggota keluargaku kan?

Siapa V.J.R.?

Aku membalik-balikan dan meneliti kembali jam tangan itu, mencari apakah ada informasi lain yang bisa kudapat. Nihil. Kecuali jarum jam yang tidak bergerak, jarum pendek menunjuk ke arah 12, jarum panjang menunjuk titik sebelum menit ke-45.

Aku tiba-tiba teringat, mungkin ada sesuatu di kantung celanaku? Masih sambil duduk, aku merogoh-rogoh saku celanaku, kiri dan kanan. Sepertinya ada sesuatu..

“ Astra.” Tiba-tiba Siobhan keluar dari ruangan itu, dan segera menutup pintu di belakanganya cepat-cepat. Aku bahkan tidak sempat menoleh untuk mengintip siapa yang berada di ruangan itu bersamanya tadi. Aku lalu bangkit berdiri dan meluruskan kemejaku, sambil berbicara aku mengenakan kembali jam tanganku.

“ Bagaimana? Apa aku harus masuk?”

“ Tidak perlu. Kau akan bekerja denganku mulai hari ini,” katanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya ke arahku. Aku membalasnya dengan tatapan bingung.

“ Hanya itu saja? Aku tidak perlu wawancara?”

“ Ya, Tuan Peter menyetujuinya,” jawabnya masih tersenyum. Ia lalu menurunkan kembali tangan kanannya dengan canggung tanpa sempat kubalas salamannya.

“ Baiklah aku akan mengantarmu ke apartemenmu.” Ujarnya sembari melewatiku dan berjalan menuju lift dengan anggun. Ia mengangkat kepalanya sedikit sekarang, dibandingkan tadi sebelum masuk ke ruangan itu. Mungkin dia senang dengan keadaan ini, lagipula aku tidak berhenti mendengarnya ingin sekali aku bekerja dengannya. Aku mengekorinya di belakang. Beberapa waktu kemudian lift terbuka dan kami segera masuk.

“ Apa nama tempat ini, Siobhan? Ini bukan surga kan?” tanyaku memecah keheningan di dalam lift.

Siobhan tidak menoleh untuk menjawabku, pandangannya masih lurus ke depan. “ Bukan, bukan surga,” jawabnya. Aku bersumpah aku melihat senyum kecil di ujung bibirnya. “Beberapa dari kami masih suka menyebut tempat ini Terminal. Tapi Terminal lama-kelamaan berubah menjadi kota yang cukup ramai. Aku masih menyebut kota ini Terminal.”

Aku tidak berbicara lagi setelah itu. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com